Salah satu adegan lakon Calon Lawan (sumber foto: Didi Mugitriman/ Matapanggung)

Potret Perebutan Kekuasaan Penuh Satire Politik dalam Lakon Calon Lawan

31 October 2023   |   14:04 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sepuluh pemain wushu tampak beraksi dengan trengginas saat tirai panggung Teater Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki dibuka. Namun, koreografi mereka akhirnya kedodoran karena musuh yang dilawan tak terlihat dan tak mampu ditebas dengan pedang, lalu mereka pun tunggang langgang seolah sedang melawan hantu.

Adegan yang menyihir mata penonton itu merupakan secuplik peristiwa dalam lakon Calon Lawan yang dibawakan oleh Indonesia Kita belum lama ini. Terinspirasi dari karya-karya Sawung Jabo, lakon itu seolah merefleksikan realitas aktual yang terjadi di Indonesia hari ini lewat potret perebutan kekuasaan.

Baca juga: Waktu Batu Rumah yang Terbakar, Lakon Duka Akibat Krisis Ekologi dari Teater Garasi

Ya, dalam sejarahnya narasi perebutan kekuasan sudah banyak dikisahkan dalam berbagai epos. Dari Cleopatra hingga Arok Dedes, Mahabharata hingga Game of Thrones. Semuanya mengacu pada satu hal; hasrat dan keinginan berkuasa yang tak pernah terpuaskan.

Syahdan, dua kelimun perguruan kungfu berseteru untuk memperebutkan pengaruh dan kekuasaan di sebuah wilayah. Mereka adalah kelompok pimpinan Marwoto dan Cak Lontong yang sebelumnya berbagi pengaruh karena keduanya adalah kakak dan adik seperguruan.

Namun karena intrik tertentu mereka pecah kongsi dan bertikai. Sute (adik seperguruan laki-laki) dan Suheng (kakak seperguruan laki-laki) itu saling menyerang satu sama lain, yang dimainkan dengan ciamik oleh kelompok Wushu Inti Bayangan.

(Sumber foto:Didi Mugitriman/ Matapanggung)

(Sumber foto:Didi Mugitriman/ Matapanggung)

Arkian saat situasi semakin menegangkan, muncul beberapa kejadian misterius yang membuat masing-masing kubu akhirnya mafhum. Sebab, mereka seolah sedang diadu domba oleh sosok yang tak terlihat yang bergerak cepat melebihi bayangan dan pandai bersiasat.

Karena cemas dengan kondisi ini, kedua kelompok itu akhirnya bersatu dan melupakan perselisihan yang terjadi sebelumnya. Mereka bergabung untuk melawan sosok tak terlihat tersebut dan mencari tahu siapa identitasnya yang sebenarnya.

Sutradara Agus Noor memang cukup piawai menghadirkan kisah dalam menyambut momen pesta demokrasi Indonesia. Guyon parikena dilontarkan oleh para pemain dengan lugas, atau sesekali dibalut dengan humor yang ngetren di masyarakat.

Misalnya, saat Marwoto berbicara tentang politik Mahkamah Kungfu dalam proses menjadi wakil di tempat tersebut. Atau, Inayah Wahid yang tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa yang dibutuhkan Indonesia bukanlah jargon yang dibawa politikus, tapi rasa aman.

Kendati begitu pertunjukan dengan durasi 3 jam itu cukup melelahkan dengan banyak narasi yang berkelindan di luar konteks. Lagu-lagu karya Sawung Jabo  seperti Burung Putih, Langit Mendung, dan Petarung Hidup cenderung hanya dijadikan sebagai segmen peralihan transisi adegan yang dinyanyikan oleh Sri Enchik Krisna hingga Oppie Andaresta.

Laiknya pertunjukan Indonesia Kita yang lain, gong dari lakon Calon Lawan pun masih berada di tangan Cak Lontong dan Akbar sebagai hiburan penonton. Dialog keduanya yang memanfaatkan logika masih berhasil mengocok perut dengan humor-humor cerdas meski ada ada unsur repetitif dengan lakon-lakon sebelumnya. 

Baca juga: Lakon Identikit, Antara Metafora & Memori Kehilangan dari Sekat Studio

Potret Sosial
Lebih dari sekedar pertunjukan, Calon Lawan sebenarnya juga merefleksikan potret sosial para politikus di Indonesia. Sikap pemimpin perguruan yang terus bersiasat dan main kayu, misalnya, mengingatkan penonton pada pemimpin yang tak bijak serta haus kekuasaan.

Sementara itu, sosok pendekar tanpa nama yang dimainkan oleh Butet Kartaredjasa menjadi semacam konklusi dari pertunjukan yang kurang menggigit. Ibarat teknik deus ex machina sosok tersebut muncul sembari menarasikan pesan-pesan bahwa musuh paling nyata dari hasrat untuk berkuasa adalah diri sendiri.

Sutradara Agus Noor mengatakan, ajang gelaran kesenian kerap menjadi momen pemanasan bagi publik maupun para kontestan calon presiden sebelum maju berlaga. Namun, mereka biasanya datang ke acara tersebut bukan untuk menonton, tetapi agar disorot dan muncul di banyak media.

Menurut Agus, saat ini rakyat Indonesia tengah disuguhi berbagai macam calon pemimpin dengan segala pesona dan janji-janjinya yang menggiurkan. Bahkan, semua calon itu akan saling melawan satu sama lain dan mengadu kelebihannya masing-masing untuk dapat memenangkan hati masyarakat.

"Namun, setelah pesta keriuhan politik usai, panggung-panggung seni tak lagi mendapat perhatian. Mereka akan sibuk mengurus kekuasaan, dan mungkin hanya ingat sesekali pada acara kegiatan seni, semata sebagai hiburan, atau kewajiban seremonial saja," katanya.

(sumber foto: Didi Mugitriman/ Matapanggung)

(sumber foto: Didi Mugitriman/ Matapanggung)

Adapun pendiri Indonesia Kita, Butet Kartaredjasa mengatakan pementasan kali ini menang sengaja merayakan karya-karya para sosok maestro dan para living legend di Indonesia. Sawung Jabo dipilih karena karya-karyanya, terutama musik masih relevan hingga hari ini yang banyak mengambil tema-tema sosial.

Dia mengungkap sumber pementasan kali ini memang sumbernya dipancing dari karya-karya musisi yang kini mukim di Australia itu. Menurutnya, produk kebudayaan yang berkualitas akan selalu memberi inspirasi bagi karya-karya lain, yang bahkan dibuat dalam medium yang berbeda.

"Next mungkin bisa juga kita mengangkat seniman lain, misalnya Mas Putu Wijaya, Rendra, atau Iwan Fals. Kita tinggal berkompromi dengan pihak keluarga jika mereka membuka diri, karena ini akan jadi apresiasi kultur untuk menafsir karya-karya maestro itu," katanya. 

Baca juga: Pementasan Lakon Julini Tak Pernah Mati, Simbol Kebenaran yang Terus Abadi

Sementara itu, Inayah Wahid yang kerap ikut bermain dalam Indonesia Kita mengatakan, bahwa kelompok tersebut memang menjadi tempat berlabuhnya untuk berekspresi. Hal itulah yang kemudian menjadi semacam simbiosis mutualisme antara mereka baik dalam bertukar gagasan dan berkarya.

"Saya enggak tahu apakah saya jadi 'gila' karena sering ikut pertunjukan teater, atau Indonesia Kita ini jadi tempat yang  mewadahi kegilaan, saya tidak tahu. Namun yang pasti ada klik atau frekuensi yang sama antara kami dalam menyuarakan pendapat," katanya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Gaya Hidup Tidak Sehat Jadi Faktor Risiko Terbesar Pemicu Kanker Payudara

BERIKUTNYA

Daftar Lengkap Pemenang & Ranking Ballon d'Or 2023, Messi Bawa Pulang Bola Emas ke-8

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: