Ruang Kritik Modernitas Eko Nugroho dalam Pameran Cut The Mountain And Let It Fly
15 August 2023 |
22:14 WIB
Selusin patung berwarna mencolok langsung menyergap mata pengunjung saat memasuki Galeri Apple di ROH Projects, Jakarta. Seri patung bertajuk Half Hero Half Stone berukuran 136 X 70 X 62 cm itu, sesuai judulnya memang berbentuk aneh, alih-alih menggambarkan sosok manusia.
Pada patung di baris kedua dari depan misalnya, karya seni berbahan fiberglass, spray paint, cement, sand, gravel iron, dan plywood itu memiliki kepala berupa tabung gas. Lalu, pada seri yang lain, ada yang berkepala batu, tiga tengkorak yang bertumpuk, manusia berkepala televisi, hingga sosok alien dalam bentuk robot King Joe.
Baca juga: Mengenal Peristiwa Desember Hitam di Balik Pameran Piknik 70-an Galeri Nasional
Seri patung bertitimangsa 2022-2023 itu merupakan sebagian karya perupa Eko Nugroho yang dipacak di ROH Projects Jakarta. Mengambil tajuk Cut The Mountain and Let it Fly, pameran tunggal seniman asal Yogyakarta ini menampilkan sebanyak 36 karya seni dalam berbagai medium, termasuk mural, bordir, hingga lukisan di atas kertas.
Menurut sang seniman, judul Cut The Mountain and Let it Fly, mengacu kepada karya mural terbesar yang dibuatnya pada 2009 untuk Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday. Adapun, dalam karya yang menggambarkan sebuah gunung besar terpotong dua itu, dia mencoba menginterpretasikan harapan dalam benak manusia.
Sementara itu, 12 seri patung Half Hero Half Stone mencoba menyoroti harapan-harapan manusia, termasuk kebaikan, keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan sebagainya. Sebab, harapan menurutnya adalah representasi pahlawan atau ratu adil dalam pikiran-pikiran manusia.
Dia mengungkap, asa memang wajib berada di benak dan hati agar manusia selalu kokoh seperti gunung. Dengan kata lain, mereka juga harus berjuang dan memiliki nilai optimistis dalam mewujudkan mimpi yang dicita-citakan meski belum diketahui apakah akan terwujud atau tidak.
"Jadi [karya ini juga] tentang dinamika yang kita hadapi dalam kehidupan modern. Apa yang ada di sekitar kita, di mana kita tinggal dan sistem apa yang kita terima," katanya.
Eksplorasi Media
Selain patung, di ruang pertama galeri yang berlokasi di Jalan Surabaya, Jakarta itu juga ada karya berjudul The View (fiberglass painted with acrylic, 2023) yang ditanam di tembok. The View yang berarti pemandangan, seolah dimaknai sebagai cara manusia memahami pemandangan yang selama ini mereka lihat.
Pada tembok The Views memang tidak ada pemandangan yang selama ini masyarakat pahami. Termasuk lukisan-lukisan Mooi Indie, atau lukisan klasik yang menunjukkan pemandangan dengan gunung, laut, desa, kota, yang seringkali tergambar dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Baca juga: Menyusuri Dinamika Seni Rupa Indonesia Periode 1970-an dalam Pameran Piknik 70-an di Galnas
Pasalnya, dalam kehidupan modern ini menurut Eko Nugroho hal-hal itu sudah banyak tergusur, hilang. Objek-objek tersebut sudah tergantikan oleh pandangan-pandangan dari mereka yang memandang liyan. "Kita saling memandang dan yang memandang kita atau kita pandang adalah status sosial, derajat, popularitas, dan mimpi-mimpi," katanya.
Eksplorasi perupa jebolan Institut Seni Indonesia itu nyatanya tak hanya berhenti di situ. Di Galeri Apple juga nampak patung gigantik berukuran 430 x 270 x 270 cm berjudul We Are Human (2023). Karya dengan medium fiberglass dan spray paint itu merupakan cerminan manusia saat ini yang semakin teralienasi oleh wabah, teknologi, dan ego.
Ada pula karya patung seukuran manusia dewasa bertajuk Ala Carte Modern Slavery (2023). Bentuk karakter individu dalam karya ini nampak menyoroti figur pekerja kantoran di kota-kota besar Indonesia, dengan tampilan celana hitam, baju putih lengan panjang dan kalung cocard bertuliskan 'Modern Slavery'.
Uniknya, sosok tersebut juga diselimuti topeng yang terbuat dari wayang kulit sehingga masih mencerminkan identitas kultural yang masih dibawa bercampur dengan budaya individu-individu lain. Akan tetapi, figur tersebut jadi tampak teralienasi oleh diri mereka sendiri dan pekerjaan yang digeluti.
Menurut Eko Nugroho, saat ini manusia memang hidup seperti mesin, bahkan saat mereka hidup bersama satu sama lain. Meski dari jaman ke jaman dunia selalu penuh kebaruan, tapi seniman berusia 46 tahun itu mengatakan bahwa manusia selalu hidup dalam pikiran-pikiran di masa purba.
"Sebenarnya karya ini merupakan cerminan pemikiran dan pandangan saya tentang modern life. Kita semua terpenjara dalam higienis, healthy, sekaligus juga merasa teralienasi," katanya.
Kurator Mikke Susanto mengatakan, bahasa visual yang ditawarkan Eko lebih banyak mengarah pada bahasa tentang absurditas sehari-hari yang dihadapi masyarakat popular urban. Ciri khas tersebut misalnya, mewujud dalam bentuk manusia berkepala televisi atau sejenisnya.
Oleh karena itu saat melihat karya-karya dari Eko Nugroho, rasa yang paling dominan adalah ketidaksadaran yang tervisualkan. Namun, di tengah isu sosial tersebut, gaya hidup, maupun munculnya teks tentang dunia populer masa kini juga semakin menunjukkan gejala perubahan diri manusia ketika mereka sedang menghadapi masalah.
Menurut Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, ketika masalah datang menerpa, bukan penyelesaian yang muncul, melainkan curahan hati atau sumpah serapah. Bahkan seringkali mewujud dalam bentuk-bentuk ungkapan atas terjadinya benturan budaya yang menyergap masyarakat.
Baca juga: Membaca Denyut Seni Rupa Indonesia di Balik Pameran Piknik 70-an di Galeri Nasional
"Tubuh manusia akhirnya tak sepenuhnya menjadi milik individu. Sedangkan, seni yang digulirkan Eko adalah sejenis catatan abnormalitas [yang terus] berbaur kuat di masyarakat kita," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Pada patung di baris kedua dari depan misalnya, karya seni berbahan fiberglass, spray paint, cement, sand, gravel iron, dan plywood itu memiliki kepala berupa tabung gas. Lalu, pada seri yang lain, ada yang berkepala batu, tiga tengkorak yang bertumpuk, manusia berkepala televisi, hingga sosok alien dalam bentuk robot King Joe.
Baca juga: Mengenal Peristiwa Desember Hitam di Balik Pameran Piknik 70-an Galeri Nasional
Seri patung bertitimangsa 2022-2023 itu merupakan sebagian karya perupa Eko Nugroho yang dipacak di ROH Projects Jakarta. Mengambil tajuk Cut The Mountain and Let it Fly, pameran tunggal seniman asal Yogyakarta ini menampilkan sebanyak 36 karya seni dalam berbagai medium, termasuk mural, bordir, hingga lukisan di atas kertas.
Seri patung karya Eko nugroho berjudul Half Hero Half Stone 2022-2023 (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
Menurut sang seniman, judul Cut The Mountain and Let it Fly, mengacu kepada karya mural terbesar yang dibuatnya pada 2009 untuk Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday. Adapun, dalam karya yang menggambarkan sebuah gunung besar terpotong dua itu, dia mencoba menginterpretasikan harapan dalam benak manusia.
Sementara itu, 12 seri patung Half Hero Half Stone mencoba menyoroti harapan-harapan manusia, termasuk kebaikan, keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan sebagainya. Sebab, harapan menurutnya adalah representasi pahlawan atau ratu adil dalam pikiran-pikiran manusia.
Dia mengungkap, asa memang wajib berada di benak dan hati agar manusia selalu kokoh seperti gunung. Dengan kata lain, mereka juga harus berjuang dan memiliki nilai optimistis dalam mewujudkan mimpi yang dicita-citakan meski belum diketahui apakah akan terwujud atau tidak.
"Jadi [karya ini juga] tentang dinamika yang kita hadapi dalam kehidupan modern. Apa yang ada di sekitar kita, di mana kita tinggal dan sistem apa yang kita terima," katanya.
Eksplorasi Media
Selain patung, di ruang pertama galeri yang berlokasi di Jalan Surabaya, Jakarta itu juga ada karya berjudul The View (fiberglass painted with acrylic, 2023) yang ditanam di tembok. The View yang berarti pemandangan, seolah dimaknai sebagai cara manusia memahami pemandangan yang selama ini mereka lihat.
Pada tembok The Views memang tidak ada pemandangan yang selama ini masyarakat pahami. Termasuk lukisan-lukisan Mooi Indie, atau lukisan klasik yang menunjukkan pemandangan dengan gunung, laut, desa, kota, yang seringkali tergambar dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Baca juga: Menyusuri Dinamika Seni Rupa Indonesia Periode 1970-an dalam Pameran Piknik 70-an di Galnas
Pasalnya, dalam kehidupan modern ini menurut Eko Nugroho hal-hal itu sudah banyak tergusur, hilang. Objek-objek tersebut sudah tergantikan oleh pandangan-pandangan dari mereka yang memandang liyan. "Kita saling memandang dan yang memandang kita atau kita pandang adalah status sosial, derajat, popularitas, dan mimpi-mimpi," katanya.
Eksplorasi perupa jebolan Institut Seni Indonesia itu nyatanya tak hanya berhenti di situ. Di Galeri Apple juga nampak patung gigantik berukuran 430 x 270 x 270 cm berjudul We Are Human (2023). Karya dengan medium fiberglass dan spray paint itu merupakan cerminan manusia saat ini yang semakin teralienasi oleh wabah, teknologi, dan ego.
Patung karya Eko Nugroho berjudul Ala Carte Modern Slavery 2023 (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
Uniknya, sosok tersebut juga diselimuti topeng yang terbuat dari wayang kulit sehingga masih mencerminkan identitas kultural yang masih dibawa bercampur dengan budaya individu-individu lain. Akan tetapi, figur tersebut jadi tampak teralienasi oleh diri mereka sendiri dan pekerjaan yang digeluti.
Menurut Eko Nugroho, saat ini manusia memang hidup seperti mesin, bahkan saat mereka hidup bersama satu sama lain. Meski dari jaman ke jaman dunia selalu penuh kebaruan, tapi seniman berusia 46 tahun itu mengatakan bahwa manusia selalu hidup dalam pikiran-pikiran di masa purba.
"Sebenarnya karya ini merupakan cerminan pemikiran dan pandangan saya tentang modern life. Kita semua terpenjara dalam higienis, healthy, sekaligus juga merasa teralienasi," katanya.
Kurator Mikke Susanto mengatakan, bahasa visual yang ditawarkan Eko lebih banyak mengarah pada bahasa tentang absurditas sehari-hari yang dihadapi masyarakat popular urban. Ciri khas tersebut misalnya, mewujud dalam bentuk manusia berkepala televisi atau sejenisnya.
Oleh karena itu saat melihat karya-karya dari Eko Nugroho, rasa yang paling dominan adalah ketidaksadaran yang tervisualkan. Namun, di tengah isu sosial tersebut, gaya hidup, maupun munculnya teks tentang dunia populer masa kini juga semakin menunjukkan gejala perubahan diri manusia ketika mereka sedang menghadapi masalah.
Menurut Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, ketika masalah datang menerpa, bukan penyelesaian yang muncul, melainkan curahan hati atau sumpah serapah. Bahkan seringkali mewujud dalam bentuk-bentuk ungkapan atas terjadinya benturan budaya yang menyergap masyarakat.
Baca juga: Membaca Denyut Seni Rupa Indonesia di Balik Pameran Piknik 70-an di Galeri Nasional
"Tubuh manusia akhirnya tak sepenuhnya menjadi milik individu. Sedangkan, seni yang digulirkan Eko adalah sejenis catatan abnormalitas [yang terus] berbaur kuat di masyarakat kita," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.