Pengamat Sebut Ada 3 Kelompok 'Tukang Kritik Film', Apa Maksudnya?
11 July 2023 |
13:00 WIB
Kehadiran kritik film menjadi bagian penting dalam perkembangan ekosistem perfilman. Bukan untuk menjelek-jelekkan suatu karya sinema, kritik film merupakan sebuah bentuk apresiasi yang tidak hanya untuk menjembatani film dengan penontonnya, tetapi juga memberikan kontribusi pengetahuan terhadap film yang dikritik.
Makin masifnya produksi film dan terbukanya akses menonton film dari berbagai platform, membuat tingkat apresiasi masyarakat terhadap film pun makin masif. Mulai dari penilaian singkat hingga kajian kritik dengan pendekatan teoretis yang mendalam, karya-karya kritik film kini kian masif menjadi diskursus seiring dengan berkembangnya ilmu kajian film (cinema studies).
Baca juga: Kritik Film di Indonesia Makin Berkembang, Tak Lagi Sekadar Cari Kesalahan atau Memaki Karya
Seiring waktu, percakapan yang tertuang dalam kritik film pun menunjukkan hasil pembacaan yang lebih kaya seperti menyentuh persoalan terkait teknik film, sebut saja shoot, tata cahaya, hingga gaya editing. Di sisi lain, perkembangan kritik film juga kian ramai hadir di sejumlah platform media sosial yang terus menjadi obrolan kontinyu di antara penikmat film, sekalipun tidak semuanya dapat benar-benar dikatakan sebagai kritik film secara utuh.
Pengamat Budaya Populer Hikmat Darmawan melihat setidaknya ada tiga kecenderungan kelompok yang turut memberikan sumbangsih dalam perkembangan kritik film yakni kritik jurnalistik yang berupa ulasan-ulasan film singkat yang ditampilkan di media cetak ataupun daring, kritik akademik yang biasanya mewujud dalam bentuk skripsi kajian film, dan kelompok movie-buff yang berangkat dari kegemaran menonton film lalu mengulasnya di media sosial secara subjektif dan cenderung manasuka.
Namun, di samping movie-buff yang cenderung lebih karib dengan film-film populer seperti Hollywood, hadir juga kelompok yang disebut sinefil yang biasanya lebih menaruh perhatian khusus untuk mengkritik film-film independen (indie) yang tersegmentasi. Meski sama-sama berangkat dari kegemaran menonton film, kalangan sinefil biasanya akan lebih serius dalam menilai film yang mereka sampaikan di berbagai platform.
"Jenis [kritik] yang terpengaruh dengan cinema studies atau akademik itu bersaing dengan model yang sinefil dan movie-buff. Itu yang menguasai diskursus kritik film di Indonesia saat ini di media sosial, karena kalau di [media] cetak sekarang sudah tidak menguasai percakapan seperti dulu," katanya kepada Hypeabis.id.
Semakin terbukanya akses menonton film seperti melalui sejumlah platform streaming dan ramainya percakapan tentang sinema di ruang-ruang media sosial juga akhirnya membuat pengetahuan publik tentang film-film makin luas. Hal itu pun membuat film-film yang diulas dalam tulisan kritik film menjadi lebih beragam baik dari tema, genre, atau pun jenis film.
Selain itu, dalam jangka panjang, kritik film juga bisa menjadi semacam dokumen budaya terhadap sejarah perfilman. Ketika film itu dipercakapkan dan dituliskan ke dalam apapun medianya, ada semacam pengabadian atau rekaman untuk film itu sendiri yang bisa dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
"Di tingkat terakhir, kritik film adalah karya tersendiri sehingga itu bisa menjadi hiburan atau pengetahuan sendiri," katanya.
Menurut Hikmat, sebagai kritikus, seseorang harus mampu mensejajarkan dirinya dengan sebuah karya film lalu berinteraksi dan menuliskan nilai-nilai yang didapatkan dari hasil interaksi itu. Selain itu, harus ada pula sikap menghormati film dan tidak menilainya sebagai produk budaya yang rendahan atau tidak mendidik.
Dia pun berharap di tengah perkembangan kritik film yang masif seperti saat ini, akan semakin banyak lagi platform yang muncul dan dapat menjadi wadah untuk menyalurkan produk-produk karya tulis kritik film. Misalnya hadirnya majalah film khusus yang membahas tulisan-tulisan kritik film dan penerbitan khusus film yang memperkenalkan sejarah film Indonesia dari masa ke masa.
"Sepertinya kita menuju kesana kalau dilihat dari segi intensitas dan peralatan analisis membaca film yang semakin baik," ujarnya.
Di sisi lain, Penulis sekaligus Akademisi Seno Gumira Ajidarma menilai karya-karya kritik saat ini juga secara tidak langsung merepresentasikan perkembangan kritik film yang terbilang pesat jika dibandingkan dengan kondisi pada dua dekade lalu. Sebab, menurutnya, saat itu kajian tentang film (cinema studies) belum berkembang seperti sekarang ini.
Kondisi itu pun akhirnya membuat kritik film tidak begitu dipertanyakan kehadirannya. Dengan kata lain, karya-karya kritik film yang lahir pada masa itu murni dari hasil pencarian yang 'meraba' tentang apa itu yang dimaksud dengan kritik film sebab tidak banyak informasi, diskursus, dan kajian tentang hal tersebut.
Menurut Seno, berbeda dengan kebanyakan produk kritik film 20 tahun silam yang cenderung sebatas menjadi semacam 'penghakiman' antara bagus atau tidaknya suatu karya sinema, saat ini karya-karya kritik film hadir sebagai usaha penjelasan dengan membongkar gejala-gejala yang ada dalam film dan bisa menganggapnya sebagai bagian dari gejala kebudayaan.
"Sekarang argumennya, tanggung jawabnya, pekerjaan rumahnya, itu dikerjakan dan dibuktikan dalam tulisan-tulisan mereka. Menurut saya, sumbangan dan kontribusi dari dunia akademik dengan lahirnya cinema studies itu banyak membantu pengembangan dunia kritik film kita," ucapnya.
Baca juga: Enggak Cuma Barbie, Masih ada 14 Film Adaptasi Mainan yang Bakal Tayang
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Makin masifnya produksi film dan terbukanya akses menonton film dari berbagai platform, membuat tingkat apresiasi masyarakat terhadap film pun makin masif. Mulai dari penilaian singkat hingga kajian kritik dengan pendekatan teoretis yang mendalam, karya-karya kritik film kini kian masif menjadi diskursus seiring dengan berkembangnya ilmu kajian film (cinema studies).
Baca juga: Kritik Film di Indonesia Makin Berkembang, Tak Lagi Sekadar Cari Kesalahan atau Memaki Karya
Seiring waktu, percakapan yang tertuang dalam kritik film pun menunjukkan hasil pembacaan yang lebih kaya seperti menyentuh persoalan terkait teknik film, sebut saja shoot, tata cahaya, hingga gaya editing. Di sisi lain, perkembangan kritik film juga kian ramai hadir di sejumlah platform media sosial yang terus menjadi obrolan kontinyu di antara penikmat film, sekalipun tidak semuanya dapat benar-benar dikatakan sebagai kritik film secara utuh.
Pengamat Budaya Populer Hikmat Darmawan melihat setidaknya ada tiga kecenderungan kelompok yang turut memberikan sumbangsih dalam perkembangan kritik film yakni kritik jurnalistik yang berupa ulasan-ulasan film singkat yang ditampilkan di media cetak ataupun daring, kritik akademik yang biasanya mewujud dalam bentuk skripsi kajian film, dan kelompok movie-buff yang berangkat dari kegemaran menonton film lalu mengulasnya di media sosial secara subjektif dan cenderung manasuka.
Namun, di samping movie-buff yang cenderung lebih karib dengan film-film populer seperti Hollywood, hadir juga kelompok yang disebut sinefil yang biasanya lebih menaruh perhatian khusus untuk mengkritik film-film independen (indie) yang tersegmentasi. Meski sama-sama berangkat dari kegemaran menonton film, kalangan sinefil biasanya akan lebih serius dalam menilai film yang mereka sampaikan di berbagai platform.
"Jenis [kritik] yang terpengaruh dengan cinema studies atau akademik itu bersaing dengan model yang sinefil dan movie-buff. Itu yang menguasai diskursus kritik film di Indonesia saat ini di media sosial, karena kalau di [media] cetak sekarang sudah tidak menguasai percakapan seperti dulu," katanya kepada Hypeabis.id.
Semakin terbukanya akses menonton film seperti melalui sejumlah platform streaming dan ramainya percakapan tentang sinema di ruang-ruang media sosial juga akhirnya membuat pengetahuan publik tentang film-film makin luas. Hal itu pun membuat film-film yang diulas dalam tulisan kritik film menjadi lebih beragam baik dari tema, genre, atau pun jenis film.
Ilustrasi seseorang menonton film (Sumber gambar: Andrea Piacquadio/Pexels)
Pentingnya Kritik Film
Hikmat menuturkan kehadiran karya tulis kritik film penting dalam ekosistem perfilman. Bukan untuk 'melariskan' sebuah film, karya kritik hadir untuk menjembatani maksud si pembuat film dengan masyarakat, mengenalkan film-film yang lebih beragam, serta menjadi teman bercakap dan berdialektika dengan filmmaker.Selain itu, dalam jangka panjang, kritik film juga bisa menjadi semacam dokumen budaya terhadap sejarah perfilman. Ketika film itu dipercakapkan dan dituliskan ke dalam apapun medianya, ada semacam pengabadian atau rekaman untuk film itu sendiri yang bisa dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
"Di tingkat terakhir, kritik film adalah karya tersendiri sehingga itu bisa menjadi hiburan atau pengetahuan sendiri," katanya.
Menurut Hikmat, sebagai kritikus, seseorang harus mampu mensejajarkan dirinya dengan sebuah karya film lalu berinteraksi dan menuliskan nilai-nilai yang didapatkan dari hasil interaksi itu. Selain itu, harus ada pula sikap menghormati film dan tidak menilainya sebagai produk budaya yang rendahan atau tidak mendidik.
Dia pun berharap di tengah perkembangan kritik film yang masif seperti saat ini, akan semakin banyak lagi platform yang muncul dan dapat menjadi wadah untuk menyalurkan produk-produk karya tulis kritik film. Misalnya hadirnya majalah film khusus yang membahas tulisan-tulisan kritik film dan penerbitan khusus film yang memperkenalkan sejarah film Indonesia dari masa ke masa.
"Sepertinya kita menuju kesana kalau dilihat dari segi intensitas dan peralatan analisis membaca film yang semakin baik," ujarnya.
Di sisi lain, Penulis sekaligus Akademisi Seno Gumira Ajidarma menilai karya-karya kritik saat ini juga secara tidak langsung merepresentasikan perkembangan kritik film yang terbilang pesat jika dibandingkan dengan kondisi pada dua dekade lalu. Sebab, menurutnya, saat itu kajian tentang film (cinema studies) belum berkembang seperti sekarang ini.
Kondisi itu pun akhirnya membuat kritik film tidak begitu dipertanyakan kehadirannya. Dengan kata lain, karya-karya kritik film yang lahir pada masa itu murni dari hasil pencarian yang 'meraba' tentang apa itu yang dimaksud dengan kritik film sebab tidak banyak informasi, diskursus, dan kajian tentang hal tersebut.
Menurut Seno, berbeda dengan kebanyakan produk kritik film 20 tahun silam yang cenderung sebatas menjadi semacam 'penghakiman' antara bagus atau tidaknya suatu karya sinema, saat ini karya-karya kritik film hadir sebagai usaha penjelasan dengan membongkar gejala-gejala yang ada dalam film dan bisa menganggapnya sebagai bagian dari gejala kebudayaan.
"Sekarang argumennya, tanggung jawabnya, pekerjaan rumahnya, itu dikerjakan dan dibuktikan dalam tulisan-tulisan mereka. Menurut saya, sumbangan dan kontribusi dari dunia akademik dengan lahirnya cinema studies itu banyak membantu pengembangan dunia kritik film kita," ucapnya.
Baca juga: Enggak Cuma Barbie, Masih ada 14 Film Adaptasi Mainan yang Bakal Tayang
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.