Mella Jaarsma Jadi Commissioned Artist di ARTJOG 2023, Hadirkan Koleksi Karya 3 Dekade
13 August 2023 |
19:38 WIB
Saat memasuki ruang pameran utama ARTJOG 2023, pengunjung disambut oleh instalasi karya seniman Mella Jaarsma. Perupa asal Belanda itu terpilih sebagai commissioned artist dalam gelaran ARTJOG tahun ini. Pihak penyelenggara secara langsung mengundang Mella untuk membuat sejumlah karya seni yang khusus dihadirkan di ARTJOG 2023.
Mella Jaarsma telah berkontribusi secara signifikan pada dunia kesenian dalam kariernya selama lebih dari 30 tahun. Karya Mella banyak mengeksplorasi berbagai material untuk mengungkapkan dan mempertanyakan fenomena sosial serta elemen kehidupan Jawa dan Indonesia.
Karyanya sering menggunakan tubuh manusia sebagai motif sentral. Tubuh berfungsi sebagai jembatan antara karya dan penontonnya serta menghadirkan ketegangan yang intens antara pemirsa dan karya tersebut.
Kurator ARTJOG 2023 Hendro Wiyanto mengatakan ada tiga motif utama yang menarik perhatian Mella dalam jelajah artistiknya selama empat dasawarsa terakhir ini yaitu bayangan, selubung, dan relasi raga dengan ruang hunian. Ketiganya menandai periode perkembangan seni rupa Mella setelah menginjakkan kaki di Indonesia pada 1984.
Untuk mengakomodasi seluruh karya Mella, ARTJOG menampilkan bangunan limasan dengan tiga pendekatan kuratorial. Pertama, konsep arsitektur rumah limasan yang merepresentasikan ruang cair yang mengakomodasi pertemuan antar individu atau komunitas melalui aktivitas nongkrong.
Kedua, karya yang berpondasi pada konsep kulit kedua (second skin) yang mewarnai karya Mella dari tahun 2000-an. Konsep second skin menampilkan karya-karya berbentuk jubah dari bahan-bahan tradisional yang merepresentasikan sekaligus mengomentari fenomena dalam masyarakat Indonesia. Adapun, pendekatan ketiga menampilkan karya-karya Mella yang merujuk pada arsitektur dan ruang.
"Menyoroti hubungan antara tubuh, ruang, dan konsep arsitektur limasan, instalasi karya commissioned artist ini menghadirkan ruang kontemplasi atas persoalan identitas, polarisasi, dan pakaian, sebuah kecenderungan yang dalam dekade terakhir ini menguat dalam atmosfer masyarakat Indonesia," kata Hendro dalam catatan kuratorialnya.
Outskirts-Troubleskirts (2023), Mella Jaarsma. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Tiga Motif Karya
Dalam motif bayangan, karya-karya Mella dekat dengan pengalaman dirinya terkait yang nyata dan maya, antara yang material dan spiritual, yang eksis dan non-eksis dalam ekspresi budaya masyarakat yang diamatinya. Hal itu tercermin salah satunya dalam karya bertajuk Outskirts-Troubleskirts.
Karya ini terdiri dari empat patung yang menyerupai bentuk limasan dengan elemen tubuh yang diletakkan di bagian tengahnya. Tubuh patung-patung ini memakai bentuk limasan karya Mella, seperti patung-patung yang mencerminkan limasan tempat mereka berada – sebagai karya site-specific.
Kayu dari karya tersebut terbuat dari kayu bajak yang menyiratkan teritorialitas dengan tanah pedesaan. Sementara atap patung yang terbuat dari ijuk, yang Mella peroleh dari Bali dan Jawa yang digunakan sebagai bagian dari atap rumah-rumah di sana mengacu pada kepala dan rambut, liar dan tak tertaklukkan, seperti pementasan Rangda dalam mitologi di Bali, yang mengacu juga pada dunia atas.
Adapun, pakaian yang dikenakan tubuh dalam karya ini berupa kapas tenunan tangan yang diwarnai secara lokal, dengan elemen tambahan, seperti kulit durian, sebagai bentuk perlindungan.
"Tema outskirts menunjukkan bagaimana limasan itu tidak hanya menjadi simbol dari sebuah arsitektur lokal tetapi juga terjadi proses marjinalisasi karena bisa dibongkar pasang dan menjadi properti dari kelompok masyarakat lain," kata Hendro.
Mella mengatakan inspirasi pembuatan karya Outskirts-Troubleskirts datang dari hasil pengamatannya dimana masih banyak kontradiksi antara orang-orang yang hidup di kota dan desa. Menurutnya, orang-orang yang hidup di kota juga memiliki tanggung jawab untuk membuat dua hal tersebut tetap seimbang.
"Karya itu saya sebut Outskirts Troubleskirts karena saya merasa keterlibatan dan inklusivitas itu penting sekali," kata seniman kelahiran 9 Oktober 1960 itu.
The Warrior (2003), Mella Jaarsma. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Sementara motif selubung/kulit kedua menengarai perkembangan sesudahnya yang dapat dimaknai sebagai penjelajahan tema identitas yang dikerjakan Mella mulai awal 2000-an. Mella bukan lagi merasa sebagai liyan, tapi seniman yang terlibat di dalam dinamika sosial-politik masyarakat di mana dia tinggal.
Di masa ini—seiring dengan perjalanannya yang semakin jauh ke berbagai tempat—lahirlah sejumlah besar karya instalasi dan obyek-obyek performans. Tema-tema identitas politik dan budaya, relasi gender, dialektika antara fasad/bangunan/pelindung dan isi/hunian/pemangsa, ruang privat/publik dikerjakan dengan berbagai wahana yang mengedepankan segi-segi materialitas yang kaya.
Misalnya karya berjudul The Warrior (2003). Instalasi ini menampilkan kombinasi jubah militer prajurit yang dipadukan dengan rumput laut yang dimasak dalam panci dan disajikan langsung di hadapan para pengunjung. Secara tidak langsung, pengunjung mengonsumsi makanan dan seragam.
Dalam catatannya, karya ini mengacu pada peran ambigu militer Indonesia sebagai perusak dan penyelamat, yang memberi makan tetapi juga sekaligus menguasai 'wilayah-wilayah berbahaya' di Indonesia.
Dalam catatannya, karya ini mengacu pada peran ambigu militer Indonesia sebagai perusak dan penyelamat, yang memberi makan tetapi juga sekaligus menguasai 'wilayah-wilayah berbahaya' di Indonesia.
Karya lain misalna berjudul Londo Ngemis (2002) yang diterjemahkan sebagai pengemis asing. Namun jika dibalik, Ngemis Londo juga berarti mengemis orang asing. Karya ini terbuat dari lempengan-lempengan tanduk kerbau.
Permainan kata dalam judul karya ini mengacu pada pandangan Mella tentang stereotip orang asing kaya sebagai sasaran mengemis, dan sebaliknya, orang asing dalam posisi tertentu yang ikut mengeksplorasi dan mengeksploitasi hal-hal, tergantung pada situasi sosialnya.
Selain itu, ada pula karya berjudul The Follower (2002) yang dibuat sebagai reaksi atas tragedi bom Bali tahun 2002. Dalam karya ini, sang seniman menampilkan sebuah jubah yang terbuat dari tumpukan lambang (emblem) sejumlah lembaga sosial dan budaya yang dijahit menjadi satu kesatuan.
Karya ini adalah usaha Mella untuk melawan pandangan media dalam merepresentasikan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang terlibat dalam penyerangan tersebut. Baginya, karya ini menyerupai proses kebutuhan untuk berafiliasi dengan atau bersembunyi di balik lambang atau gelar resmi, pada saat afiliasi setiap orang dengan kelompok agama atau budaya dipertanyakan.
Mella mengatakan sejak menginjakkan kaki di Indonesia pada 1984, dia mengaku belum merasa pantas untuk berbicara tentang dinamika sosial politik di masyarakat Tanah Air. Namun, sejak peristiwa Reformasi 1998, dia merasa sebagai seniman mulai tertarik untuk berbicara tentang relasi kolonialisme dengan cerminan masyarakat hari ini.
"Karya-karya awal tahun 2000 adalah masa dimana saya mulai berani untuk mengangkat masalah politik sosial," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.