Pementasan Lakon Julini Tak Pernah Mati, Simbol Kebenaran yang Terus Abadi
18 June 2023 |
16:02 WIB
1
Like
Like
Like
Kisah tentang orang-orang terpinggir dan akar rumput selalu menjadi inspirasi yang menarik dalam pertunjukan teater. Terbaru, narasi tersebut kembali disajikan dengan ciamik oleh Indonesia Kita lewat lakon Julini Tak Pernah Mati, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu, (17/6/23) malam.
Terinspirasi dari naskah legendaris Teater Koma berjudul Opera kecoa, lakon itu diinterpretasi ulang oleh Agus Noor menjadi imaji baru yang cukup bernas. Jika di naskah sebelumnya sosok Julini mati akibat tertembak peluru nyasar, tapi dalam lakon ini sosok waria itu kembali hidup saat kuburannya dibongkar.
Alkisah, pembangunan proyek kereta cepat harus segera dikebut sebelum pergantian masa jabatan presiden. Namun, dalam prosesnya di lapangan tanpa sengaja ditemukan mayat Julini yang ditemukan dalam keadaan masih ereksi dan terbungkus kain hitam.
Baca juga: Kenang Sang Maestro Nano Riantiarno, Naskah Opera Kecoa Dipentaskan Ulang Indonesia Kita
Visual tersebut seolah mengkritik syahwat politik yang belakangan ini mulai ramai diperbincangkan di Tanah Air. Lalu, dimulailah babak baru kebangkitan Julini. Hidupnya kembali simbol kaum minoritas itu tak ayal memunculkan polemik. Intrik pun tercipta dalam kelindan tipu muslihat dan keinginan semu kekuasaan.
Berdurasi empat jam, Julini Tak Pernah Mati sebenarnya lebih banyak menonjolkan sisi hiburan alih-alih menyuarakan motif kebangkitan Julini. Namun, sebagai sebuah pertunjukan, baik dari tata panggung, musik, dan improvisasi pemain, lakon ini patut diacungi jempol. Kursi penonton di Teater Besar pun penuh terisi oleh penonton.
Agus Noor mengemas pertunjukan ini juga dengan pendekatan lebih minimalis. Tidak banyak properti yang dihadirkan di atas panggung. Selama pertunjukan hanya ada set seperti pohon, warung kelontong, podium, dan anak tangga yang dijadikan sebagai tempat Julini untuk menceburkan diri ke dalam api keabadian.
Adapun, bintang utama dalam pertunjukan ini sebenarnya adalah Cak Lontong dan Akbar. Dua komedian itu berhasil mengocok perut penonton dengan kepiawaian mereka meracik lawakan yang cergas. Lewat permainan kata Minggu dan Senin misalnya, Cak Lontong sukses membuat Akbar pusing tujuh keliling, yang dimaknai bukan hanya sebagai nama hari semata, melainkan juga tempat.
Lebih dari sekadar pertunjukan, Julini Tak Pernah Mati sebenarnya juga membawa semangat tersendiri untuk menjaga spirit kesenian di Tanah Air. Seiring kepergian penggawa teater Nano Riantiarno, menurut Agus Noor tongkat estafet dan semangat berkesenian dari pendiri Teater Koma itu harus tetap dirawat oleh generasi muda.
Sebab, melalui tangan dinginnya, Nano telah membuktikan bahwa sejarah seni pertunjukan Indonesia sempat mengalami masa keemasan sekaligus tontonan yang kritis dan menghibur. Keberpihakan Nano terhadap kaum minoritas juga harus digaungkan melalui pendekatan budaya dan tradisi yang selama ini telah terbentuk di masyarakat.
"Sangat pas dan perlu bagi Indonesia Kita untuk menampilkan lakon ini, supaya para penonton teater bisa kembali diingatkan sejarah penting Teater Koma, sebagai salah satu kelompok teater yang banyak melahirkan seniman besar di dunia seni peran," papar Butet.
Sebagai tambahan informasi, Opera Kecoa merupakan salah satu naskah terbaik karya Nano Riantiarno yang sempat dilarang dipentaskan di Jakarta pada masa Orde Baru. Akibat pelarangan tersebut akibatnya Opera Kecoa juga batal pentas di empat kota besar di Jepang pada 1990.
Adapun, dalam pementasan Julini Tak pernah Mati juga didukung aktor dan aktris berbakat seperti Butet Kartaredjasa, Rangga Riantiarno, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, dan Jajang C. Noer. Ada juga Sri Krishna Encik, Sruti Respati Netta Kusumah Dewi, Mucle, Wisben, Joned, Joind Bayuwinanda, serta sederet aktor-aktor dari Teater Koma.
Baca juga: Teater Koma, Sejarah & Kenangan Nano Riantiarno
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Terinspirasi dari naskah legendaris Teater Koma berjudul Opera kecoa, lakon itu diinterpretasi ulang oleh Agus Noor menjadi imaji baru yang cukup bernas. Jika di naskah sebelumnya sosok Julini mati akibat tertembak peluru nyasar, tapi dalam lakon ini sosok waria itu kembali hidup saat kuburannya dibongkar.
Alkisah, pembangunan proyek kereta cepat harus segera dikebut sebelum pergantian masa jabatan presiden. Namun, dalam prosesnya di lapangan tanpa sengaja ditemukan mayat Julini yang ditemukan dalam keadaan masih ereksi dan terbungkus kain hitam.
Baca juga: Kenang Sang Maestro Nano Riantiarno, Naskah Opera Kecoa Dipentaskan Ulang Indonesia Kita
Visual tersebut seolah mengkritik syahwat politik yang belakangan ini mulai ramai diperbincangkan di Tanah Air. Lalu, dimulailah babak baru kebangkitan Julini. Hidupnya kembali simbol kaum minoritas itu tak ayal memunculkan polemik. Intrik pun tercipta dalam kelindan tipu muslihat dan keinginan semu kekuasaan.
Pertunjukan Julini Tak Pernah Mati di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung)
Berdurasi empat jam, Julini Tak Pernah Mati sebenarnya lebih banyak menonjolkan sisi hiburan alih-alih menyuarakan motif kebangkitan Julini. Namun, sebagai sebuah pertunjukan, baik dari tata panggung, musik, dan improvisasi pemain, lakon ini patut diacungi jempol. Kursi penonton di Teater Besar pun penuh terisi oleh penonton.
Agus Noor mengemas pertunjukan ini juga dengan pendekatan lebih minimalis. Tidak banyak properti yang dihadirkan di atas panggung. Selama pertunjukan hanya ada set seperti pohon, warung kelontong, podium, dan anak tangga yang dijadikan sebagai tempat Julini untuk menceburkan diri ke dalam api keabadian.
Adapun, bintang utama dalam pertunjukan ini sebenarnya adalah Cak Lontong dan Akbar. Dua komedian itu berhasil mengocok perut penonton dengan kepiawaian mereka meracik lawakan yang cergas. Lewat permainan kata Minggu dan Senin misalnya, Cak Lontong sukses membuat Akbar pusing tujuh keliling, yang dimaknai bukan hanya sebagai nama hari semata, melainkan juga tempat.
Menjaga Spirit Berkesenian Nano Riantiarno
Lebih dari sekadar pertunjukan, Julini Tak Pernah Mati sebenarnya juga membawa semangat tersendiri untuk menjaga spirit kesenian di Tanah Air. Seiring kepergian penggawa teater Nano Riantiarno, menurut Agus Noor tongkat estafet dan semangat berkesenian dari pendiri Teater Koma itu harus tetap dirawat oleh generasi muda.Sebab, melalui tangan dinginnya, Nano telah membuktikan bahwa sejarah seni pertunjukan Indonesia sempat mengalami masa keemasan sekaligus tontonan yang kritis dan menghibur. Keberpihakan Nano terhadap kaum minoritas juga harus digaungkan melalui pendekatan budaya dan tradisi yang selama ini telah terbentuk di masyarakat.
Setali tiga uang, Butet Kartaredjasa melihat bahwa pementasan tersebut sebagai bentuk penghormatan pada sosok Nano Riantiarno. Pasalnya, ide yang paling mendasar dari lakon tersebut hingga saat ini juga masih relevan dengan kondisi Indonesia meski naskahnya dibuat pada dekade 90an."Saya membayangkan ide dan spirit berkesenian Mas Nano. Kenapa Julini dihidupkan kembali itu sebenarnya elan beliau untuk terus mengabarkan kenyataan. Maka di ending adegan 'sosok' Julini seakan-akan hadir dengan sorot lampu meski dia kembali mati," papar Agus Noor saat ditemui Hypeabis.id.
"Sangat pas dan perlu bagi Indonesia Kita untuk menampilkan lakon ini, supaya para penonton teater bisa kembali diingatkan sejarah penting Teater Koma, sebagai salah satu kelompok teater yang banyak melahirkan seniman besar di dunia seni peran," papar Butet.
Sebagai tambahan informasi, Opera Kecoa merupakan salah satu naskah terbaik karya Nano Riantiarno yang sempat dilarang dipentaskan di Jakarta pada masa Orde Baru. Akibat pelarangan tersebut akibatnya Opera Kecoa juga batal pentas di empat kota besar di Jepang pada 1990.
Adapun, dalam pementasan Julini Tak pernah Mati juga didukung aktor dan aktris berbakat seperti Butet Kartaredjasa, Rangga Riantiarno, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, dan Jajang C. Noer. Ada juga Sri Krishna Encik, Sruti Respati Netta Kusumah Dewi, Mucle, Wisben, Joned, Joind Bayuwinanda, serta sederet aktor-aktor dari Teater Koma.
Baca juga: Teater Koma, Sejarah & Kenangan Nano Riantiarno
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.