Bisnis Pangan Lokal Kian Dikenal, Olah Singkong hingga Sagu Jadi Makanan Kekinian
11 November 2023 |
15:00 WIB
Indonesia kaya dengan akan sumber pangan lokal. Mulai dari jenis sereal, umbi-umbian, dan tanaman perkebunan. Namun, derasnya arus modernisasi membuat masyarakat cenderung tidak karib dengan ragam olahan pangan lokal. Beruntung, kini bermunculan sejumlah merek bisnis makanan yang mengoptimalkan sumber pangan asli Nusantara.
Salah satunya ialah Ladang Lima. Berdiri sejak 2013, Ladang Lima menghadirkan beragam produk olahan singkong bebas gluten mulai dari tepung singkong, mi sayur sehat, tepung premiks, tepung bumbu serbaguna, cookies dan pasta. Semua produk tersebut bersumber dari petani lokal yang menanam singkong secara organik.
Baca juga: 6 Resep Makanan Tradisional Pengganti Nasi, Tiwul hingga Papeda
Baca juga: 6 Resep Makanan Tradisional Pengganti Nasi, Tiwul hingga Papeda
Olahan Singkong
Chief Marketing Officer Ladang Lima Annisa Pratiwi bercerita ide memulai bisnis bersama sang suami lantaran melihat perkebunan singkong yang melimpah di Jawa Timur. Selama ini, singkong lebih sering diolah menjadi singkong goreng, keripik, singkong rebus, ataupun tape.
Namun, Annisa menilai makanan-makanan itu akan sulit dilirik oleh konsumen khususnya kalangan muda. Berangkat dari keresahan itu, dia dan suami akhirnya bertekad untuk membuat singkong naik kelas dengan mengolahnya menjadi ragam produk olahan enak sekaligus sehat, yang dimulai dengan membuat tepung singkong.
Namun, Annisa menilai makanan-makanan itu akan sulit dilirik oleh konsumen khususnya kalangan muda. Berangkat dari keresahan itu, dia dan suami akhirnya bertekad untuk membuat singkong naik kelas dengan mengolahnya menjadi ragam produk olahan enak sekaligus sehat, yang dimulai dengan membuat tepung singkong.
Berbeda dengan tepung tapioka yang cenderung mengambil sari pati singkong, produk tepung Ladang Lima masih memiliki kadar fiber yang tinggi dan mengalami proses fermentasi.
"Setelah riset selama setahun, akhirnya kami menemukan bahwa hasil olahan singkong dapat dimanfaatkan menjadi tepung terigu yang ternyata gluten free dan sehat untuk dikonsumsi," katanya kepada Hypeabis.id.
"Setelah riset selama setahun, akhirnya kami menemukan bahwa hasil olahan singkong dapat dimanfaatkan menjadi tepung terigu yang ternyata gluten free dan sehat untuk dikonsumsi," katanya kepada Hypeabis.id.
Bahan baku singkong yang digunakan Ladang Lima didapatkan dari petani lokal di Pasuruan daerah Malang yang merupakan penghasil singkong terbesar di Indonesia. Kebun ini juga berada di bawah kaki Gunung Bromo yang dekat dengan pabrik pembuatan produk Ladang Lima, sehingga olahan yang dihasilkan selalu menggunakan singkong yang segar.
Plus, perusahaan hanya memproses singkong segar yang baru dipanen untuk menjaga kualitas tepung singkong dan menghasilkan warna tepung yang putih alami tanpa proses pemutihan.
Tidak hanya itu, dalam proses produksi, Ladang Lima juga memberdayakan perempuan di wilayah sekitar kebun dan saat ini 70% pekerja di pabrik dan kebun adalah perempuan. Dengan kata lain, semua pembuatan produk Ladang Lima dikerjakan oleh tangan-tangan perempuan lokal.
Baca juga: Ragam Resep Kudapan Manis dari Singkong
Tidak hanya itu, dalam proses produksi, Ladang Lima juga memberdayakan perempuan di wilayah sekitar kebun dan saat ini 70% pekerja di pabrik dan kebun adalah perempuan. Dengan kata lain, semua pembuatan produk Ladang Lima dikerjakan oleh tangan-tangan perempuan lokal.
Baca juga: Ragam Resep Kudapan Manis dari Singkong
Singkoh dipilih oleh Annisa untuk diolah menjadi beragam produk lantaran bisa berfungsi sebagai pengganti tepung terigu setelah terfermentasi. Sebaliknya, beberapa jenis ubi yang telah dirisetnya seperti ubi ungu, porang, dan ganyong terbukti tidak bisa dibuat menjadi tepung terigu. "Tapi ke depan, kami akan olah sumber pangan lokal lain juga," ujarnya.
Diakui oleh Annisa pada awal membangun bisnis, dia masih cukup kesulitan untuk mempromosikan produk-produk bebas gluten. Kala itu, kesadaran masyarakat terhadap makanan sehat belum besar seperti sekarang. Akhirnya, dia memberikan edukasi sekaligus mempromosikan produknya dimulai dari komunitas-komunitas kecil, salah satunya dengan kegiatan demo masak.
"Waktu itu susah banget, cuma akhirnya yang kita lakukan adalah konsisten dalam mengedukasi pasar melalui event-event kecil," katanya.
Seiring waktu, Annisa menilai minat masyarakat Indonesia terhadap olahan sumber pangan lokal mulai meningkat. Sebab, katanya, kini banyak orang yang melihat product value sebelum memutuskan untuk membeli makanan, di samping mempertimbangkan harga dan rasa. Terbukti, selama 10 tahun berjalan, tren penjualan di Ladang Lima relatif mengalami peningkatan terlebih saat pandemi.
Dia menjelaskan bahwa produk yang paling diminati konsumen dari Ladang Lima adalah produk siap makan (ready to eat) dibandingkan tepung singkong seperti mi, kue, serta tepung premiks. Meski konsumen dari Ladang Lima saat ini didominasi oleh kalangan milenial berusia 25-35 tahun, Annisa mengatakan generasi Z juga kini sudah mulai banyak mengincar produknya.
Dia menjelaskan bahwa produk yang paling diminati konsumen dari Ladang Lima adalah produk siap makan (ready to eat) dibandingkan tepung singkong seperti mi, kue, serta tepung premiks. Meski konsumen dari Ladang Lima saat ini didominasi oleh kalangan milenial berusia 25-35 tahun, Annisa mengatakan generasi Z juga kini sudah mulai banyak mengincar produknya.
"Sampai sekarang peningkatannya mungkin sekitar 20% setiap tahun. Itu membuktikan bahwa sebenarnya makanan sehat itu juga bisa enak," terangnya.
Meski banyak bermunculan produk bebas gluten, Annisa berpendapat bahwa produk Ladang Lima memiliki beberapa keunggulan terutama dari segi rasa, menggunakan bahan tepung singkong, serta tanpa pemutih, pemanis, dan perisa. Ke depan, dia juga menuturkan bahwa akan terus mengeluarkan beragam produk olahan tepung singkong terutama varian tepung premix dan mi.
Menurutnya, tren bisnis makanan olahan dari sumber pangan lokal yang enak dan sehat akan terus moncer ke depannya. Terlebih, di tengah konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, bahan-bahan seperti tepung terigu dan gandum impor terus melambung. Oleh karena itu, kondisi tersebut bisa menjadi peluang emas bagi para pebisnis untuk mengoptimalkan dalam pengolahan sumber pangan lokal.
Tepung Sagu
Merek bisnis lain yang juga mengoptimalkan pengolahan sumber pangan lokal ialah Sapapua di bawah naungan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ). Sapapua ialah pati sagu yang dihasilkan dari hutan sagu alami di Sorong Selatan, Papua Barat. Pohon sagu yang diolah pun dibiarkan tumbuh secara alami tanpa pestisida, pupuk atau zat tambahan lainnya.
Pati sagu alami menyimpan beberapa manfaat kesehatan seperti bebas gluten, rendah indeks glikemik dan bersifat prebiotik. Menjadi pengganti tepung terigu, pati sagu cocok digunakan untuk berbagai resep masakan seperti bakso, mi, pempek, roti, kukis bebas gluten dan lainnya.
Director of Sustainability and Corporate Communications ANJ Group Nunik Maharani mengatakan sagu memiliki potensi pasar untuk diolah sebagai produk bebas gluten, dengan berbagai manfaat kesehatan untuk pencernaan dan berpotensi menjadi produk pengganti gandum.
"Mengingat kurangnya pasokan gandum akibat pembatasan ekspor di negara-negara penghasil utama yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Oleh karena itu, kami melihat peluang besar di pasar ini pada tahun-tahun mendatang," katanya.
Nunik menjelaskan saat ini pasar terbesar Sapapua dan Pati Alam ada di pasar domestik atau dalam negeri. Sagu, paparnya, banyak dimanfaatkan di industri pangan sebagai bahan untuk membuat pangan olahan di industri daging olahan, bakeri maupun makanan ringan.
Pati sagu alami menyimpan beberapa manfaat kesehatan seperti bebas gluten, rendah indeks glikemik dan bersifat prebiotik. Menjadi pengganti tepung terigu, pati sagu cocok digunakan untuk berbagai resep masakan seperti bakso, mi, pempek, roti, kukis bebas gluten dan lainnya.
Director of Sustainability and Corporate Communications ANJ Group Nunik Maharani mengatakan sagu memiliki potensi pasar untuk diolah sebagai produk bebas gluten, dengan berbagai manfaat kesehatan untuk pencernaan dan berpotensi menjadi produk pengganti gandum.
"Mengingat kurangnya pasokan gandum akibat pembatasan ekspor di negara-negara penghasil utama yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Oleh karena itu, kami melihat peluang besar di pasar ini pada tahun-tahun mendatang," katanya.
Nunik menjelaskan saat ini pasar terbesar Sapapua dan Pati Alam ada di pasar domestik atau dalam negeri. Sagu, paparnya, banyak dimanfaatkan di industri pangan sebagai bahan untuk membuat pangan olahan di industri daging olahan, bakeri maupun makanan ringan.
"Kami berupaya untuk dapat terus memperluas pasar sagu di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu upaya kami untuk memperluas pasar adalah dengan melakukan berbagai aktivasi pemasaran dan penjualan secara daring," ujarnya.
Meski demikian, diakui olehnya pemanfaatan pati sagu sebagai bahan makanan belum terlalu tinggi di kalangan masyarakat Indonesia. Saat ini, lanjutnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa sagu yang banyak beredar sebenarnya adalah tepung tapioka yang berasal dari singkong, sedangkan pati sagu yang asli berasal dari batang pohon sagu.
Memang ada kemiripan karakteristik kedua produk tersebut jika diaplikasikan ke olahan pangan, tapi pati sagu memiliki berbagai keunggulan yang tidak dimiliki tepung tapioka, misalnya kandungan amilosa sagu lebih tinggi sehingga lebih tahan cerna dan dapat mengendalikan kadar gula darah di dalam tubuh.
Hal tersebut belum terlalu dipahami oleh masyarakat. Di samping itu, gempuran produk-produk impor dari luar negeri yang saat ini banyak diminati generasi muda juga menjadi tantangan lain.
Padahal, Nunik berpendapat sebagai bagian dari inisiatif diversifikasi dan ketahanan pangan Indonesia, pihaknya meyakini pati sagu memiliki potensi yang signifikan sebagai sumber karbohidrat alternatif berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi ketergantungan pada beras, gandum, dan biji-bijian pokok lainnya.
"Namun demikian, sekarang makin banyak gerakan dan komunitas yang mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal, bukan hanya untuk menghargai kekayaan pangan lokal, tetapi juga untuk mengurangi jejak karbon," katanya.
Untuk mengatasi kondisi menantang tersebut, Sapapua juga melakukan berbagai upaya mulai dari gencar mempromosikan sagu dan mengedukasi penggunaan sagu dalam berbagai makanan modern kepada masyarakat umum, membuat restoran bernama Bueno Nasio untuk memberikan pengalaman rasa secara langsung kepada pengunjung berbagai makanan olahan dari sagu, serta aktif berpartisipasi dalam diskusi tentang sagu dan pangan lokal dengan berbagai lembaga dan komunitas.
Baca juga: 4 Resep Unik Olahan Sagu, Cocok untuk Camilan Akhir Pekan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Baca juga: 4 Resep Unik Olahan Sagu, Cocok untuk Camilan Akhir Pekan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.