Ilustrasi salah satu lukisan karya perupa dekade 70-an, Djoni Trisno berjudul Hanoman Duta, 1977 (sumber gambar hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Membaca Denyut Seni Rupa Indonesia di Balik Pameran Piknik 70-an di Galeri Nasional

15 August 2023   |   17:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Lukisan dengan palet keemasan itu meneror mata pengunjung. Karya bertitimangsa 1974 berjudul Matahari di Atas Taman (oil on canvas, 114 X 135 cm) itu mewujud dalam corak dekoratif dan liris lewat penggambaran berbagai ornamen hias yang detail serta simetris di atas kanvas.

Sementara, di sebelahnya terpacak lukisan lain berjudul Gadis dan Bulan III (oil on canvas, 122 X 150 cm, 1978). Kedua karya tersebut merupakan buah tangan perupa Irsam yang menjadi salah satu deretan karya dari pameran Piknik 70-an di Galeri Nasional Jakarta.

Baca juga: Profil Alfredo & Isabel Aquilizan, Pasangan Perupa Filipina yang Berpameran di Museum MACAN Jakarta

Bukan tanpa alasan karya itu dipacak di bagian awal pameran. Sebab, lukisan pertama merupakan salah satu karya terbaik. Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) tersebut diadakan oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki pada 1974.
 

Lukisan Irsam berjudul Matahari di Atas Taman (oil on canvas, 114 X 135 cm, 1974) (Sumber gambar hypeabis.id/Prasetyo Agung

Lukisan Irsam berjudul Matahari di Atas Taman (oil on canvas, 114 X 135 cm, 1974) (Sumber gambar hypeabis.id/Prasetyo Agung


Namun, pameran itu juga memicu gerakan Pernyataan Desember Hitam dari para perupa muda yang ingin berkarya dengan cara yang lebih eksperimental. Protes itu dipicu adanya pemihakan pengutamaan gaya abstrak dekoratif dari dewan juri, termasuk Affandi hingga Umar Kayam sebagai syarat 'lukisan yang baik'.

Kurator Bayu Genia mengatakan, gerakan Desember Hitam merupakan salah satu momentum puncak yang kelak membentuk lanskap seni rupa masa kini. Kendati begitu, riak-riak kesenian di masa tersebut tak hanya muncul dengan corak dekoratif semata, melainkan ada juga jalur lain, bahkan yang tidak turut dipacak dalam eksibisi.

Beberapa di antaranya termasuk arus estetika bentuk-bentuk signifikan, imaji kenusantaraan, eksplorasi materialitas, dan pencarian bentuk-bentuk baru dari perupa muda di masa tersebut. Kecenderungan itu, menurutnya dipengaruhi momen peralihan orde lama ke orde baru.

Setelah bubarnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), pudar pula proyek penemuan 'Indonesia Baru' lewat revolusi kebudayaan rakyat. Di bawah presiden Soeharto yang sedang giat-giatnya menjalankan konsolidasi politik, proyek tersebut diarahkan ke lapangan ekonomi berbasis developmentalisme.

"Kecenderungan karya tersebut memang lebih apolitis bila dibandingkan dekade 60-an yang terpusat pada estetika kerakyatan versus humanisme universal. Namun, pada gerakan seni rupa baru (GSRB) mereka kembali memunculkan isu-isu sosial, salah satunya lewat lukisan Presiden RI Tahun 2001, karya Hardi," katanya.

Adapun, berbagai kecenderungan tersebut juga terejawantah dalam 63 karya lain dari  54 perupa yang dihadirkan dalam pameran hingga 31 Agustus 2023 itu. Dalam nuansa estetika bentuk-bentuk signifikan misalnya, terdapat karya I Nyoman Gunarsa bertajuk Opening Ceremony IV bertarikh 1973.
 

Lukisan karya I Nyoman Gunarsa bertajuk Opening Ceremony IV bertarikh 1973, (Sumber gambar hypeabis.id/Prasetyo Agung

Lukisan karya I Nyoman Gunarsa bertajuk Opening Ceremony IV bertarikh 1973, (Sumber gambar hypeabis.id/Prasetyo Agung


Lewat karya dengan medium cat minyak di atas kanvas berukuran 90 X 90 cm ini perupa asal Bali itu memang menghadirkan bentuk dengan garis dan bidang yang lebih geometris. Sedangkan, pada alur imaji kenusantaraan dapat terlihat dari karya Djoni Trisno berjudul Hanoman Duta, 1977.

Karya berukuran 137 X 250 cm itu dibuat sang seniman menggunakan mix media yang terinspirasi dari epos Ramayana. Adapun, lukisan tersebut menggambarkan pertarungan sengit antara Hanoman dan Rahwana yang ingin menyelamatkan Dewi Sinta dengan adegan yang atraktif.

Proses Kurasi yang Tidak Mudah

Menghadirkan pameran besar yang merepresentasikan rekam jejak suatu zaman bukanlah usaha yang mudah. Kurator Alam Wisesha mengatakan, puluhan karya dengan berbagai tema tersebut tidak seketika dapat hadir tertata rapi di ruang eksibisi.

Bersama kurator lain, dia mengaku harus menyeleksi sekitar 300 karya pelukis era 70-an dalam waktu yang mepet, yakni satu bulan. Padahal, ratusan karya tersebut tidak semuanya mewakili lima jenis kecenderungan estetika yang ingin mereka sajikan pada publik.

Dia mengungkap, Galeri Nasional memiliki lebih dari 1.800 karya seni, baik berupa patung, lukisan, instalasi, dan sebagainya. Sementara, karya pada periode 1970 hingga 1979-an juga memiliki tema yang beragam, sehingga harus diseleksi terlebih dulu.

Selain itu, pertimbangan yang dijadikan sebagai acuan kuratorial adalah segi estetika. Lelaki jebolan Nanjing University of the Arts itu mengungkap, mereka harus mengkurasi karya, baik dari segi tema, bentuk, kualitas, hingga keterkaitan dengan wacana seni rupa dewasa ini.

"Jadi, upaya untuk mencari keterwakilan [dari pameran Piknik 70-an] itu penting, karena kita tidak ingin mengganti kondisi peran para perupa yang turut membentuk peristiwa-peristiwa tersebut," katanya.
 

Lukisan Widayat berjudul  Melahirkan,satu dari ribuan koleksi karya seni Galeri Nasional. (sumber gambar hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Lukisan Widayat berjudul Melahirkan,satu dari ribuan koleksi karya seni Galeri Nasional. (sumber gambar hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Adapun untuk menguatkan analisis kuratorial, mereka juga melakukan wawancara pada beberapa seniman dari dekade 70-an yang masih hidup. Termasuk A.D Pirous, Jim Supangkat, Suwarno Wisetrotomo dan sebagainya, yang di dalam pameran hadir dalam bentuk rekaman berbasis audio visual.

Upaya tersebut juga dikuatkan dengan berbagai esai dari pakar seni rupa yang nukilan tulisannya hadir di ruang pamer sebagai peta acuan pengunjung. Termasuk kritik dari Sanento Yuliman, Sudarmadji, Popo Iskandar, Rusli, But Muchtar, dan Agus Dermawan T yang turut membentuk wacana seni rupa Tanah Air.

Baca juga: Penjagaan Semangat & Harapan Eko Nugroho dalam Pameran Cut The Mountain And Let It Fly

"Saya juga menanyakan pada perupa Suwarno Wisetrotomo terkait gejolak penandatanganan Desember Hitam, yang menurutnya sudah tepat dilakukan [oleh seniman muda] sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi perupa senior di akademi seni rupa ITB dan ASRI kala itu," katanya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Rilis 25 Agustus, Cek Bocoran Spesifikasi MatePad 11.5 yang Diklaim Murah

BERIKUTNYA

6 Cara Mengurangi Dampak Negatif Polusi Udara, Salah Satunya Balik Pakai Masker

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: