Resensi Buku Lauk Daun: Kisah yang Jenaka dan Penuh Kritik
29 March 2023 |
16:06 WIB
1
Like
Like
Like
Novel Lauk Daun jadi debut yang manis bagi Hartari. Novel pertamanya itu menyajikan observasi yang jenaka dalam memotret kehidupan masyarakat ketika menghadapi masa-masa awal pandemi Covid-19. Membaca buku ini seperti memutar waktu, kembali ke awal-awal 2020 lalu.
Aroma nostalgia begitu terasa. Potret kehidupan antarwarga yang masih dalam satu rukun tetangga (RT) menjadi pusat cerita Hartari di buku ini. Gaya bertutur Hartari yang ringan dan sederhana membuat buku ini enak dibaca dan mengalir.
Namun, buku ini tidak hanya menghadirkan cerita sehari-hari saja. Ada humor yang lugas dan satire yang diselipkan Hartari dalam cerita-cerita yang dihadirkan di buku ini. Dengan tebal hanya 144 halaman, Novel Lauk Daun cocok dibaca untuk menemani waktu senggang.
Baca juga: Resensi: Memaknai Hidup lewat Buku Love Is The Answer
Sejak bab pertama, Lauk Daun sudah menyuguhkan pondasi cerita yang sangat kuat. Sulit untuk mengacuhkan buku ini meski sejenak karena ceritanya langsung memunculkan ketertarikannya tersendiri. Maka, antusiasme itu harus segera dituntaskan. Meski ceritanya berlandaskan kehidupan warga di dalam satu RT, Hartari bisa meraciknya dengan menyuguhkan hal-hal seru dan menggelitik.
Bagi warga RT 01/RW 01 Kampung Merdeka, jabatan ketua RT punya arti yang penting. Seseorang yang menjabat di posisi tersebut harus mampu membuat suasana kampung tenteram. Tidak hanya itu, jika ingin dianggap berhasil, ketua RT juga harus bisa menghidupkan suasana kampung saat ada perayaan-perayaan besar, misalnya HUT RI yang mesti diisi dengan kegiatan lomba yang meriah.
Entah siapa yang membuat patokan keberhasilan ketua RT tersebut. Akan tetapi, hal itu diamini oleh semua warga Kampung Merdeka. Di Kampung Merdeka, jabatan ketua RT juga tidak hanya soal administrasi kependudukan belaka, tetapi ada hal lain yang tak terduga juga jadi bagian yang menarik disimak.
Aneka intrik yang didasarkan pada masalah pribadi juga seolah menjadi urusan ketua RT. Penulis seolah ingin menggambarkan betapa rumit jadi pejabat, meski hanya berada di tingkat RT.
Meski punya peran sentral dan penting, jabatan ketua RT justru jarang diminati. Setiap kali ada pemilihan ketua RT, semua saling menunjuk muka orang lain, kecuali Bu As.
Bu As punya ambisi agar suaminya menjadi ketua RT. Sebab, dengan jabatan suaminya itu, dirinya secara otomatis bisa menjadi ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). First lady di Kampung Merdeka. Namun, setelah dirinya menjadi ketua PKK, Bu As banyak tidak disukai oleh warganya. Penulis seolah ingin mengkritik tingkah laku pemimpin lewat narasi Bu As.
Baca juga: Resensi Buku, Mengusut Konspirasi Rusia
Saat Bu As jadi ketua PKK, kebijakan-kebijakan aneh mulai dibuatnya. Banyak warga yang mengaduh-aduh akibat kebijakan itu. Misalnya, soal Bu As yang ingin menjadikan Kampung Merdeka jadi kampung hijau. Gagasannya itu cukup baik, tetapi kenyataannya sangat jauh berbeda.
Bu As memanfaatkan ide besarnya untuk menjadikan Kampung Merdeka jadi kampung hijau dengan meminta semua warga mengoleksi tanaman di rumahnya. Dia kemudian memulainya dengan mengeluarkan perintah untuk menanam cabai bersama. Kebetulan, Bu As juga menjual tanaman cabai beserta potnya. Warga hanya tinggal membeli.
Para tokoh di buku ini benar-benar bikin gemas. Tidak hanya Bu As saja, ibu-ibu lain di buku Lauk Daun juga punya karakter yang beraneka ragam, mirip kehidupan asli dalam kehidupan bertetangga.
Hingga kemudian, pandemi Covid-19 datang. Masalah makin kompleks. Banyak warga yang khawatir virus berbahaya itu menyebar ke kampungnya. Namun, sebagian warga lain khawatir perutnya tak terisi karena ada rencana menerapkan kebijakan lockdown, yakni menutup akses masuk ke Kampung Merdeka dengan portal.
Perbedaan pendapat di Kampung Merdeka dan juga terjadi di kehidupan nyata tersebut tidak datang dari ruang hampa. Warga yang mendukung penutupan portal datang dari Gang 1 yang umumnya memiliki ekonomi kelas atas. Sementara warga Gang 2 dan Gang 3 rata-rata menolak karena dengan menutup portal, roda ekonomi mereka bisa tak berjalan.
Di tengah perdebatan, ada yang bingung dengan berbagai istilah yang muncul akibat pandemi. Ada warga yang bertanya soal cara pelafalan lockdown. Bu As menimpali dengan enteng, “Lockdown dibaca lauk daun,”. Kalimat kocak ini kemudian jadi judul buku karya Hartari.
Baca juga: Rekomendasi 5 Buku Fiksi yang Cocok Dibaca pada Waktu Luang, Salah Satunya Karya Penulis Eka Kurniawan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Aroma nostalgia begitu terasa. Potret kehidupan antarwarga yang masih dalam satu rukun tetangga (RT) menjadi pusat cerita Hartari di buku ini. Gaya bertutur Hartari yang ringan dan sederhana membuat buku ini enak dibaca dan mengalir.
Namun, buku ini tidak hanya menghadirkan cerita sehari-hari saja. Ada humor yang lugas dan satire yang diselipkan Hartari dalam cerita-cerita yang dihadirkan di buku ini. Dengan tebal hanya 144 halaman, Novel Lauk Daun cocok dibaca untuk menemani waktu senggang.
Baca juga: Resensi: Memaknai Hidup lewat Buku Love Is The Answer
Sejak bab pertama, Lauk Daun sudah menyuguhkan pondasi cerita yang sangat kuat. Sulit untuk mengacuhkan buku ini meski sejenak karena ceritanya langsung memunculkan ketertarikannya tersendiri. Maka, antusiasme itu harus segera dituntaskan. Meski ceritanya berlandaskan kehidupan warga di dalam satu RT, Hartari bisa meraciknya dengan menyuguhkan hal-hal seru dan menggelitik.
Bagi warga RT 01/RW 01 Kampung Merdeka, jabatan ketua RT punya arti yang penting. Seseorang yang menjabat di posisi tersebut harus mampu membuat suasana kampung tenteram. Tidak hanya itu, jika ingin dianggap berhasil, ketua RT juga harus bisa menghidupkan suasana kampung saat ada perayaan-perayaan besar, misalnya HUT RI yang mesti diisi dengan kegiatan lomba yang meriah.
Entah siapa yang membuat patokan keberhasilan ketua RT tersebut. Akan tetapi, hal itu diamini oleh semua warga Kampung Merdeka. Di Kampung Merdeka, jabatan ketua RT juga tidak hanya soal administrasi kependudukan belaka, tetapi ada hal lain yang tak terduga juga jadi bagian yang menarik disimak.
Aneka intrik yang didasarkan pada masalah pribadi juga seolah menjadi urusan ketua RT. Penulis seolah ingin menggambarkan betapa rumit jadi pejabat, meski hanya berada di tingkat RT.
Meski punya peran sentral dan penting, jabatan ketua RT justru jarang diminati. Setiap kali ada pemilihan ketua RT, semua saling menunjuk muka orang lain, kecuali Bu As.
Bu As punya ambisi agar suaminya menjadi ketua RT. Sebab, dengan jabatan suaminya itu, dirinya secara otomatis bisa menjadi ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). First lady di Kampung Merdeka. Namun, setelah dirinya menjadi ketua PKK, Bu As banyak tidak disukai oleh warganya. Penulis seolah ingin mengkritik tingkah laku pemimpin lewat narasi Bu As.
Baca juga: Resensi Buku, Mengusut Konspirasi Rusia
Saat Bu As jadi ketua PKK, kebijakan-kebijakan aneh mulai dibuatnya. Banyak warga yang mengaduh-aduh akibat kebijakan itu. Misalnya, soal Bu As yang ingin menjadikan Kampung Merdeka jadi kampung hijau. Gagasannya itu cukup baik, tetapi kenyataannya sangat jauh berbeda.
Bu As memanfaatkan ide besarnya untuk menjadikan Kampung Merdeka jadi kampung hijau dengan meminta semua warga mengoleksi tanaman di rumahnya. Dia kemudian memulainya dengan mengeluarkan perintah untuk menanam cabai bersama. Kebetulan, Bu As juga menjual tanaman cabai beserta potnya. Warga hanya tinggal membeli.
Para tokoh di buku ini benar-benar bikin gemas. Tidak hanya Bu As saja, ibu-ibu lain di buku Lauk Daun juga punya karakter yang beraneka ragam, mirip kehidupan asli dalam kehidupan bertetangga.
Hingga kemudian, pandemi Covid-19 datang. Masalah makin kompleks. Banyak warga yang khawatir virus berbahaya itu menyebar ke kampungnya. Namun, sebagian warga lain khawatir perutnya tak terisi karena ada rencana menerapkan kebijakan lockdown, yakni menutup akses masuk ke Kampung Merdeka dengan portal.
Perbedaan pendapat di Kampung Merdeka dan juga terjadi di kehidupan nyata tersebut tidak datang dari ruang hampa. Warga yang mendukung penutupan portal datang dari Gang 1 yang umumnya memiliki ekonomi kelas atas. Sementara warga Gang 2 dan Gang 3 rata-rata menolak karena dengan menutup portal, roda ekonomi mereka bisa tak berjalan.
Di tengah perdebatan, ada yang bingung dengan berbagai istilah yang muncul akibat pandemi. Ada warga yang bertanya soal cara pelafalan lockdown. Bu As menimpali dengan enteng, “Lockdown dibaca lauk daun,”. Kalimat kocak ini kemudian jadi judul buku karya Hartari.
Baca juga: Rekomendasi 5 Buku Fiksi yang Cocok Dibaca pada Waktu Luang, Salah Satunya Karya Penulis Eka Kurniawan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.