We Are Human (2023), 430 x 270 x 270 cm, fiberglass and spray paint, (Sumber gambar: Galeri ROH)

Penjagaan Semangat & Harapan Eko Nugroho dalam Pameran Cut The Mountain And Let It Fly

13 August 2023   |   00:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Perupa Eko Nugroho tengah memamerkan karya-karya terbarunya dalam pameran tunggal bertajuk Cut The Mountain And Let It Fly. Pameran yang digelar di galeri seni ROH Project, Jakarta, ini juga menjadi saksi perjalanan kekaryaannya yang memasuki periode dua dekade.

Cut The Mountain And Let It Fly juga menjadi pameran tunggal Eko yang akhirnya kembali mampir ke Jakarta, setelah terakhir kali diadakan pada 2015 di Komunitas Salihara. Dalam pamerannya kali ini, perupa asal Yogyakarta tersebut menampilkan sebanyak 36 karya seni dalam berbagai medium, termasuk mural, bordir, hingga lukisan di atas kertas.

Menurut sang Seniman, judul besar pameran tunggalnya, Cut The Mountain And Let It Fly, bermula dari karya mural terbesarnya yang pernah dibuatnya pada Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday ke-10 Paris.

Karya masyhur yang dipajang di Prancis itu menggambarkan lanskap gunung melayang setelah dibelah menjadi dua. Karyanya itu mengkritik konteks lokal atau bisa dilihat juga sebagai sindiran jenaka terhadap tradisi Mooi Indie, sebuah gaya visual khas Indonesia. 

Baca juga: Mengenal Peristiwa Desember Hitam di Balik Pameran Piknik 70-an Galeri Nasional
 

Karya Eko Nugroho berjudul Everyone Building Hope, 2022, Fiberglass, 210 x 80 x 50 cm (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Karya Eko Nugroho berjudul Everyone Building Hope, 2022, Fiberglass, 210 x 80 x 50 cm (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Empat belas tahun berlalu, dia kini ingin menghadirkan lagi Cut The Mountain And Let It Fly ke dalam pameran tunggalnya terbarunya. Ada alasan khusus mengapa ia kembali membuat karya berbasis dari apa yang pernah dibuatnya dahulu.

Dalam pameran ini, nama karya dan pamerannya itu juga dicetak di kaus yang dikenakan patung laki-laki seukuran manusia Everyone Building Hope.

Cut The Mountain And Let It Fly itu kayak mantra buat saya. Kalimat ini juga seperti peribahasa yang punya makna mendalam. Terasa puitis, tetapi juga punya simbol yang kuat,” jelas Eko Nugroho dalam artists talk di ROH Project, Jakarta, Sabtu (12/8).

Di benak Eko, gunung adalah sesuatu yang ada di dalam kepala setiap manusia, apa pun itu. Hal tersebut bisa berupa harapan, semangat, atau hal-hal yang ingin kita wujudkan selama ini tetapi masih dipendam.

Perasaan-perasaan tersebut kerap kali mewujud menjadi sesuatu yang besar dan tinggi, layaknya sebuah gunung. Gunung, bagi Eko menjadi sebuah simbol yang pas untuk menggambarkan keinginan-keinginan yang ada di kepala tersebut yang sering kali lebih besar dari manusianya itu sendiri.

Dengan penggambaran tersebut, dirinya jadi begitu menyukai kalimat tersebut. Kalimat cut the mountain atau memotong gunung itu seperti sebuah ungkapan bahwa kita semua sedang menjaga harapan yang ada di kepala kita masing-masing.

“Semangat itu pun masih ada di saya. Kalimat itu menguat di kepala saya dan saya rasa setelah pandemi Covid-19 yang menghancurkan kita, melemahkan kita, lalu menyisihkan satu generasi manusia. Artinya, semangat dan harapan itu masih membesar karena optimisme lebih muncul kuat sekarang ini,” imbuhnya.

Alasan itu yang kemudian mendorong Eko untuk kembali menampilkan mantra ajaibnya Cut The Mountain And Let It Fly di pameran ini. Meskipun sempat tertunda akibat pandemi, dia cukup lega setelah akhirnya karyanya bisa ditampilkan lagi dalam bentuk pameran. Ya, semangat dan harapan itu masih ada, begitu katanya. 

Baca juga: Menyimak Ekspresi Cinta Seniman Nana Tedja dalam Pameran Love is Happiness
 

Karya Eko Nugroho berjudul Ala Carte Modern Slavery, 2023, Fiberglass painted with acrylic, buffalo skin, fabric, dacron, 83 x 68 x 115 cm (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Salah satu karya Eko Nugroho yang dipajang di pameran tunggal Cut The Mountain And Let It Fly (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Sementara itu, Kurator dan Art Director Art Jakarta Enin Supriyanto mengatakan bahwa setidaknya ada tiga hal yang menjadi kekuatan praktik berkaya Eko Nugroho. Pertama, Eko adalah perupa yang muncul setelah reformasi.

Pada masa itu, penggunaan budaya populer atau budaya massa sebagai sumber bahasa visual mulai marak. Menurutnya, budaya massa ini bisa jadi perangkat yang menarik dan kuat sehingga memperkaya bahasa visualnya.

Kedua, Eko punya kepekaan yang baik dalam membaca masalah-masalah sosial. Dia terlatih agar bagaimana karyanya bisa bersinggungan dengan persoalan sosial, politik, dan budaya di sekitarnya. Hal ini juga yang membuat sumber visualnya tak habis-habis karena akan terus berusaha mengenali apa yang hidup dalam budaya massa sehari-hari.

Ketiga adalah kesediaan Eko untuk berkolaborasi dalam karyanya. Menurut Enin, inisiatif Eko yang dimulai kemudian jadi semacam praktik yang punya kemampuan untuk tumbuh dan berkembang itu banyak banget. Hal ini yang kemudian membawa karyanya hingga sekarang.

Baca juga: Pameran Piknik 70-an Digelar di Galeri Nasional, Hadirkan Koleksi Karya Perupa Era 1970-an

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Tren Layanan Pesan Antar Makanan Dinilai Kian Lesu, Apa Yang Berubah?

BERIKUTNYA

Tantangan yang Dihadapi Gen Z, Mulai dari Karier sampai Isu Kesehatan Mental

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: