Karya JA Pramuhendra berjudul The Three Voices dalam pameren The Poetic Effect di Nadi Gallery. (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhani)

Ketaksaan Makna & Interpretasi dalam Pameran The Poetic Effect di Nadi Gallery

28 May 2024   |   21:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Penikmat seni rupa di Tanah Air siap bergembira. Sebab, empat perupa kenamaan Indonesia mengadakan pameran bersama bertajuk The Poetic Effect di Nadi Gallery, Jakarta, pada dari 21 Mei-17 Juni 2024. Mereka memacak belasan karya seni yang unik dan khas.

Keempat perupa itu, yakni Agus Suwage, Eko Nugroho, Handiwirman Saputra, dan J. Ariadhitya Pramuhendra. Citraan visual yang ditampilkan pun beragam, meliputi karya instalasi, lukisan di atas kanvas, kertas, hingga penggunaan media charcoal atau arang. 

Baca juga: Ryan Luqman Hakim Tunjukkan Keindahan dari Karat dalam Pameran Reflectry_: So Far So Good

Memasuki galeri, pengunjung akan disambut lukisan berjudul Tuturkarena-Dan Jangan Bersedih #2 (acrylic on canvas mounted on composite panel, 120x80 cm, 2017). Buah tangan Handiwirman Saputra yang terpacak di samping tangga itu menampilkan dua objek abstrak dengan warna yang kontras.

Tampak ledang, lukisan ini menampilkan benda-benda mati seperti kawat, rambut, syal dan lainnya. Kumpulan objek inilah yang menghadirkan persepsi dan cara pandang berbeda pada pengunjung. Sebab, kita diajak untuk mengasosiasikan bentuk-bentuk yang dirasakan dengan hal-hal yang mungkin familiar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Saat menaiki anak tangga ke lantai dua, publik juga akan bersitatap dengan deretan karya berjudul Cakrawala Duniawi (watercolor, ink, tobacco juice on paper, various dimensions, 2016-2024). Dibuat oleh Agus Suwage selama sewindu, total terdapat 47 gambar potret hingga lanskap alam benda di sekitar manusia, baik yang nyata maupun khayali. 
 

Seri Karya Cakarawala Dunia karya Agus Suwage dalam pameran The Peotic Effect di Nadi Gallery. (simber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhani)

Seri Karya Cakarawala Dunia karya Agus Suwage dalam pameran The Peotic Effect di Nadi Gallery. (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhani)

Saat ditelusuri, kita akan melihat potret si pelukis dalam berbagai pose, Karl Marx, Joseph Beuys, manusia berkepala unicorn, hingga kucing di atas bantal. Ada pula potret pejuang perempuan Palestina menggunakan ketapel, lanskap terbakar dari pesawat jatuh, ledakan bom, tengkorak, arca, gitar, dan masih banyak lagi. 

Karya berbagai ukuran yang ditempel memanjang di dinding kaca itu, seolah ingin menyodorkan tafsir terbuka mengenai pandangan dunia sang seniman terhadap pengunjung. Kita diajak bertukar tangkap dengan lepas dengan pokok-pokok perupaan yang didaur ulang lagi oleh Agus Suwage, dalam bentuk, teknik, ukuran, hingga pemilihan material.

Sepotong lukisan dalam Cakrawala Duniawi misalnya, secara artistik juga terefleksi dalam karya Moksa II (oil, acrylic and embroidery on canvas, 120x150 cm, 2024). Citraan terbaru ini menampilkan lelaki berkepala plontos yang berdiri melayang di antara kepungan mawar, yang bisa jadi objeknya merujuk pada sosok sang seniman sendiri.

Mawar, sebagai elemen artistik juga terefleksi dalam karya berjudul Stigma (oil, acrylic and embroidery on canvas, 150x120 cm, 2024). Lukisan ini menggambarkan seorang perempuan setengah telanjang yang berdiri membelakangi pemirsa. Terlihat, delapan tangkai mawar menancap di tubuhnya, yang memunculkan darah merah bercampur biru ke dinding dan tubuh si perempuan. 
 

Karya Eko Nugroho dalam pameran The Poetic Effect di Nadi Gallery. (

Karya Eko Nugroho dalam pameran The Poetic Effect di Nadi Gallery. (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhani)

Eko Nugroho lain lagi. Dengan karya-karya visualnya yang khas, kali ini seniman asal Yogyakarta itu memboyong tiga lukisan yang secara keseluruhan hampir mirip satu sama lain. Yaitu Self Strength, 2020 for 20M Faith, dan Life for Life, Hoax for Hoax (acrylic on canvas 200x200 cm, 2020).

Tampak serupa meski tak sama, ketiga lukisan itu menampilkan objek-objek yang selama ini menjadi ciri khas Eko, yakni dua mata yang mengintip dari rerimbunan semak belukar. Namun, kali ini dia juga menyematkan tek-teks di badan atau manusia tanpa wajah ini, sebagai representasi ekspresi mereka, alih-alih memampangnya sebagai judul lukisan. 
 

Pengalaman Personal

Berbanding terbalik, JA Pramuhendra justru menghadirkan potret-potret perempuan yang tidak sepenuhnya menampakkan paras pada pengunjung.

Ini salah satunya terejawantah dalam karya berjudul Lost and Hope (charcoal on canvas, 200x200 cm, 2024). Lukisan ini tampak muka menggambarkan dua perempuan yang membelakangi pengunjung dengan tone warna monokrom.

Visual yang sama juga terefleksi dalam karya The Majestic Power dan Peaceful Wound (charcoal on canvas, 200x150 cm, 2023-2024). Namun, dalam karya ini sang seniman lebih banyak memberi sentuhan artistik pada baju yang dikenakan oleh para model yang dilukis, yang tentu saja mereka masih mengenakan mahkota duri di kepalanya. 

Pramuhendra mengungkap, inspirasi awal dari sederet lukisan tersebut berangkat dari pengalaman personalnya terhadap sosok sang ibu, dan ajaran-ajaran Katolik. "Kalau mahkota duri itu untuk menggambarkan penderitaan wanita yang mungkin lebih berasa punya beban salib di hidupnya," katanya.
 

Pengunjung berdiri di depan karya JA Pramuhendra dalam pameran The Poetic Effect.

Pengunjung berdiri di depan karya JA Pramuhendra dalam pameran The Poetic Effect. (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhani)

Kurator Wahyudin mengatakan, apa yang terpampang dari pameran Poetic Effect, merupakan refleksi para seniman terhadap realitas yang melingkupi mereka. Namun, dari beragamnya karya yang ditampilkan ada benang merah yang bisa ditarik dari ekshibisi ini untuk memudahkan pengunjung menikmati karya secara lebih sangkil. 

Meminjam istilah penulis sekaligus filmmaker Susan Sontag, Wahyudin menjelaskan ada dua model dalam seni rupa. Yaitu model penggambaran, atau karya seni rupa sebagai bentuk gambaran yang empiris tanpa tendensi kritis, dan model pernyataan atau karya seni rupa sebagai bentuk pernyataan sang seniman terhadap kenyataan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Model pernyataan ini dapat dilihat dalam lukisan Stigma dari Agus Suwage, karya-karya Eko Nugroho, dan sepilihan karya JA Pramuhendra. Sedangkan, model penggambaran dapat dilihat dalam karya Tata Kepala dan Tuturkarena-Dan Jangan Bersedih#2 dari Handiwirman Saputra, serta lukisan Moksa II dan Cakrawala Dunia dari Agus Suwage.

"Kendati begitu, publik juga boleh tidak bersepakat dengan kategorisasi yang saya buat. Sebab, saya tidak mau meringkus rampung karya-karya seni rupa dalam eksposisi ini dengan satu kacamata resepsi saja," katanya. 

Baca juga: Debut di Indonesia, Cek 5 Karya Seni Unik Patricia Piccinini di Pameran Care Museum MACAN

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Jakarta X Beauty 2024 Kembali Hadir, Cek Harga Tiket dan Cara Belinya

BERIKUTNYA

4 Rekomendasi Parfum Pria dari Timur Tengah, Bisa Jadi Pilihan Anti Mainstream

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: