Hypereport Kemerdekaan: Eksplorasi Sandiwara Dardanella Lahirkan Teater Modern Indonesia
17 August 2023 |
15:00 WIB
Dardanella seolah tak bisa dipisahkan dengan akar sejarah teater Indonesia. Kelompok sandiwara yang didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada 21 Juni 1926 tersebut telah melahirkan banyak seniman panggung berbakat seperti Tan Tjeng Bok dan Dewi Dja.
Willy Klimanoff atau yang lebih dikenal dengan Piedro, seorang Rusia yang lahir di Penang, Malaysia adalah sosok di balik terbentuknya Dardanella. Sejak kecil Piedro sudah mengenal seluk beluk dunia pertunjukan. Ayahnya adalah seorang pemain sirkus di Semenajung Malaya dan Singapura. Ini menjadikannya bekal untuk membangun sebuah kelompok sandiwara yang kokoh.
Baca juga: Hypereport: Diva Sandiwara Miss Tjitjih yang Merekah di Tengah Penjajahan
Awal terbentuknya Kelompok Dardanella bermula dari rasa ketidakpuasan Piedro sebagai seorang aktor dalam pementasan Constantinopel dalam Komedi Stamboel. Lewat Dardanella, Piedro serta Andjar Asmara, melakukan perombakan yang revolusioner tradisi komedi yang sebelumnya telah dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Dalam pementasan Komedi Stamboel, sandiwara sering diisi dengan tarian dan lelucon, tapi Piedro menghilangkan elemen hiburan tersebut. Pertumbuhan kelompok Dardanella memiliki dampak signifikan pada perkembangan sandiwara di masa yang akan datang.
Dalam mementaskan pertunjukan sandiwaranya, Dardanella terbilang sangat berani. Mereka mempopulerkan gaya komedi satire yang sarat akan sindiran untuk kaum penjajah. Sebut saja sejumlah judul seperti The Thief of Bagdad, Mark of Zorro, De graaf van Monte-Cristo, dan The Three Musketeers.
Menurut Wakil Ketua Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri), S. Metron Masdison, komedi satire menjadi bentuk ekspresi para seniman panggung untuk menyuarakan keresahan hati mereka di tengah situasi saat Indonesia belum merdeka.
Sebut saja sejumlah satir seperti drama karya Usmar Ismail berjudul Ayahku Pulang atau karya Amal Hamzah berjudul Tuan Amin yang menyindir pemerintah Belanda dan Jepang.
Pada hakikatnya karya seni bersentuhan langsung dengan pikiran dan emosional audiens. Tokoh dan peristiwa dalam karya tersebut menjadi pembawa pesan yang efektif ke tengah-tengah masyarakat.
Teater pada masa itu dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk meneriakkan ketidakadilan dan memantik api semangat kaum pergerakan untuk membela negaranya. Tentu ini sah-sah saja, karena tak ada seorang pun yang berhak mencekal kebebasan berekspresi dalam seni. Meski demikian, tak jarang para seniman panggung harus berhadap langsung dengan penjajah setelah pementasan.
Buntut dari persoalan ini, pemerintah Jepang sampai membuat institusi teater sendiri untuk menyebarkan propaganda mereka sendiri. Mobilisasi para seniman dilakukan di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) untuk mendukung program Kantor Propaganda (Sendenbu). Setidaknya mereka telah menghasilkan sejumlah karya seni seperti sastra, musik dan lagu, dan Lukis.
Meski begitu, hal tersebut tidak menghentikan para seniman panggung tanah air untuk terus berkarya sambil menggelorakan semangat nasionalisme. Dardanella sendiri akan menjadi cikal bakal lahirnya teater modern Indonesia.
Pasca bergabungnya Andjar Asmara, naskah Dardanella mulai orisinil bukan adaptasi dari hikayat lama atau film terkenal. Misalnya seperti Dr Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99, dan lainnya yang mengacu pada situasi dan kondisi masyarakat Indonesia pada era tersebut.
Sebagai penulis naskah, Andjar Asmara berani menyajikan cerita-cerita yang agak berat dan problematik. Lantaran segmentasi penonton mereka mulai meluas sampai menyentuh golongan terpelajar.
Dardanella juga mulai merombak tradisi panggung teater lama seperti komedi stambul, kabaret, dan opera. Mulai dari pembabakan yang lebih ringkas, menghapus adegan perkenalan para tokoh, dan menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan.
Dardanella sendiri lahir di masa kejayaan Miss Riboet Orion yang populer berkat primadona mereka yang cantik yakni, Miss Riboet. Untuk menyaingi ketenaran Miss Riboet, Dardanella memperkenalkan Tan Tjeng Bok, sebagai aktor yang identik dengan tokoh pahlawan berpedang. Tak ketinggalan ada juga Dewi Dja sebagai spesialisasi lakon tragedi.
Sebagai teater keliling, Dardanella tak hanya menyambangi daerah-daerah Indonesia saja. Mereka melanglang buana ke mancanegara, terlihat dari riwayat pertunjukannya di empat benua dengan negara-negara seperti Singapura, Rangoon, New Delhi, Baghdad, Kairo, Roma, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota lainnya di Amerika.
Pertunjukan mereka di Rangoon dan New Delhi sempat ditonton tiga tokoh besar politik modern India, yakni Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore.
“Dardanella adalah satu-satunya grup teater yang punya reputasi internasional, mereka adalah grup teater yang tidak akan bisa terulang lagi di Indonesia,” kata Metron.
Berdasarkan pengamatannya, Dardanella butuh sekitar 120-150 orang dalam satu rombongan untuk mengadakan pertunjukan teater. Dalam hal manajemen pemain, naskah, dan artistik panggung juga sangat tertata rapi, sehingga membentuk tim yang solid.
Masa kejayaan Dardanella berjalan selama sekitar satu dekade. Pada tahun 1935, kelompok sandiwara Dardanella melaksanakan sebuah tur lintas Asia. Namun, ironisnya, perjalanan tersebut menimbulkan banyak perselisihan yang mempercepat akhir dari kelompok tersebut.
A. Piedro, yang memimpin rombongan sandiwara, bersama dengan istrinya, Dewi Dja, dan tiga puluh anggota pemeran, melanjutkan perjalanan, sementara Andjar Asmara beserta pasangannya kembali ke Jawa dan membentuk kelompok sandiwara baru bernama Bolero. Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young juga mundur dari Dardanella dan mendirikan kelompok sandiwara baru yang dikenal sebagai Fifi Young's Pagoda.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Willy Klimanoff atau yang lebih dikenal dengan Piedro, seorang Rusia yang lahir di Penang, Malaysia adalah sosok di balik terbentuknya Dardanella. Sejak kecil Piedro sudah mengenal seluk beluk dunia pertunjukan. Ayahnya adalah seorang pemain sirkus di Semenajung Malaya dan Singapura. Ini menjadikannya bekal untuk membangun sebuah kelompok sandiwara yang kokoh.
Baca juga: Hypereport: Diva Sandiwara Miss Tjitjih yang Merekah di Tengah Penjajahan
Awal terbentuknya Kelompok Dardanella bermula dari rasa ketidakpuasan Piedro sebagai seorang aktor dalam pementasan Constantinopel dalam Komedi Stamboel. Lewat Dardanella, Piedro serta Andjar Asmara, melakukan perombakan yang revolusioner tradisi komedi yang sebelumnya telah dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Dalam pementasan Komedi Stamboel, sandiwara sering diisi dengan tarian dan lelucon, tapi Piedro menghilangkan elemen hiburan tersebut. Pertumbuhan kelompok Dardanella memiliki dampak signifikan pada perkembangan sandiwara di masa yang akan datang.
Dalam mementaskan pertunjukan sandiwaranya, Dardanella terbilang sangat berani. Mereka mempopulerkan gaya komedi satire yang sarat akan sindiran untuk kaum penjajah. Sebut saja sejumlah judul seperti The Thief of Bagdad, Mark of Zorro, De graaf van Monte-Cristo, dan The Three Musketeers.
Menurut Wakil Ketua Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri), S. Metron Masdison, komedi satire menjadi bentuk ekspresi para seniman panggung untuk menyuarakan keresahan hati mereka di tengah situasi saat Indonesia belum merdeka.
Sebut saja sejumlah satir seperti drama karya Usmar Ismail berjudul Ayahku Pulang atau karya Amal Hamzah berjudul Tuan Amin yang menyindir pemerintah Belanda dan Jepang.
Pada hakikatnya karya seni bersentuhan langsung dengan pikiran dan emosional audiens. Tokoh dan peristiwa dalam karya tersebut menjadi pembawa pesan yang efektif ke tengah-tengah masyarakat.
Iklan pertunjukan Dardanella. (Sumber foto: Antologi Drama Indonesia 1895–1930 (2006))
Teater pada masa itu dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk meneriakkan ketidakadilan dan memantik api semangat kaum pergerakan untuk membela negaranya. Tentu ini sah-sah saja, karena tak ada seorang pun yang berhak mencekal kebebasan berekspresi dalam seni. Meski demikian, tak jarang para seniman panggung harus berhadap langsung dengan penjajah setelah pementasan.
Buntut dari persoalan ini, pemerintah Jepang sampai membuat institusi teater sendiri untuk menyebarkan propaganda mereka sendiri. Mobilisasi para seniman dilakukan di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) untuk mendukung program Kantor Propaganda (Sendenbu). Setidaknya mereka telah menghasilkan sejumlah karya seni seperti sastra, musik dan lagu, dan Lukis.
Meski begitu, hal tersebut tidak menghentikan para seniman panggung tanah air untuk terus berkarya sambil menggelorakan semangat nasionalisme. Dardanella sendiri akan menjadi cikal bakal lahirnya teater modern Indonesia.
Pasca bergabungnya Andjar Asmara, naskah Dardanella mulai orisinil bukan adaptasi dari hikayat lama atau film terkenal. Misalnya seperti Dr Samsi, Si Bongkok, Haida, Tjang, dan Perantaian 99, dan lainnya yang mengacu pada situasi dan kondisi masyarakat Indonesia pada era tersebut.
Sebagai penulis naskah, Andjar Asmara berani menyajikan cerita-cerita yang agak berat dan problematik. Lantaran segmentasi penonton mereka mulai meluas sampai menyentuh golongan terpelajar.
Dardanella juga mulai merombak tradisi panggung teater lama seperti komedi stambul, kabaret, dan opera. Mulai dari pembabakan yang lebih ringkas, menghapus adegan perkenalan para tokoh, dan menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan.
Dardanella sendiri lahir di masa kejayaan Miss Riboet Orion yang populer berkat primadona mereka yang cantik yakni, Miss Riboet. Untuk menyaingi ketenaran Miss Riboet, Dardanella memperkenalkan Tan Tjeng Bok, sebagai aktor yang identik dengan tokoh pahlawan berpedang. Tak ketinggalan ada juga Dewi Dja sebagai spesialisasi lakon tragedi.
Kelompok Sandiwara Melayu yang Mendunia
Sebagai teater keliling, Dardanella tak hanya menyambangi daerah-daerah Indonesia saja. Mereka melanglang buana ke mancanegara, terlihat dari riwayat pertunjukannya di empat benua dengan negara-negara seperti Singapura, Rangoon, New Delhi, Baghdad, Kairo, Roma, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota lainnya di Amerika.Pertunjukan mereka di Rangoon dan New Delhi sempat ditonton tiga tokoh besar politik modern India, yakni Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore.
“Dardanella adalah satu-satunya grup teater yang punya reputasi internasional, mereka adalah grup teater yang tidak akan bisa terulang lagi di Indonesia,” kata Metron.
Berdasarkan pengamatannya, Dardanella butuh sekitar 120-150 orang dalam satu rombongan untuk mengadakan pertunjukan teater. Dalam hal manajemen pemain, naskah, dan artistik panggung juga sangat tertata rapi, sehingga membentuk tim yang solid.
Masa kejayaan Dardanella berjalan selama sekitar satu dekade. Pada tahun 1935, kelompok sandiwara Dardanella melaksanakan sebuah tur lintas Asia. Namun, ironisnya, perjalanan tersebut menimbulkan banyak perselisihan yang mempercepat akhir dari kelompok tersebut.
A. Piedro, yang memimpin rombongan sandiwara, bersama dengan istrinya, Dewi Dja, dan tiga puluh anggota pemeran, melanjutkan perjalanan, sementara Andjar Asmara beserta pasangannya kembali ke Jawa dan membentuk kelompok sandiwara baru bernama Bolero. Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young juga mundur dari Dardanella dan mendirikan kelompok sandiwara baru yang dikenal sebagai Fifi Young's Pagoda.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.