Salah satu adegan Waktu Batu Rumah yang Terbakar, (Sumber gambar Mohammad Amin, Garasi Perfomance Institute)

Waktu Batu Rumah yang Terbakar, Lakon Duka Akibat Krisis Ekologi dari Teater Garasi

21 August 2023   |   13:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Perempuan tua itu duduk termenung di sisi panggung berlantai miring. Rambutnya perak dengan kostum jaring nelayan penuh sampah plastik. Sorot lampu menghadirkan rautnya yang berduka. Sedih yang tak pernah selesai.

Lalu, beberapa aktor memasuki panggung. Mulutnya terbata-bata mengucapkan sederet kalimat seperti mesin. Sontak mereka pun berubah menjadi karakter Non Playable Character (NPC) laiknya permainan gim dengan musik yang khas.

Baca juga: Hadirkan Cerita Sejarah yang Menyenangkan, Teater Musikal Mekhala and Krakatoa Spirit Siap Digelar di Bandung

Perlahan, penonton diajak memasuki konflik dalam kelindan narasi teks. Mulai dari sejarah kolonialisme, gender, domestik, hingga berujung pada duka ekologi. Semuanya beririsan dalam mitologi Watugunung, Sudamala, dan Murwakala, atau proses transisi waktu.

Itulah sekiranya nukilan pertunjukan Waktu Batu. Rumah yang Terbakar oleh Teater Garasi di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta belum lama ini. Semuanya dikemas dalam visual estetis lewat performativitas yang padat, mengajak penonton untuk keluar-masuk di dunia virtual dan realitas.

Versi keempat dari pertunjukan yang dimulai pada 2001 ini memang fokus menghadirkan perasaan sedih akibat perubahan lingkungan yang akut dan kronis. Terutama mengenai krisis alam sebagai hasil yang tak terhindarkan dari modernitas dan kolonialisme di negara dunia ketiga.

Yudi Ahmad Tajudin sutradara pertunjukan mengatakan, Waktu Batu merupakan pembacaan ulang terhadap problem modernitas yang turut menyusun identitas masyarakat saat ini. Lewat pementasan, mereka juga ingin meluaskan dan mendekati secara kritis percakapan tentang tema ecological grief, atau duka ekologis.

Dari segi proses, Yudi mengungkap bahwa Teater Garasi merupakan kelompok teater eksperimentalis, shingga, mereka selalu bertolak untuk mencari cara yang lain dalam menyampaikan berbagai isu, terutama lewat berbagai media baru yang ada di masyarakat.
 

Salah satu adegan Waktu Batu Rumah yang Terbakar, (Sumber gambar Mohammad Amin, Garasi Perfomance Institute)

Salah satu adegan Waktu Batu Rumah yang Terbakar, (Sumber gambar Mohammad Amin, Garasi Perfomance Institute)

Adapun, salah satu faktor utama pementasan versi baru lakon tersebut karena ada beberapa anak muda yang menonton pertunjukan Waktu Batu saat mereka masih SD. Hal inilah melatarbelakangi mereka agar dapat bertaut dengan seniman-seniman generasi muda dalam membaca realitas.

Mulai digarap sejak 2022, uniknya, tema ekologi yang menjadi fokus utama pementasan disodorkan dari para seniman muda. Bahkan, perspektif sensibilitas pendekatan dramaturgi kesilang-mediaan antara teater, video game, dan sinematografi juga tercetus dari mereka.

Sebagai seniman yang lahir pada dekade 70-an, Yudi mengaku ada tantangan teknis dalam mementaskan naskah. Namun, dengan adanya anak-anak muda yang paham mengenai piranti teknologi tersebut justru menjadi satu petualangan yang menyenangkan bagi dirinya.

"Pertunjukan ini memberi kesempatan saya untuk bertemu dengan teman-teman yang lebih muda. Salah satunya dengan membicarakan tentang kenyataan-kenyataan hari ini, yang bukan cuma dari perspektif saya, tapi juga dari mereka," katanya.
 
Sudut Pandang Generasi Muda
Luna Kharisma, asisten sutradara pertunjukan mengungkap, ide awal mengenai isu ekologi memang muncul dari mereka. Meski awalnya ada jarak dua dekade dengan pertunjukan pertama, tapi akhirnya mereka bisa memasuki esensi lakon lewat dokumentasi pertunjukan.

Selain itu, percakapan lintas generasi dalam proses yang cair juga mendorongnya lebih mudah membaca tematik naskah Waktu Batu #1 hingga Waktu Batu #3 (2001-2006). Tak ayal hal inilah yang membuat mereka dapat melihat lebih dalam mengenai situasi seperti apa yang terjadi pada hari ini.

Dari segi judul, pendiri Mirat Kolektif itu mengatakan frasa rumah yang terbakar diambil dari salah satu pernyataan Greta Thunberg. Aktivis lingkungan asal Swedia itu menurutnya pernah mengatakan bahwa Bumi yang menjadi rumah umat manusia sedang terbakar.

"Dari sinilah kita semua harusnya punya orientasi yang jelas dalam mengambil sikap dalam duka ekologis ini. Sebab rumah kita sedang terbakar dan kita tak bisa diam saja," katanya.
 

Salah satu adegan Waktu Batu Rumah yang Terbakar, (Sumber gambar Mohammad Amin, Garasi Perfomance Institute)

Salah satu adegan Waktu Batu Rumah yang Terbakar, (Sumber gambar Mohammad Amin, Garasi Perfomance Institute)

Dalam proses penggarapan naskah, Luna mengatakan ada berbagai penyesuaian yang dilakukan. Misalnya, dia sempat memprotes sutradara atas penggarapan salah satu adegan pertengkaran di ruang privat yang tampak realistik meskipun tidak ada kekerasan verbal dan fisik di sana.

Negosiasi inilah yang kemudian mendorong mereka untuk mencari kemungkinan pilihan-pilihan pendekatan lain. Hasilnya adegan itu pun akhirnya diubah menjadi adegan replika syuting film untuk mengeksplorasi keintiman dan tegangan-tegangan kecil di dalamnya.

"Sebab, aksi-reaksi dari tokoh laki-laki dan perempuan yang sedang bersitegang di atas panggung secara realistik saat itu menurut saya mempunyai kemungkinan untuk melanggengkan imaji kekerasan dalam rumah tangga,"jelasnya.

Adapun, terkait penggunaan lantai panggung yang disetting miring merupakan bentuk respon mereka  saat lakon pertama kali dipentaskan pada 2022. Namun seiring proses, panggung tersebut justru memberikan metafora dan penajaman-penajaman dalam bentuk estetika.

Idiom visual panggung yang curam, menurut Luna juga bisa menghadirkan gambaran sesuatu yang berbahaya,  baik di mata penonton dan pemain. Lain dari itu tingkat kemiringan panggung juga menghadirkan sensasi kepanikan untuk bergerak segera dalam mengubah keadaan.

Lakon Waktu Batu Rumah yang Terbakar, sebelumnya sempat dipentaskan di festival Indonesia Bertutur, Borobudur Tengah. Pada Juli 2023, karya yang naskahnya ditulis oleh Gunawan Maryanto, Ugoran Prasad dan Andre Nurlatif ini juga ditampilkan di ARTJOG, Yogyakarta.

Baca juga: Hiatus 10 Tahun, Ario Bayu Kembali ke Panggung Teater lewat Pertunjukan Ariyah Dari Jembatan Ancol

Editor: Dika Irawan 

SEBELUMNYA

Euforia Festival Musik Meningkat, Musik Nostalgia dan Rock Paling Populer

BERIKUTNYA

Mengenal GTA 5 Roleplay, Bisa Bermain Karakter Layaknya Dunia Nyata

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: