Menikmati Pesona Musik Tradisi di International Ethnic Music Festival 2023
30 October 2023 |
22:00 WIB
Musik tradisi bukanlah sekadar rangkaian bunyi-bunyian, tapi penanda kehidupan dan perkembangan suatu komunitas masyarakat. Tidak hanya sebagai pelengkap artistik, musik tradisi juga berkelindan dengan unsur-unsur peribadatan, ritual keseharian, hingga hiburan masyarakat.
Namun, musik tradisi sepertinya semakin terpinggirkan karena kini hanya ditampilkan di lokasi-lokasi khusus dengan penonton yang terbatas dan ruang komunitas sosial tertentu. Premis inilah yang menjadi latar belakang gelaran International Ethnic Music Festival 2023 yang dihelat oleh Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta festival ini memberi warna baru bagi publik dalam memaknai musik tradisi. Total terdapat empat kelompok musik tradisi yang ikut meramaikan acara yang berlangsung belum lama itu. Mereka adalah Horja Bius, INO Ensemble, Morale Chinese Orchestra, dan Talawengkar.
Baca juga: Hypereport: Orkes Terus Berdendang, Musik dari Kampus yang Membius Banyak Orang
Dimeriahkan kelompok musik tradisi yang sudah malang melintang di dalam dan luar negeri, penonton memang dibius dengan berbagai langgam yang menenangkan telinga. Sesekali anggota tubuh mereka bergoyang mengikuti alunan alat musik sarune bolon, gondang, hingga taganing yang saling mengisi tempo dan menghasilkan musik yang rancak.
Hal itu misalnya saat Horja Bius mendendangkan langgam-langgam berbahasa Batak, yang diambil dari puisi para penyair asal Sumatra. Salah satunya lewat lagu Tonggo Si Raja Batak Part 2, yang berkisah mengenai kearifan lokal dan interaksi manusia dalam agama asli masyarakat Batak di Sumatra.
Sepanjang penampilan, Horja Bius membawakan lagu-lagu khas Batak dengan energik. terutama saat Anna, salah satu personilnya menabuh Taganing dengan berapi-api sehingga membuat penonton bersemangat. Harmoni musik juga semakin ritmis saat Theo memainkan suling sambil berlenggak-lenggok, sehingga menambah kehebohan penampilan Horja Bius.
Grup musik yang berbasis di Jakarta itu total menyanyikan enam lagu, seperti Tadingan Ni Da Ompung, Nantoari Au Mulak, Rap Hita Sadalan, Dendeng Kurdeng, dan Among. Salah satu tembang yang menarik adalah Dendeng Kurdeng yang terinspirasi dari cerita rakyat tentang seekor burung yang menyampaikan surat pada seorang kekasih.
Selain itu, band yang telah mengeluarkan dua album bertajuk Tonggo-Tonggo dan Situriak Nauli itu pun turut menceritakan inspirasi karya mereka di sela pergantian lagu. Secara umum nomor-nomor yang didendangkan berkisah tentang alam yang mulai rusak, cerita para perantau yang pulang ke kampung halaman, hingga keindahan Danau Toba.
Adapun, penampil kedua, Indonesian National Orchestra atau INO Ensemble justru mencampurkan berbagai khasanah musik di Nusantara dalam komposisi yang istimewa. Pasalnya grup musik instrumental itu mampu menyandingkan laras gending sebagai roh keindahan alami Timur, bersanding dengan kepiawaian para musisinya yang patut diacungi jempol.
Keselarasan frekuensi itu terlihat saat sang vokalis, Satya Cipta menyanyikan nada-nada yang mampu membuat suasana hati menjadi dingin sekaligus mencekam. Terlebih saat para pemain rebana kecimpring, marawis, dan biang membacakan mantra-mantra yang diambil dari berbagai daerah di Nusantara.
Sama seperti grup sebelumnya, INO Ensemble juga membawakan enam nomor lagu yang sesekali membuat penonton menahan napas karena takjub. Beberapa di antaranya termasuk tembang Blues for You dan Gayatri, di mana permainan musiknya sesekali mengalun dengan pelan hingga meresap ke kuping, lalu berubah ritmis lewat tepukan kendang atau tabuhan kentongan.
Baca juga: Cara Baru Merawat Eksistensi Musik Lawas di Kalangan Generasi Muda
Menurutnya musik tradisi masih dapat digali potensinya dengan pertukaran distribusi pengetahuan, termasuk lewat program masterclass dan diskusi karya bersama penampil. Arham berharap lewat program tersebut publik dapat mengenal musik tradisi secara lebih mendalam seturut perkembangan zaman.
"Lewat acara ini kami berharap publik juga bisa menyaksikan musik tradisional dalam format yang lebih proper, sehingga kualitas musik tradisi dapat dinikmati dengan baik, sehingga memuaskan seluruh penonton yang hadir," ujarnya.
Senada, pemusik sekaligus pemimpin INO Ensemble, Franki Raden mengatakan, untuk mencari potensi baru terhadap musik tradisi memang harus diselaraskan dengan zeitgeist atau semangat zaman. Salah satunya dengan melakukan kolaborasi atau memadupadankan konteks musik dengan melihat realitas yang terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila saat ini para musisi tradisi banyak yang bekerja sama dengan musisi pop agar warisan leluhur itu tetap lestari dan tidak tergerus zaman. Kendati begitu, akar dari musik ini harus dipelajari dengan kuat terlebih dulu lewat berbagai kajian di bidang etnomusikologi.
"Lewat penggabungan kedua pola itulah saya kira bisa menemukan kemungkinan lain di musik tradisi. Dengan artian bakal melahirkan musik baru dalam konteks abad sekarang, alih-alih hanya di konteks tradisi," katanya.
Sementara, Mogan Pasaribu salah satu penggawa dari Horja Bius mengungkap untuk mengemas musik tradisi agar lebih kekinian juga dibutuhkan strategi yang tepat. Salah satunya adalah dengan tidak antipati terhadap inovasi dan hanya berkutat pada pakem musik tradisi yang sudah ada di masyarakat.
Oleh karena itu, grup tersebut juga memasukkan unsur alat musik modern seperti gitar hingga bas sebagai piranti baru dalam bermusik. Perkawinan antara instrumen lampau dan terbarukan inilah menurutnya yang bakal memberi warna unik dalam pertunjukan.
"Kami mengerjakan konsep ini hampir dua tahun hingga akhirnya menemukan pola yang tepat untuk diolah secara musikal hingga seperti yang kita tampilkan malam ini," katanya.
Baca juga: Album Musik Sonic/Panic, Suara Kegelisahan 13 Musisi Tentang Isu Iklim
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Namun, musik tradisi sepertinya semakin terpinggirkan karena kini hanya ditampilkan di lokasi-lokasi khusus dengan penonton yang terbatas dan ruang komunitas sosial tertentu. Premis inilah yang menjadi latar belakang gelaran International Ethnic Music Festival 2023 yang dihelat oleh Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta festival ini memberi warna baru bagi publik dalam memaknai musik tradisi. Total terdapat empat kelompok musik tradisi yang ikut meramaikan acara yang berlangsung belum lama itu. Mereka adalah Horja Bius, INO Ensemble, Morale Chinese Orchestra, dan Talawengkar.
Baca juga: Hypereport: Orkes Terus Berdendang, Musik dari Kampus yang Membius Banyak Orang
Dimeriahkan kelompok musik tradisi yang sudah malang melintang di dalam dan luar negeri, penonton memang dibius dengan berbagai langgam yang menenangkan telinga. Sesekali anggota tubuh mereka bergoyang mengikuti alunan alat musik sarune bolon, gondang, hingga taganing yang saling mengisi tempo dan menghasilkan musik yang rancak.
Hal itu misalnya saat Horja Bius mendendangkan langgam-langgam berbahasa Batak, yang diambil dari puisi para penyair asal Sumatra. Salah satunya lewat lagu Tonggo Si Raja Batak Part 2, yang berkisah mengenai kearifan lokal dan interaksi manusia dalam agama asli masyarakat Batak di Sumatra.
Sepanjang penampilan, Horja Bius membawakan lagu-lagu khas Batak dengan energik. terutama saat Anna, salah satu personilnya menabuh Taganing dengan berapi-api sehingga membuat penonton bersemangat. Harmoni musik juga semakin ritmis saat Theo memainkan suling sambil berlenggak-lenggok, sehingga menambah kehebohan penampilan Horja Bius.
Horja Bius Grup saat tampil di International Ethnic Music Festival 2023 (sumber foto Andi Maulana/DKJ)
Selain itu, band yang telah mengeluarkan dua album bertajuk Tonggo-Tonggo dan Situriak Nauli itu pun turut menceritakan inspirasi karya mereka di sela pergantian lagu. Secara umum nomor-nomor yang didendangkan berkisah tentang alam yang mulai rusak, cerita para perantau yang pulang ke kampung halaman, hingga keindahan Danau Toba.
Adapun, penampil kedua, Indonesian National Orchestra atau INO Ensemble justru mencampurkan berbagai khasanah musik di Nusantara dalam komposisi yang istimewa. Pasalnya grup musik instrumental itu mampu menyandingkan laras gending sebagai roh keindahan alami Timur, bersanding dengan kepiawaian para musisinya yang patut diacungi jempol.
Keselarasan frekuensi itu terlihat saat sang vokalis, Satya Cipta menyanyikan nada-nada yang mampu membuat suasana hati menjadi dingin sekaligus mencekam. Terlebih saat para pemain rebana kecimpring, marawis, dan biang membacakan mantra-mantra yang diambil dari berbagai daerah di Nusantara.
Sama seperti grup sebelumnya, INO Ensemble juga membawakan enam nomor lagu yang sesekali membuat penonton menahan napas karena takjub. Beberapa di antaranya termasuk tembang Blues for You dan Gayatri, di mana permainan musiknya sesekali mengalun dengan pelan hingga meresap ke kuping, lalu berubah ritmis lewat tepukan kendang atau tabuhan kentongan.
Baca juga: Cara Baru Merawat Eksistensi Musik Lawas di Kalangan Generasi Muda
Kolaborasi Musisi
Ketua Komite Musik, Arham Aryadi mengatakan, festival ini tidak hanya berfokus pada pelestarian musik tradisi semata. Namun, juga untuk menciptakan kemungkinan baru dalam perkembangan musik tradisi yang saat ini banyak dieksplorasi oleh para musisi di Tanah Air.Menurutnya musik tradisi masih dapat digali potensinya dengan pertukaran distribusi pengetahuan, termasuk lewat program masterclass dan diskusi karya bersama penampil. Arham berharap lewat program tersebut publik dapat mengenal musik tradisi secara lebih mendalam seturut perkembangan zaman.
"Lewat acara ini kami berharap publik juga bisa menyaksikan musik tradisional dalam format yang lebih proper, sehingga kualitas musik tradisi dapat dinikmati dengan baik, sehingga memuaskan seluruh penonton yang hadir," ujarnya.
Penyanyi Satya Cipta saat beraksi di Panggung International Ethnic Music Festival 2023. (sumber gambar Andi Maulana/DKJ)
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila saat ini para musisi tradisi banyak yang bekerja sama dengan musisi pop agar warisan leluhur itu tetap lestari dan tidak tergerus zaman. Kendati begitu, akar dari musik ini harus dipelajari dengan kuat terlebih dulu lewat berbagai kajian di bidang etnomusikologi.
"Lewat penggabungan kedua pola itulah saya kira bisa menemukan kemungkinan lain di musik tradisi. Dengan artian bakal melahirkan musik baru dalam konteks abad sekarang, alih-alih hanya di konteks tradisi," katanya.
Sementara, Mogan Pasaribu salah satu penggawa dari Horja Bius mengungkap untuk mengemas musik tradisi agar lebih kekinian juga dibutuhkan strategi yang tepat. Salah satunya adalah dengan tidak antipati terhadap inovasi dan hanya berkutat pada pakem musik tradisi yang sudah ada di masyarakat.
Oleh karena itu, grup tersebut juga memasukkan unsur alat musik modern seperti gitar hingga bas sebagai piranti baru dalam bermusik. Perkawinan antara instrumen lampau dan terbarukan inilah menurutnya yang bakal memberi warna unik dalam pertunjukan.
"Kami mengerjakan konsep ini hampir dua tahun hingga akhirnya menemukan pola yang tepat untuk diolah secara musikal hingga seperti yang kita tampilkan malam ini," katanya.
Baca juga: Album Musik Sonic/Panic, Suara Kegelisahan 13 Musisi Tentang Isu Iklim
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.