7 Karya Seni Instalasi yang Memukau di ARTJOG 2023
13 August 2023 |
16:19 WIB
Kalau kalian bertandang ke Yogyakarta, sempatkanlah untuk berkunjung ke Artjog yang kembali digelar tahun ini. Hajatan seni tahunan itu dibuka untuk publik hingga 27 Agustus 2023 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Menggandeng 73 seniman, pameran ini menampilkan ratusan karya yang terdiri dari lukisan, patung, karya media campuran (mixed media), hingga seni instalasi.
Tahun ini, gelaran Artjog mengusung tema Motif:Lamaran. Kata motif berarti corak, pola, warna, tata rupa, bahkan juga himpunan lambang atau kreasi simbol. Sedangkan kata 'lamaran' dalam tajuk pameran ini adalah upaya untuk lebih dekat pada penjelajahan berbagai bahasa motif dan cara para seniman mengerjakannya.
Dari pengertian tersebut, tema Motif: Lamaran dipilih sebagai landasan dalam merajut ide dan pola karya seniman sekaligus mengajak mereka untuk mengungkapkan gagasan dan motivasi di balik karya.
Setiap tahunnya, Artjog selalu menyuguhkan ragam karya seni dengan ide dan visual yang segar. Tema atau materi yang diusung pun beragam mulai dari kritik politik sosial, dinamika kehidupan modern, tema perempuan, hingga spiritualisme. Berikut adalah 7 karya seni instalasi yang memukau di Artjog 2023.
1. The Archeology Story (Ugo Untoro)
Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta
Dalam seri karya terbaru batu bersurat ini, seniman Ugo Untoro memahat berbagai motif—gambar, simbol, aksara, pepatah-petitih—pada permukaan bebatuan candi dan membubuhkan makna-makna baru yang satu dengan yang lain yang tidak saling berkaitan.
Pada satu sisi, keberadaan bongkahan-bongkahan batu itu menandai obyek, citra dan artifak arkeologis seperti prasasti. Akan tetapi, pada sisi lain batu-batu bersurat ini memuatkan pesan-pesan dan isu kontemporer. Tanah yang terbuka memunculkan kembali artefak, candi, serta benda-benda kuno yang ada di dalamnya.
Benda temuan yang telah lama terkubur tersebut seakan berbicara, bahwa tanah Nusantara memiliki kekuatan untuk melawan dan menangkal paham-paham dari luar yang mulai mempengaruhi sebagian masyarakat.
Benda temuan yang telah lama terkubur tersebut seakan berbicara, bahwa tanah Nusantara memiliki kekuatan untuk melawan dan menangkal paham-paham dari luar yang mulai mempengaruhi sebagian masyarakat.
Isu-isu itu sedikit banyak juga merefleksikan berbagai informasi dan misinformasi yang melimpah ruah di dunia sosial media sekarang ini. Ironi, parodi, puisi, humor dan seksualitas adalah tema-tema yang sering muncul pada karya-karya Ugo selama ini. Motif-motif visual itu dihadirkan berdampingan dengan citra arkais, layaknya kita saksikan dalam taman prasasti atau museum purbakala.
2. Kayon Panutup (Gegerboyo)
Sumber gambar: Artjog
Gegerboyo adalah kelompok seniman muda yang beranggotakan Anjali Nayenggita, Enka Komariah, Prihatmoko Moki, dan Vendy Metodhos. Dalam pameran Artjog tahun ini, mereka menghadirkan karya instalasi dari hasil penelitian atas situs peziarahan yang oleh masyarakat setempat diberi nama Gunung Hargo Gumilang atau Gunung Tutup di desa Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Karya instalasi ini berusaha menghadirkan kembali bentuk-bentuk, isi dan esensi dari petilasan Gunung Tutup yang dibangun berdasarkan empat asas, yakni sosialisme (gotong –royong), nasionalisme, spiritualisme dan kebudayaan. Motif estetika visual yang dikembangkan oleh kelompok Gegerboyo dalam karya ini dicirikan oleh "obar-abir", "tumpuk-tundung" dan "uba rampe", yang semuanya mengacu pada gambaran kekayaan dan kesatuan berbagai unsur dalam tradisi ritual.
3. AAAAAHHHHH (Dicky Takndare & The Sampari)
Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta
Instalasi Dicky yang berukuran besar ini menggabungkan gagasan antara berada di dalam dan di luar bagi tahanan politik di Papua Barat. Sang seniman memadukan antara kebesaran monumen Pembebasan Irian Barat yang dikerjakan oleh pematung Edhi Sunarso di Jakarta semasa kekuasaan Presiden Soekarno pada 1960-an dan ruang tahanan sebagai tubuh abstrak monumen itu.
Monumen bagi Dicky adalah konstruksi politis, karena dibangun oleh mereka yang menang atau bertujuan untuk menang. Seiring waktu, ingatan bisa mengalami reduksi melalui monumen, karena itulah generasi berikut akan membangun monumen-monumen lagi ketika monumen gagal menghadirkan memori di ruang publik.
Dalam membuat instalasi ini, Dicky melakukan penelitian dengan melakukan wawancara dengan sejumlah narapidana tahanan politik dan kejahatan ringan di Papua Barat melalui penasehat hukum mereka. Karya ini menjadi simbol suara partisipatif yang akan bergaung di luar meski tubuh mereka berada berada di dalam penjara. Sosok-sosok tersebut dikonstruksi secara sangat simbolik dan terkesan centang-perenang melebur ke dalam bentuk besi-besi metalik yang menggambarkan struktur penjara.
Dicky secara efektif telah 'meretas' monumen ini untuk mempertanyakan apakah orang Papua di masa kini benar-benar bebas. Realitasnya, banyak orang yang justru menjadi tahanan politik ketika menunjukkan aspirasinya untuk merdeka dari Indonesia.
4. Langkah-Langkah (Faelerie)
Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta
Faelerie adalah seniman asal Wonosobo yang menaruh minat pada ranah seni tekstil sejak berkuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam karya rajutan benang ini, dia memilih mengambil inspirasinya dari puisi panjang yang sangat terkenal karya Sanento Yuliman berjudul Laut (1967). Puisi ini memperoleh Hadiah Sastra Horison untuk kategori Puisi Terbaik pada 1967.
Faelerie dengan terampil mengaitkan sifat ritmis rajutan dan tahapan berkesinambungan dalam pembuatan karyanya. Sang seniman mengumpamakan irama tanpa putus, gerakan keluar masuk, menembus dan merangkum yang dikerjakannya selama merajut dengan pasang surut air laut yang tergambar melalui puisi liris itu.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.