Kritik film di Indonesia makin berkembang (Sumber gambar: Tima Miroshnichenko/Pexels)

Kritik Film di Indonesia Makin Berkembang, Tak Lagi Sekadar Cari Kesalahan atau Memaki Karya

10 July 2023   |   13:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Kritik film merupakan bentuk apresiasi, yang bukan hanya untuk menjembatani film dengan penontonnya, tetapi juga memberikan kontribusi pengetahuan terhadap film yang karyanya dikritik. Minat publik untuk menulis kritik film pun mulai ramai, seiring dengan masifnya produksi dan akses menononton film kini. 

Hal itu setidaknya terekam dalam gelaran Sayembara Menulis Kritik Film yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Menjadi gelaran perdana, kompetisi ini dipandang penting untuk diadakan guna membangun platform kritik film sehingga meningkatkan percakapan dan obrolan sesama penggemar film menjadi diskursus kritis, dan mengupayakan pengetahuan publik tentang sinema.

Baca juga: Review Film Mission: Impossible Dead Reckoning Part One, Ethan Hunt Melawan AI

Sayembara yang dilaksanakan pada 7 April hingga 26 Mei 2023 itu pun mendapatkan respons yang cukup besar dari peserta. Komite Film DKJ mencatat ada sebanyak 702 karya tulis kritik film yang masuk selama periode kompetisi. Dari jumlah tersebut, proses penilaian administratif dilakukan hingga meloloskan 619 karya dan akhirnya menjadi 31 karya.

Adapun, penilaian tersebut dilakukan oleh tim juri dari Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN) yang terdiri atas Erina Adeline Tandian, Dyah Ayu Wiwid Sintowoko, Debby Dwi Elsha, Hariyadi, dan Heri Purwoko. Proses penilaian pun berlanjut untuk memilih 10 naskah terbaik yang nantinya keseluruhan karya tulis kritik itu akan dikumpulkan menjadi satu e-book yang dapat diakses publik.

Dari kesepuluh naskah terpilih itu, ada 3 karya tulis pemenang Sayembara Menulis Kritik Film 2023 yang ditentukan oleh para dewan juri yakni Seno Gumira Ajidarma (penulis & akademisi), Eric Sasono (peneliti independen), dan Yulia Evina Bhara (produser film).

Tiga karya kritik film yang memenangkan sayembara tersebut, yakni Pintu Terlarang: Mengurai Trauma melalui Estetika Queer karya Catra Wardhana (Yogyakarta), Skinned Performance: Body Horror Perempuan dalam Impetigore karya Joko Anwar karya Anton Sutandio (Bandung), dan Melihat Jendral dari Bawah: Analisis Struktur Naratif dan Sinematografi Film Autobiography karya Nurul Mizan Asyuni (Makassar).
 


Peneliti Independen Eric Sasono mengatakan karya-karya tulis kritik film yang terhimpun dalam kompetisi ini berhasil menghapus pandangan bahwa kegiatan kritik itu hanya mencari-cari kesalahan, memaki-maki, atau hanya sebatas komentar singkat setelah menonton film. Kritik film di sayembara ini, paparnya, berhasil secara kuat menjadi sub-genre dari esai yang menghadirkan diri secara meyakinkan dalam kompetisi ini.

Di sisi lain, tulisan-tulisan yang dikurasi dan dinilai juga berhasil menampakkan bahwa kritik-kritik film yang dibuat pada masa lalu bisa dianalisis dengan cara pandang baru. Beberapa tulisan juga dinilai menampakkan bahwa kritik tidak melulu kajian teoritis yang hanya meminjam film, tapi benar-benar menjadikannya sebagai bahan baru kritik sekaligus menghormati film itu sendiri.

"Dari situlah, para penulis kritik film berangkat dan mendedahkan nilai-nilai dari interaksi mereka dengan film yang mereka bahas," katanya.

Selain itu, sejumlah karya tulis kritik yang ada juga menampakkan keragaman dari segi gaya atau gaya penulisan maupun dari segi temuan nilai pada film yang dibahas. Ada kematangan dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu ketika industri film baru tumbuh dan para kritikus saat itu masih meraba-raba dan tumbuh bersama industrinya.

Dengan keragaman itu, Eric menuturkan para dewan juri sempat kesulitan untuk menilai apa yang dianggap bagus dari karya-karya tulis tersebut. Pada akhirnya, hal utama yang menjadi tolok ukur penilaian penting adalah aspek komunikasi atau keterbacaan dan kenyamanan dalam membaca tulisan kritik film. Menurutnya, aspek komunikasi menjadi penting dalam perkembangan kritik film itu sendiri.

Penulis sekaligus Akademisi Seno Gumira Ajidarma menilai karya-karya kritik dalam sayembara ini juga secara tidak langsung merepresentasikan perkembangan kritik film yang terbilang pesat jika dibandingkan dengan kondisi pada dua dekade lalu. Sebab, menurutnya, saat itu kajian tentang film (cinema studies) belum berkembang seperti sekarang ini.

Kondisi itu pun akhirnya membuat kritik film tidak begitu dipertanyakan kehadirannya. Dengan kata lain, karya-karya kritik film yang lahir pada masa itu murni dari hasil pencarian yang 'meraba' tentang apa itu yang dimaksud dengan kritik film sebab tidak banyak informasi, diskursus, dan kajian tentang hal tersebut.

Menurut Seno, berbeda dengan kebanyakan produk kritik film 20 tahun silam yang cenderung sebatas menjadi semacam 'penghakiman' antara bagus atau tidaknya suatu karya sinema, saat ini karya-karya kritik film hadir sebagai usaha penjelasan dengan membongkar gejala-gejala yang ada dalam film dan bisa menganggapnya sebagai bagian dari gejala kebudayaan.

"Sekarang argumennya, tanggung jawabnya, pekerjaan rumahnya, itu dikerjakan dan dibuktikan dalam tulisan-tulisan mereka. Menurut saya, sumbangan dan kontribusi dari dunia akademik dengan lahirnya cinema studies itu banyak membantu pengembangan dunia kritik film kita," ucapnya.

Baca juga: Review Film Onde Mande!, Tiada yang Salah dengan Niat Elok

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Hanya Tersedia 600 Kuota, Begini Cara Beli Tiket Uji Coba LRT Jabodebek Berbayar Rp1

BERIKUTNYA

5 Fakta Unik Nikola Tesla, Fisikawan yang Memilih Hidup Selibat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: