15% Orang Dewasa Usia Pekerja Alami Gangguan Kesehatan Mental, Begini Saran Psikiater
25 December 2023 |
16:44 WIB
Tenaga profesional kian berhadapan dengan ancaman nyata gangguan kesehatan mental. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang terbit pada Juni 2022 menyebutkan sekitar 15% orang dewasa dalam usia kerja mengalami hal tersebut. Padahal tenaga profesional merupakan garda terdepan perekonomian negara.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Siloam Hospitals Bogor, Lahargo Kembaren, mengatakan kesehatan mental bisa berdampak besar pada kesehatan fisik, sosial, dan ekonomi individu masyarakat di seluruh dunia.
Data Johnson & Johnson juga menyebutkan lebih dari tiga perempat orang dengan penyakit mental tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sekitar 75% orang dengan gangguan kesehatan mental di negara berkembang tidak menerima perawatan sama sekali.
Baca juga: Kenali 5 Risiko Kesehatan Mental yang Sering Terjadi pada Pekerja
Dengan kondisi yang ada, advokasi kesehatan mental bagi tenaga profesional perlu digalakkan. Tekanan dalam dunia kerja mendorong tiap individu mampu mengelola stres dengan baik. Kesadaran akan kesehatan mental di dunia kerja disikapi dengan pemahamanan kemampuan, batasan, dan potensi yang miliki. Hal ini apa mendorong produktivitas dan peran tenaga profesional dalam komunitasnya.
Umumnya, gejala gangguan kesehatan mental yang banyak ditemui berkaitan dengan rasa cemas, sedih, murung, suasana hati kosong, putus ada, gelisah, lesu, hingga tak mampu mengambil keputusan.
Malangnya, gejala ini acap kali tidak disadari oleh pasien. Ketidaksadaran ini biasanya diakibatkan karena kesibukan dalam dunia kerja, hingga pengaruh stigma masyarakat yang mengakibatkan individu mengabaikan kondisi kesehatan mentalnya.
Menurut Lahargo, kondisi ini bisa berakibat buruk pada kesejahteraan pasien baik secara fisik dan mental. Ketidakmampuan menyadari gejala gangguan kesehatan mental ini bisa berdampak pada produktivitas dan keseharian. Pada situasi yang terasa kalut dan sulit diutarakan, Lahargo menyarankan untuk segera memeriksakan diri ke ahli kejiwaan.
“Tidak perlu ragu untuk memeriksakan diri ke tenaga medis profesional apabila merasakan gejala seperti lesu, sedih terus-menerus, kehilangan minat pada hobi, sulit berkonsentrasi, dan yang terburuk adalah berulang-ulang memikirkan kematian,” katanya.
Lahargo menyambung, tiap individu juga sebaiknya coba berfokus pada apa yang bisa dikontrol. Tiga hal penting yang perlu dikontrol adalah tidur, makanan, dan hubungan. Tenaga profesional diimbau tidur pada jam yang sama untuk melatih tubuh, kemudian melengkapi nutrisi dengan gizi yang seimbang. Tak kalah penting, mengalokasikan waktu untuk menjalin hubungan juga berpengaruh pada aspek mental dan merilis stres.
“Rasa cemas dan stres memang sangat normal, tetapi apabila sudah mulai mengganggu kinerja, maka sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter,” ungkapnya.
Baca juga: Tantangan yang Dihadapi Gen Z, Mulai dari Karier sampai Isu Kesehatan Mental
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUP Persahabatan Alvinia Hayulani menuturkan perlunya mengatur manajemen stres sebagai tenaga profesional bisa mempengaruhi aspek fisik dan mental secara bersamaan. Menurutnya, mental atau fisik yang sedang tidak dalam kondisi baik bisa menciptakan efek domino pada pekerjaan. Misalnya, deadline pekerjaan yang menumpuk bisa membuat khawatir hingga berdampak panjang pada penurunan fungsi kerja atau produktivitas.
“Jika sudah mengganggu pekerjaan sehari-hari maka harus segera cari pertolongan profesional,” tegasnya.
Alvinia menyebut, saat ini pasiennya didominasi oleh kalangan dewasa muda dengan rentang usia 20-26 tahun. Temuan menariknya, banyak pasien yang justru datang dengan keluhan fisik. Dia membenarkan bahwa kesehatan fisik dan mental memang saling mempengaruhi.
Sebagai contoh, stres berlebihan yang memicu ketegangan otot bisa berakibat pada penurunan daya tahan tubuh dan membuat rentan terhadap penyakit jika terus berlangsung dalam waktu lama. Gejala otot tegang, asam lambung naik, dan pusing merupakan gejala fisik yang bisa saja muncul karena pengelolaan stres yang buruk.
“Saat ini banyak pasien poli lain yang dikirim ke kami dengan keluhan fisik, ternyata ada masalah yang datang dari faktor psikis,” katanya.
Menurut Alvina, tiap individu harus memiliki bekal kemampuan pengelolaan dan pengendalian emosi yang baik. Emosi yang bersifat negatif seperti marah dan stress tidak untuk dihindari. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah menemukan koping yang tepat.
Pasalnya, saat seseorang tidak mampu menemukan koping yang tepat dalam waktu yang lama, gejala gangguan jiwa disertai keluhan fisik bisa hadir dan memperparah situasi yang dihadapi tenaga profesional. Keluhan ini bisa mengganggu aspek pekerjaan hingga hubungan sosial baik di dalam atau di luar lingkungan kerja.
“Maka tiap orang punya defense mechanism-nya sendiri. Perlu mengenali diri untuk mengetahui koping seperti apa yang sebaiknya digunakan. Caranya bermacam-macam, bisa sharing, journaling, atau mengalihkan dengan aktivitas favorit misalnya olahraga,” katanya.
Baca juga: 4 Drama Korea Angkat Isu Kesehatan Mental, Terbaru Ada Daily Dose of Sunshine
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Siloam Hospitals Bogor, Lahargo Kembaren, mengatakan kesehatan mental bisa berdampak besar pada kesehatan fisik, sosial, dan ekonomi individu masyarakat di seluruh dunia.
Data Johnson & Johnson juga menyebutkan lebih dari tiga perempat orang dengan penyakit mental tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sekitar 75% orang dengan gangguan kesehatan mental di negara berkembang tidak menerima perawatan sama sekali.
Baca juga: Kenali 5 Risiko Kesehatan Mental yang Sering Terjadi pada Pekerja
Dengan kondisi yang ada, advokasi kesehatan mental bagi tenaga profesional perlu digalakkan. Tekanan dalam dunia kerja mendorong tiap individu mampu mengelola stres dengan baik. Kesadaran akan kesehatan mental di dunia kerja disikapi dengan pemahamanan kemampuan, batasan, dan potensi yang miliki. Hal ini apa mendorong produktivitas dan peran tenaga profesional dalam komunitasnya.
Umumnya, gejala gangguan kesehatan mental yang banyak ditemui berkaitan dengan rasa cemas, sedih, murung, suasana hati kosong, putus ada, gelisah, lesu, hingga tak mampu mengambil keputusan.
Malangnya, gejala ini acap kali tidak disadari oleh pasien. Ketidaksadaran ini biasanya diakibatkan karena kesibukan dalam dunia kerja, hingga pengaruh stigma masyarakat yang mengakibatkan individu mengabaikan kondisi kesehatan mentalnya.
Menurut Lahargo, kondisi ini bisa berakibat buruk pada kesejahteraan pasien baik secara fisik dan mental. Ketidakmampuan menyadari gejala gangguan kesehatan mental ini bisa berdampak pada produktivitas dan keseharian. Pada situasi yang terasa kalut dan sulit diutarakan, Lahargo menyarankan untuk segera memeriksakan diri ke ahli kejiwaan.
“Tidak perlu ragu untuk memeriksakan diri ke tenaga medis profesional apabila merasakan gejala seperti lesu, sedih terus-menerus, kehilangan minat pada hobi, sulit berkonsentrasi, dan yang terburuk adalah berulang-ulang memikirkan kematian,” katanya.
Lahargo menyambung, tiap individu juga sebaiknya coba berfokus pada apa yang bisa dikontrol. Tiga hal penting yang perlu dikontrol adalah tidur, makanan, dan hubungan. Tenaga profesional diimbau tidur pada jam yang sama untuk melatih tubuh, kemudian melengkapi nutrisi dengan gizi yang seimbang. Tak kalah penting, mengalokasikan waktu untuk menjalin hubungan juga berpengaruh pada aspek mental dan merilis stres.
“Rasa cemas dan stres memang sangat normal, tetapi apabila sudah mulai mengganggu kinerja, maka sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter,” ungkapnya.
Baca juga: Tantangan yang Dihadapi Gen Z, Mulai dari Karier sampai Isu Kesehatan Mental
Kaitan Kesehatan Mental dan Fisik
Ilustrasi stress (Sumber gambar: Elisa Venture/Unsplash)
“Jika sudah mengganggu pekerjaan sehari-hari maka harus segera cari pertolongan profesional,” tegasnya.
Alvinia menyebut, saat ini pasiennya didominasi oleh kalangan dewasa muda dengan rentang usia 20-26 tahun. Temuan menariknya, banyak pasien yang justru datang dengan keluhan fisik. Dia membenarkan bahwa kesehatan fisik dan mental memang saling mempengaruhi.
Sebagai contoh, stres berlebihan yang memicu ketegangan otot bisa berakibat pada penurunan daya tahan tubuh dan membuat rentan terhadap penyakit jika terus berlangsung dalam waktu lama. Gejala otot tegang, asam lambung naik, dan pusing merupakan gejala fisik yang bisa saja muncul karena pengelolaan stres yang buruk.
“Saat ini banyak pasien poli lain yang dikirim ke kami dengan keluhan fisik, ternyata ada masalah yang datang dari faktor psikis,” katanya.
Menurut Alvina, tiap individu harus memiliki bekal kemampuan pengelolaan dan pengendalian emosi yang baik. Emosi yang bersifat negatif seperti marah dan stress tidak untuk dihindari. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah menemukan koping yang tepat.
Pasalnya, saat seseorang tidak mampu menemukan koping yang tepat dalam waktu yang lama, gejala gangguan jiwa disertai keluhan fisik bisa hadir dan memperparah situasi yang dihadapi tenaga profesional. Keluhan ini bisa mengganggu aspek pekerjaan hingga hubungan sosial baik di dalam atau di luar lingkungan kerja.
“Maka tiap orang punya defense mechanism-nya sendiri. Perlu mengenali diri untuk mengetahui koping seperti apa yang sebaiknya digunakan. Caranya bermacam-macam, bisa sharing, journaling, atau mengalihkan dengan aktivitas favorit misalnya olahraga,” katanya.
Baca juga: 4 Drama Korea Angkat Isu Kesehatan Mental, Terbaru Ada Daily Dose of Sunshine
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.