Titimangsa Foundation Sajikan Serial Monolog Di Tepi Sejarah Musim Kedua
15 August 2022 |
17:23 WIB
Titimangsa Foundation berkolaborasi dengan KawanKawan Media dan Direktorat Perfilman dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), kembali menyajikan serial monolog Di Tepi Sejarah musim kedua bulan ini. Kali ini, ada lima riwayat pelaku sejarah yang dikisahkan di atas panggung.
Kelima tokoh tersebut yakni Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), Kassian Cephas (1845-1912), Gombloh (1949-1988), Ismail Marzuki (1914-1958), dan Emiria Soenassa (1895-1964). Mereka adalah sosok penting yang berada di tepian sejarah, yang mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
Yulia Evina Bahara, Produser KawanKawan Media, mengatakan digelarnya kembali serial monolog Di Tepi Sejarah berkat antusiasme yang besar pada musim pertamanya. Dia menuturkan saat itu banyak guru dan siswa yang menonton dan membuat resensi pertunjukan, termasuk mendiskusikan apa yang mereka dapatkan dari monolog pelaku-pelaku sejarah.
Baca juga: Ciputra Artpreneur akan Gelar Pertunjukan Teater Under the Volcano 27 Agustus
Dengan begitu, para siswa yang memang menjadi target utama penonton pertunjukan pun mendapatkan pengalaman baru khususnya dalam mempelajari sejarah bangsa Indonesia.
"Tujuan kami sebetulnya sampai di situ saja, membuka ruang-ruang diskusi mengenai sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas, karena panggung sejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar," kata Yulia pada konferensi pers di M Bloc Space, Jakarta, Senin (15/8/2022).
Pendiri Titimangsa sekaligus produser, Happy Salma, menjelaskan latar belakang dibuatnya serial monolog Di Tepi Sejarah berangkat dari kesuksesan pertunjukan Aku, Istri Munir, pada 2020 lalu yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.
Dia mengatakan bahwa animo masyarakat untuk menonton pertunjukan yang bercerita tentang tokoh-tokoh penting bangsa Indonesia, yang cenderung terpinggirkan dalam narasi utama sejarah semacam itu, cukup besar.
"Saya langsung dapat ide kita bisa ceritakan orang-orang yang ada di tepian sejarah itu banyak banget, dari orang kedua orang ketiga," katanya.
Happy juga menambahkan bahwa serial monolog Di Tepi Sejarah bukan hanya ingin menyampaikan kisah tokoh-tokoh yang ada berada di tepian sejarah, tetapi juga ingin membangun ruang-ruang diskusi sekaligus kerja sama yang lebih kuat yang melibatkan banyak kerja kreatif lintas bidang seni.
"Bukan hanya mengenal sosok-sosok yang memberikan kontribusi besar dalam dinamika kebangsaan, tetapi kami juga bersama-sama belajar untuk mempertajam dan menempa diri dengan pilihan-pilihan profesi kami," imbuhnya.
Menurut Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Indonesia, seperti salah satunya serial monolog Di Tepi Sejarah.
Dia pun berharap pementasan monolog tentang pelaku sejarah dapat memantik pemikiran tentang pertemuan dan persilangan budaya yang terjadi di Indonesia. "Dalam waktu hampir seratus tahun sejarah modern Indonesia, sedikit sekali ruang itu terbuka kecuali dalam kongres-kongres kebudayaan," katanya.
Dalam penyajiannya, serial monolog Di Tepi Sejarah menampilkan lima tokoh sejarah Indonesia dengan lima judul monolog yakni Sjafruddin Prawiranegara (Kacamata Sjafruddin), Kassian Cephas (Mata Kamera), Gombloh (Panggil Aku Gombloh), Ismail Marzuki (Senandung di Ujung Revolusi), dan Emiria Soenassa (Yang Tertinggal di Jakarta).
Menampilkan aktor Deva Mahenra, monolog Kacamata Sjafruddin akan menampilkan kisah negarawan sekaligus ekonom Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara, kala dia menjabat sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta pada 1948.
Demi siasat politik diplomasi, namanya dilupakan dan dihela ke tepi sejarah. Padahal, sebagai Ketua PDRI, dia merupakan kepala pemerintahan Republik yang sah kala itu.
Ada juga monolog Mata Kamera yang menampilkan kisah Kassian Cephas, seorang fotografer profesional pertama dari kalangan pribumi. Kassian bekerja di Keraton Mataram Yogyakarta masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai juru foto. Sebagai fotografer, Kassian meninggalkan pengaruh kuat pada perkembangan fotografi di Indonesia kelak.
Figur ketiga yakni Gombloh, penyanyi dan penulis lagu yang bernama asli Soedjarwoto. Sebagai seniman, Gombloh kerap mengantar pesan mengenai solidaritas sosial dan rasa cinta Tanah Air melalui karya-karyanya. Buah-buah pemikirannya juga dianggap masih kontekstual dengan realita yang terjadi dewasa ini.
Selain itu, akan ditampilkan juga kisah komponis yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat yakni Ismail Marzuki. Lewat monolog berjudul Senandung di Ujung Revolusi, Lukman Sardi yang memainkan tokoh Ismail Marzuki akan menampilkan kisah revolusioner sang komponis melalui musik dan lagu-lagu ciptaannya.
Satu-satunya figur perempuan yang hadir dalam monolog Di Tepi Sejarah yakni Emiria Soenassa, pelukis perempuan Indonesia pertama pada awal abad ke-20. Dia juga merupakan seorang pemikir revolusioner yang turut menjadi anggot delegasi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Dira Sugandi dipercaya memerankan tokoh Emiria dengan arahan sutradara Sri Qadariatin.
Adapun, kelima judul serial monolog Di Tepi Sejarah itu bisa mulai ditonton di kanal YouTube Budaya Saya dan Indonesiana TV mulai 17 Agustus 2022, yang akan diunggah secara berkala selama bulan ini.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Kelima tokoh tersebut yakni Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), Kassian Cephas (1845-1912), Gombloh (1949-1988), Ismail Marzuki (1914-1958), dan Emiria Soenassa (1895-1964). Mereka adalah sosok penting yang berada di tepian sejarah, yang mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
Yulia Evina Bahara, Produser KawanKawan Media, mengatakan digelarnya kembali serial monolog Di Tepi Sejarah berkat antusiasme yang besar pada musim pertamanya. Dia menuturkan saat itu banyak guru dan siswa yang menonton dan membuat resensi pertunjukan, termasuk mendiskusikan apa yang mereka dapatkan dari monolog pelaku-pelaku sejarah.
Baca juga: Ciputra Artpreneur akan Gelar Pertunjukan Teater Under the Volcano 27 Agustus
Dengan begitu, para siswa yang memang menjadi target utama penonton pertunjukan pun mendapatkan pengalaman baru khususnya dalam mempelajari sejarah bangsa Indonesia.
"Tujuan kami sebetulnya sampai di situ saja, membuka ruang-ruang diskusi mengenai sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas, karena panggung sejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar," kata Yulia pada konferensi pers di M Bloc Space, Jakarta, Senin (15/8/2022).
Pendiri Titimangsa sekaligus produser, Happy Salma, menjelaskan latar belakang dibuatnya serial monolog Di Tepi Sejarah berangkat dari kesuksesan pertunjukan Aku, Istri Munir, pada 2020 lalu yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.
Dia mengatakan bahwa animo masyarakat untuk menonton pertunjukan yang bercerita tentang tokoh-tokoh penting bangsa Indonesia, yang cenderung terpinggirkan dalam narasi utama sejarah semacam itu, cukup besar.
"Saya langsung dapat ide kita bisa ceritakan orang-orang yang ada di tepian sejarah itu banyak banget, dari orang kedua orang ketiga," katanya.
Seri Monolog "Di Tepi Sejarah" (Sumber gambar: Titimangsa Foundation)
Happy juga menambahkan bahwa serial monolog Di Tepi Sejarah bukan hanya ingin menyampaikan kisah tokoh-tokoh yang ada berada di tepian sejarah, tetapi juga ingin membangun ruang-ruang diskusi sekaligus kerja sama yang lebih kuat yang melibatkan banyak kerja kreatif lintas bidang seni.
"Bukan hanya mengenal sosok-sosok yang memberikan kontribusi besar dalam dinamika kebangsaan, tetapi kami juga bersama-sama belajar untuk mempertajam dan menempa diri dengan pilihan-pilihan profesi kami," imbuhnya.
Menurut Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Indonesia, seperti salah satunya serial monolog Di Tepi Sejarah.
Dia pun berharap pementasan monolog tentang pelaku sejarah dapat memantik pemikiran tentang pertemuan dan persilangan budaya yang terjadi di Indonesia. "Dalam waktu hampir seratus tahun sejarah modern Indonesia, sedikit sekali ruang itu terbuka kecuali dalam kongres-kongres kebudayaan," katanya.
Dalam penyajiannya, serial monolog Di Tepi Sejarah menampilkan lima tokoh sejarah Indonesia dengan lima judul monolog yakni Sjafruddin Prawiranegara (Kacamata Sjafruddin), Kassian Cephas (Mata Kamera), Gombloh (Panggil Aku Gombloh), Ismail Marzuki (Senandung di Ujung Revolusi), dan Emiria Soenassa (Yang Tertinggal di Jakarta).
Menampilkan aktor Deva Mahenra, monolog Kacamata Sjafruddin akan menampilkan kisah negarawan sekaligus ekonom Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara, kala dia menjabat sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta pada 1948.
Demi siasat politik diplomasi, namanya dilupakan dan dihela ke tepi sejarah. Padahal, sebagai Ketua PDRI, dia merupakan kepala pemerintahan Republik yang sah kala itu.
Ada juga monolog Mata Kamera yang menampilkan kisah Kassian Cephas, seorang fotografer profesional pertama dari kalangan pribumi. Kassian bekerja di Keraton Mataram Yogyakarta masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai juru foto. Sebagai fotografer, Kassian meninggalkan pengaruh kuat pada perkembangan fotografi di Indonesia kelak.
Figur ketiga yakni Gombloh, penyanyi dan penulis lagu yang bernama asli Soedjarwoto. Sebagai seniman, Gombloh kerap mengantar pesan mengenai solidaritas sosial dan rasa cinta Tanah Air melalui karya-karyanya. Buah-buah pemikirannya juga dianggap masih kontekstual dengan realita yang terjadi dewasa ini.
Selain itu, akan ditampilkan juga kisah komponis yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat yakni Ismail Marzuki. Lewat monolog berjudul Senandung di Ujung Revolusi, Lukman Sardi yang memainkan tokoh Ismail Marzuki akan menampilkan kisah revolusioner sang komponis melalui musik dan lagu-lagu ciptaannya.
Satu-satunya figur perempuan yang hadir dalam monolog Di Tepi Sejarah yakni Emiria Soenassa, pelukis perempuan Indonesia pertama pada awal abad ke-20. Dia juga merupakan seorang pemikir revolusioner yang turut menjadi anggot delegasi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Dira Sugandi dipercaya memerankan tokoh Emiria dengan arahan sutradara Sri Qadariatin.
Adapun, kelima judul serial monolog Di Tepi Sejarah itu bisa mulai ditonton di kanal YouTube Budaya Saya dan Indonesiana TV mulai 17 Agustus 2022, yang akan diunggah secara berkala selama bulan ini.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.