Hypereport Kemerdekaan: W.S. Rendra dan Penggambaran Era Orde Baru Lewat Bengkel Teater
17 August 2023 |
16:23 WIB
Selama ini kita mengenal W.S Rendra sebagai penyair, aktor, dan sutradara teater. Pria kelahiran 7 November 1935 tersebut memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Narendra. W.S Rendra mengenyam Pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menyandang gelar kehormatan Doktor Honoris Causa.
Kegemarannya adalah menulis puisi, naskah drama, cerpen, dan esai yang ditekuninya sejak SMP. Puisinya pertama kali diterbitkan di media massa pada 1952 dalam majalah Siasat. Setelah itu, karya-karyanya menghiasi majalah yang populer pada era 1960-1970an seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
Baca juga: Hypereport: Pengabdian Sepanjang Hayat Tan Tjeng Bok untuk Seni Pertunjukan Indonesia
Rendra juga gemar bermain peran, judul drama pertamanya adalah Kaki Palsu. Kemudian dia memerankan drama Orang-orang di Tikungan Jalan yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Kiprahnya dalam seni panggung tak berhenti sampai di sana. Pada 1967 dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui kelompok sandiwara tersebut, Rendra melahirkan banyak seniman panggung seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain.
Di Bengkel Teater, dia mementaskan cerita tentang Perjuangan Suku Naga, dan karya gubahan dari Oedipus the King, Antigone, dan Lysistrata dalam gaya yang mengacu pada Bertolt Brecht, penyair asal Jerman.
Rendra juga terkenal dengan Teater Minikata, yakni pertunjukan teater yang sedikit sekali menggunakan dialog, melainkan dengan gerak atau improvisasi spontan. Teater Minikata merupakan istilah yang dilontarkan oleh Gunawan Mohammad saat melihat pementasan teater Rendra berjudul Bip Bop dan Rambate-Rate Rata.
Sampai suatu ketika, kelompok teaternya dicekal karena tekanan dari penguasa. Lantaran dalam karya-karyanya Rendra kerap menyajikan cerita seputar isu sosial dan politik dan penggambaran era Orde Baru yang sewenang-wenang.
Sejak 1977, pertunjukan Bengkel Teater Yogyakarta makin dipersulit. Sehingga membuat Rendra hijrah ke Jakarta lalu ke Depok. Kedua bengkel yang didirikan Rendra memiliki pengaruh yang kuat dalam perjalanan teater Indonesia.
Berdasarkan kaca mata Wakil Ketua Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri), S. Metron Masdison, W.S Rendra merupakan maestro yang memiliki tempat terhormat dalam sejarah sastra Indonesia.
“W.S Rendra jelas dia legenda, setelah kehebohan yang diciptakan Dardanella di dunia seni ada Rendra dengan teater Mini Kata dan Bengkel Teaternya,” kata Metron.
Menurut Metron, Rendra mendapatkan porsi yang pas dalam menciptakan pertunjukan teaternya, sehingga makin melambungkan namanya di dunia seni. Dia mendapatkan orang-orang yang tepat sebagai pemain sampai artistiknya.
“Dia adalah orang yang bisa mengerjakan apa yang ada dalam pikirannya untuk kemudian dituangkan di atas panggung,” ujarnya.
Terlebih setelah Rendra pulang dari Amerika, menurutnya Rendra mendapatkan ide-ide baru untuk memberikan nuansa segar dalam industri teater Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karyanya banyak dipentaskan kembali oleh kelompok teater lain dan diadaptasi menjadi film.
Sang maestro pun akhirnya harus menutup usianya pada 2009, setelah mewariskan ribuan karya sastra. Tak ketinggalan sebuah kompleks untuk pengembangan teater seluas 3 hektare di daerah Cipayung, Depok.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Kegemarannya adalah menulis puisi, naskah drama, cerpen, dan esai yang ditekuninya sejak SMP. Puisinya pertama kali diterbitkan di media massa pada 1952 dalam majalah Siasat. Setelah itu, karya-karyanya menghiasi majalah yang populer pada era 1960-1970an seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
Baca juga: Hypereport: Pengabdian Sepanjang Hayat Tan Tjeng Bok untuk Seni Pertunjukan Indonesia
Rendra juga gemar bermain peran, judul drama pertamanya adalah Kaki Palsu. Kemudian dia memerankan drama Orang-orang di Tikungan Jalan yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.
Kiprahnya dalam seni panggung tak berhenti sampai di sana. Pada 1967 dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui kelompok sandiwara tersebut, Rendra melahirkan banyak seniman panggung seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain.
Di Bengkel Teater, dia mementaskan cerita tentang Perjuangan Suku Naga, dan karya gubahan dari Oedipus the King, Antigone, dan Lysistrata dalam gaya yang mengacu pada Bertolt Brecht, penyair asal Jerman.
Rendra juga terkenal dengan Teater Minikata, yakni pertunjukan teater yang sedikit sekali menggunakan dialog, melainkan dengan gerak atau improvisasi spontan. Teater Minikata merupakan istilah yang dilontarkan oleh Gunawan Mohammad saat melihat pementasan teater Rendra berjudul Bip Bop dan Rambate-Rate Rata.
Sampai suatu ketika, kelompok teaternya dicekal karena tekanan dari penguasa. Lantaran dalam karya-karyanya Rendra kerap menyajikan cerita seputar isu sosial dan politik dan penggambaran era Orde Baru yang sewenang-wenang.
Sejak 1977, pertunjukan Bengkel Teater Yogyakarta makin dipersulit. Sehingga membuat Rendra hijrah ke Jakarta lalu ke Depok. Kedua bengkel yang didirikan Rendra memiliki pengaruh yang kuat dalam perjalanan teater Indonesia.
Berdasarkan kaca mata Wakil Ketua Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri), S. Metron Masdison, W.S Rendra merupakan maestro yang memiliki tempat terhormat dalam sejarah sastra Indonesia.
“W.S Rendra jelas dia legenda, setelah kehebohan yang diciptakan Dardanella di dunia seni ada Rendra dengan teater Mini Kata dan Bengkel Teaternya,” kata Metron.
Menurut Metron, Rendra mendapatkan porsi yang pas dalam menciptakan pertunjukan teaternya, sehingga makin melambungkan namanya di dunia seni. Dia mendapatkan orang-orang yang tepat sebagai pemain sampai artistiknya.
“Dia adalah orang yang bisa mengerjakan apa yang ada dalam pikirannya untuk kemudian dituangkan di atas panggung,” ujarnya.
Terlebih setelah Rendra pulang dari Amerika, menurutnya Rendra mendapatkan ide-ide baru untuk memberikan nuansa segar dalam industri teater Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karyanya banyak dipentaskan kembali oleh kelompok teater lain dan diadaptasi menjadi film.
Sang maestro pun akhirnya harus menutup usianya pada 2009, setelah mewariskan ribuan karya sastra. Tak ketinggalan sebuah kompleks untuk pengembangan teater seluas 3 hektare di daerah Cipayung, Depok.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.