Review Buku Resep Kaliurang, Cerita-cerita Tersembunyi di Balik Sebuah Makanan
26 May 2023 |
13:59 WIB
1
Like
Like
Like
Bagi yang menyukai kuliner dan kisah-kisah tersembunyi di balik sebuah makanan, Buku Resep Kaliurang karya Rara Sekar bisa jadi bacaan yang menarik. Tulisan-tulisan di dalamnya akan mengajak pembaca menjelajah kuliner legendaris di Kaliurang, Yogyakarta.
Namun, ini bukanlah buku resep belaka. Buku ini bercerita tentang hubungan makanan dan manusia dan hal-hal yang terjadi di antara keduanya. Tak bisa dipungkiri, makanan dan manusia memang saling terkait. Keduanya bisa saling memengaruhi satu sama lain.
Melalui makanan, ada kenangan yang muncul saat manusia mengecap rasa yang sama seperti yang dinikmatinya pada masa lalu. Melalui makanan, manusia juga merajut silaturahmi dan membentuk ruang-ruang ingatan baru.
Baca juga: William Wongso: Saya Belajar Kuliner dari Jalanan
Karya Rara Sekar berjudul Buku Resep Kaliurang agaknya mencoba untuk bercerita tentang hal-hal seperti itu. Menarik sekali bagaimana sebuah makanan bisa dipengaruhi dan memengaruhi manusia yang selalu membutuhkannya.
Buku Resep Kaliurang menggabungkan fotografi dan riset. Buku ini mencoba merangkum dan mengumpulkan cerita-cerita tentang makanan legendaris di Kaliurang langsung dari juru masak dan pemilik usaha rumah makan di daerah tersebut.
Salah satu yang menarik tentu saja cerita soal Jadah Tempe Mbah Carik. Terkenalnya makanan ini bisa dibilang tak lepas dari peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam sebuah kunjungan ke Kaliurang, sang Raja menyempatkan diri mencicipi jadah tempe di warung milik Pak Sastro.
Suka dengan sensasi rasa yang unik, makanan ini konon langsung menjadi favorit beliau. Sri Sultan bahkan memberi nama warung Pak Sastro dengan nama Warung Jadah Tempe Mbah Carik. Hal ini pun langsung memancing rasa penasaran yang tinggi dari banyak orang dan membuat makanan ini jadi terkenal.
Kisah ini seolah seperti ingin membeberkan bahwa makanan adalah produk yang universal. Ia bisa disukai oleh lintas generasi bahkan lintas status sosial. Melalui makanan, hubungan simbiosis mutualisme pun bisa terjalin. Antara Raja dan warganya bisa terjalin hubungan yang harmonis.
Kepiawaian Rara dalam menuliskan kisah-kisah di buku ini terbilang sangat baik. Deskripsinya sederhana dan kata-katanya tidak berbunga. Menjadi menarik karena dia juga memasukkan pengalaman-pengalaman personal yang dialami warga tentang sebuah makanan.
Melalui buku ini, Rara juga mencoba mencari hubungan makanan dengan suatu peristiwa sejarah. Misalnya, saat ia mencoba menggali tradisi yang pernah ada di Kaliurang, dari berburu, memakan belalang, hingga memakan hewan hutan lain.
Bagi turis, tradisi ini mungkin akan dianggap sekadar keunikan dan atraksi pariwisata yang mengasyikkan. Namun, ketika dikulik lebih dalam, tradisi ini rupanya berawal dari sebuah cerita getir.
Namun, ini bukanlah buku resep belaka. Buku ini bercerita tentang hubungan makanan dan manusia dan hal-hal yang terjadi di antara keduanya. Tak bisa dipungkiri, makanan dan manusia memang saling terkait. Keduanya bisa saling memengaruhi satu sama lain.
Melalui makanan, ada kenangan yang muncul saat manusia mengecap rasa yang sama seperti yang dinikmatinya pada masa lalu. Melalui makanan, manusia juga merajut silaturahmi dan membentuk ruang-ruang ingatan baru.
Baca juga: William Wongso: Saya Belajar Kuliner dari Jalanan
Karya Rara Sekar berjudul Buku Resep Kaliurang agaknya mencoba untuk bercerita tentang hal-hal seperti itu. Menarik sekali bagaimana sebuah makanan bisa dipengaruhi dan memengaruhi manusia yang selalu membutuhkannya.
Buku Resep Kaliurang menggabungkan fotografi dan riset. Buku ini mencoba merangkum dan mengumpulkan cerita-cerita tentang makanan legendaris di Kaliurang langsung dari juru masak dan pemilik usaha rumah makan di daerah tersebut.
Salah satu yang menarik tentu saja cerita soal Jadah Tempe Mbah Carik. Terkenalnya makanan ini bisa dibilang tak lepas dari peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam sebuah kunjungan ke Kaliurang, sang Raja menyempatkan diri mencicipi jadah tempe di warung milik Pak Sastro.
Suka dengan sensasi rasa yang unik, makanan ini konon langsung menjadi favorit beliau. Sri Sultan bahkan memberi nama warung Pak Sastro dengan nama Warung Jadah Tempe Mbah Carik. Hal ini pun langsung memancing rasa penasaran yang tinggi dari banyak orang dan membuat makanan ini jadi terkenal.
Kisah ini seolah seperti ingin membeberkan bahwa makanan adalah produk yang universal. Ia bisa disukai oleh lintas generasi bahkan lintas status sosial. Melalui makanan, hubungan simbiosis mutualisme pun bisa terjalin. Antara Raja dan warganya bisa terjalin hubungan yang harmonis.
Kepiawaian Rara dalam menuliskan kisah-kisah di buku ini terbilang sangat baik. Deskripsinya sederhana dan kata-katanya tidak berbunga. Menjadi menarik karena dia juga memasukkan pengalaman-pengalaman personal yang dialami warga tentang sebuah makanan.
Melalui buku ini, Rara juga mencoba mencari hubungan makanan dengan suatu peristiwa sejarah. Misalnya, saat ia mencoba menggali tradisi yang pernah ada di Kaliurang, dari berburu, memakan belalang, hingga memakan hewan hutan lain.
Bagi turis, tradisi ini mungkin akan dianggap sekadar keunikan dan atraksi pariwisata yang mengasyikkan. Namun, ketika dikulik lebih dalam, tradisi ini rupanya berawal dari sebuah cerita getir.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.