Aktor Ari Sumitro saat mementasakan monolog Tirto: Tiga Pengasingan (sumber gambar Titimangsa/Yose Riandi)

Monolog Tirto, Ode & Refleksi dari Bapak Pers Nasional 

26 December 2023   |   12:21 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Derap langkah pengusung keranda ditingkahi suara cello yang menyayat telinga, membuka pentas pertunjukan monolog Tirto: Tiga Pengasingan. Arkian, layar menampilkan biografi singkat sosok yang meninggal tersebut,  seorang yang kelak dikenal sebagai Bapak Pers Nasional Indonesia.

Fokus adegan lalu beralih ke sosok lelaki ringkih yang meringkuk di atas dipan. Remang cahaya menyelimuti tubuhnya yang  kedinginan. Suara batuknya tak henti bergema di ruang sempit bernama terungku. Namun, saat terbangun, sorot matanya mengisyaratkan renjana yang tak pernah padam.

Baca juga: Menelisik Makna Kebenaran lewat Lakon Teater Spartan Phoenix

Dengan langkah tertatih, dia mendekati sorot cahaya. Menanyakan adakah orang lain di sana? Pertanyaan bertukar tangkap dengan sepi, dan mulailah sosok berkumis baplang itu meriwayatkan kisah hidupnya yang tidak linier, laiknya orang-orang yang hidup di zamannya.

Itulah sekiranya, salah satu momen dramatis yang bisa ditangkap dari pertunjukan mengenai sosok Tirto Adhi Soerjo (1880-1918). Diperankan oleh aktor Ari Sumitro, pertunjukan ini merupakan bagian dari serial Di Tepi Sejarah musim ketiga dari Titimangsa Foundation yang dihelat di Salihara, Jakarta.
 

Monolog Tirto: Tiga Pengasingan (sumber gambar Titimangsa/Yose Riandi)

Monolog Tirto: Tiga Pengasingan (sumber gambar Titimangsa/Yose Riandi)
 

Sesuai judulnya, pertunjukan ini dianggit berdasarkan biografi dan karya R.M. Tirto Adhi Soerjo. Terutama mengenai kisah, dan riwayat hidup tokoh perintis pers Indonesia ini saat diasingkan oleh kolonialisme karena tulisan-tulisannya yang tajam dan kritis.

Pertama, pada 1910, saat Tirto diasingkan di Telukbetung karena didakwa menghina Aspirant Controleur Purworejo dan Wedana Cangkrep. Kala itu, perintis surat kabar Medan Prijaji itu dianggap menghina para priyayi itu dengan kata-kata snot aap atau monyet ingusan.

Kedua, pada 1913, atau masa pembuangan di Ambon karena dituduh menghina Bupati Rembang, Adipati Djojodiningrat. Ketiga, pada 1918, masa menjelang dan saat kematiannya yang mengenaskan, yang menjadi pembuka pertunjukan dengan siluet keranda.

Narasi pementasan lalu bergulir mengenai kisah perjuangan Tirto saat membela kaum terperentah, istilah yang merujuk pada kaum pribumi yang saat itu ditindas penguasa. Kehidupan sang jurnalis saat masih kecil, saat melanjutkan sekolah di Stovia, hingga berbagai kisah pribadi lain yang jarang diketahui publik.

Secara umum, melalui tiga masa tersebut, lakon ini mencoba menguak sisi-sisi kemanusiaan dari riwayat Tirto. Hal itupun dimainkan dengan trengginas oleh sang aktor, dengan dukungan multimedia dan permainan cello yang membuat penonton hanyut menikmati pementasan berdurasi 1 jam itu.

Baca juga: Potret Perebutan Kekuasaan Penuh Satire Politik dalam Lakon Calon Lawan

Proses Latihan
Sutradara Putu Fajar Arcana, mengatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo merupakan salah satu tokoh misterius dalam sejarah Indonesia. Namun, sosok asal Blora itu sudah sadar, bahwa alih-alih dengan senjata, dia lebih memilih menggunakan pena untuk melawan kolonial dan menyadarkan masyarakat.

Proses persiapan pertunjukan ini menurutnya membutuhkan waktu empat bulan. Kendati begitu untuk pembuatan naskahnya berlangsung lebih lama, sebab perlu dilakukan riset lain untuk memahami sosok Bapak Pers Nasional itu, khususnya yang selama ini jarang diketahui publik.

"Kita sempat mengcasting tiga aktor dan sudah menyanggupi, tapi pas udah latihan, tanpa alasan jelas tiba-tiba mundur. Akhirnya, dipilih Ari Sumitro dua bulan sebelum pementasan," katanya.

Adapun, pemilihan ode sebagai dramaturgi pertunjukan, dilakukan agar penulis dan sutradara bisa memasukkan unsur-unsur emosional dan intelektual dari sang tokoh. Artinya, jalinan peristiwa di dalamnya, bukan peristiwa monokromatik, tetapi peristiwa-peristiwa yang memiliki karakter prismatik.

"Ode dipilih karena kita menghormati Tirto, sebab kalau pendekatannya biografis akan linear. Jadi alurnya dibuat kilas balik, terutama mengenai visinya dalam menegakkan keadilan dan menebar benih-benih nasionalisme kebangsaan lewat pers," terangnya.

Monolog Tirto: Tiga Pengasingan (sumber gambar Titimangsa/Yose Riandi)

Monolog Tirto: Tiga Pengasingan (sumber gambar Titimangsa/Yose Riandi)

Sementara itu, aktor Ari Sumitro mengatakan, kendati baru dicasting dua bulan sebelum pementasan, dia bisa mengimbangi proses. Sebab, dia sudah mengikuti proses sejak awal meski saat itu hanya menjadi asisten sutradara di sela-sela waktunya menyiapkan pertunjukan lain.

Namun, menurut aktor yang juga bergiat di Teater Mandiri itu, salah satu tantangannya adalah penghafalan naskah. Oleh karena itu dia membutuhkan waktu sekitar dua hari, khususnya untuk mendalami karakter, dan memahami secara keseluruhan naskah yang ditulis oleh Ibed S.Yuga itu.

Baca juga: Sambut Momen Pesta Politik, Indonesia Kita Siap Pentaskan Lakon Calon Lawan

Ari menuturkan, salah satu pola yang dia lakukan adalah mencari referensi terkait sosok yang diperankan. Terutama mengenai wacana yang ada di luar konsepsi naskah,  seperti masa kecil sang tokoh hingga spirit Tirto dalam meneruskan perjuangan sang leluhur, yakni Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara I).

"Upaya lain yang dilakukan adalah menghafal poin-poin dan pembahasan. Selebihnya pakai bahasa sendiri, karena tata bahasanya agak rumit, terutama adegan di persidangan," katanya. 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Cek Rekayasa Lalu Lintas pada Malam Tahun Baru di Jakarta

BERIKUTNYA

Mooi Heartmade Rilis Koleksi Streetwear dengan Muklay untuk OOTD Bareng Keluarga

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: