Hypereport: Upaya Melebarkan Sayap Industri Perfilman Nasional
03 April 2023 |
20:04 WIB
Perjalanan panjang Kapten Sudarto dari Yogyakarta ke Jawa Barat yang penuh lika liku tergambar dengan gamblang dalam film Darah dan Doa (The Long March of SIliwangi atau Blood and Prayer). Sebuah film legendaris Tanah Air, yang juga menjadi pondasi milestone industri perfilman Indonesia.
Hari pertama syuting film tersebut, yakni pada 30 Maret 1950 kemudian dinobatkan sebagai Hari Film Nasional (HFN), berdasarkan Keppres Nomor 25/1999. Momen itu hingga kini masih dirayakan suka cita oleh insan film dalam negeri. Sama seperti perjalanan Kapten Sudarto dalam film tersebut, perkembangan industri film nasional juga penuh lika-liku.
Dinamika perfilman nasional terus bergerak, baik dari sisi jumlah produksi dan ragam cerita maupun kualitas dan teknis visual yang dipakai, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Tak hanya itu, tantangan yang dihadapi kian beragam. Para insan film tak cuma dihadapkan pada problem klasik seperti masalah pendanaan, infrastruktur yang belum memadai, atau kepastian regulasi terhadap perlindungan karya dan efektivitas insentif.
Mereka juga ditantang untuk bisa menghadapi tantangan seperti profesi baru industri film yang belum terakomodasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang perfilman, jumlah film yang terus naik tapi belum diimbangi dengan pertambahan layar, hingga tantangan untuk melahirkan genre-genre baru untuk memperluas khazanah industri perfilman Indonesia.
Dalam laporan khusus kali ini, Hypeabis.id coba mengangkat topik seputar tantangan dan potensi serta wilayah baru industri film Indonesia, bertepatan dengan momentum Hari Film Nasional (HFN) yang diperingati dan dirayakan pada 30 Maret setiap tahunnya. Berikut ulasannya: (klik sub-judul untuk membaca tulisan lengkapnya)
Namun demikian, di balik kualitas produksi film yang mumpuni, satu hal yang masih menjadi catatan bahwa genre yang disajikan masih kurang beragam. Tiga genre film yang paling mendominasi saat ini adalah horor, drama, dan komedi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan situasi tersebut. Mulai dari sejarah panjang industri film lokal dengan genre horor sampai minat para penonton dalam negeri. Walaupun demikian, diharapkan para sineas tidak berhenti bereksplorasi dan membuat karya baru atau tidak populer mengingat sarana pemutaran film saat ini juga makin lebar. Tidak terbatas pada bioskop saja, platform streaming juga diharapkan menjadi ruang kreasi untuk sineas lokal.
Founder & CEO Miles Films, Mira Lesmana, menilai bahwa film pendek sangat penting bagi industri perfilman dalam negeri. Khususnya dalam konteks regenerasi. Tak sedikit, para sutradara dan pembuat film ternama saat ini memulai kariernya dari format film pendek.
Sementara itu, pengamat film Yan Wijaya mengatakan bahwa perkembangan film pendek lokal kiwari sangat menggembirakan. Ini terlihat dari banyaknya generasi muda, mulai dari pelajar di sekolah yang membuat film dan ikut dalam kompetisi berbagai tingkatan. Dalam konteks ide cerita, film pendek juga umumnya menawarkan premis yang lebih segar sehingga mampu menyita perhatian.
Di tataran global, Marvel jadi contoh paling nyata.Hal ini juga mulai banyak terlihat di dalam negeri. Warkop DKI misalnya. Sutradara film Anggy Umbara, mengatakan bahwa sejak awal Warkop DKI sudah diinisiasi sebagai produk kreatif atau kekayaan intelektual yang berpotensi menjadi inti bisnis untuk eksplorasi lebih luas di luar film.
Dia menyatakan, hubungan film dan merek bisnis turunan bersifat saling terkait. Bukan tidak mungkin, film yang tidak memiliki kelanjutan seri (sekuel atau prekuel) akan menyurutkan minat di brand bisnis yang dikembangkan. Walaupun secara umum hal ini lebih bersifat fluktuatif dan bisa berubah-ubah.
Selain Warkop DKI, salah satu contoh sukses pengembangan kekayaan intelektual adalah merek Filosofi Kopi. Film yang rilis pada 2015 itu bahkan membawa angin segar untuk industri kopi di dalam negeri. Alihmedia dari awalnya bentuk novel ke dalam film, nyatanya berhasil menghadirkan wahana baru berupa kedai kopi dengan nama yang sama.
Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Paggaru, mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi memang muncul profesi baru dalam industri film. Misalnya adalah writers room, yang di dalamnya ada turunan profesi lain termasuk penulis dialog hingga showrunner.
Selain itu, dia juga menyebut bahwa di dalam ekosistem perfilman lokal saat ini masih terjadi perbedaan standar kerja. Hal ini, salah satunya disebabkan oleh pola sistem yang diwariskan secara turun temurun. Untuk itu, lanjutnya, perlu ada standar kerja yang jelas guna mendorong operasional kerja para pelaku.
SKKNI juga penting untuk melindungi para sineas dengan lebih baik serta sebagai standar kompetensi di tengah persaingan industri yang makin ketat. Pasalnya, saat ini tak sedikit rumah produksi yang membuat karya layar lebar bekerja sama dengan para pelaku film luar negeri. Tak hanya itu, secara umum sertifikasi juga dapat membuat industri film nasional jadi lebih berdaulat.
Baca juga: Rangkaian Festival Film Indonesia Resmi Dibuka, Usung Tema Citra
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Hari pertama syuting film tersebut, yakni pada 30 Maret 1950 kemudian dinobatkan sebagai Hari Film Nasional (HFN), berdasarkan Keppres Nomor 25/1999. Momen itu hingga kini masih dirayakan suka cita oleh insan film dalam negeri. Sama seperti perjalanan Kapten Sudarto dalam film tersebut, perkembangan industri film nasional juga penuh lika-liku.
Dinamika perfilman nasional terus bergerak, baik dari sisi jumlah produksi dan ragam cerita maupun kualitas dan teknis visual yang dipakai, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Tak hanya itu, tantangan yang dihadapi kian beragam. Para insan film tak cuma dihadapkan pada problem klasik seperti masalah pendanaan, infrastruktur yang belum memadai, atau kepastian regulasi terhadap perlindungan karya dan efektivitas insentif.
Mereka juga ditantang untuk bisa menghadapi tantangan seperti profesi baru industri film yang belum terakomodasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang perfilman, jumlah film yang terus naik tapi belum diimbangi dengan pertambahan layar, hingga tantangan untuk melahirkan genre-genre baru untuk memperluas khazanah industri perfilman Indonesia.
Dalam laporan khusus kali ini, Hypeabis.id coba mengangkat topik seputar tantangan dan potensi serta wilayah baru industri film Indonesia, bertepatan dengan momentum Hari Film Nasional (HFN) yang diperingati dan dirayakan pada 30 Maret setiap tahunnya. Berikut ulasannya: (klik sub-judul untuk membaca tulisan lengkapnya)
1. Menantang Keragaman Genre Film Tanah Air
Kualitas film Indonesia semakin berkembang. Ini terlihat dari banyaknya karya sinema sineas dalam negeri yang mejeng di layar festival film internasional. Selain itu, beberapa judul juga mendapatkan sambutan positif para penggemar di dalam negeri. Bahkan, rekor film dengan jumlah penonton terbanyak juga berhasil tergeser.Namun demikian, di balik kualitas produksi film yang mumpuni, satu hal yang masih menjadi catatan bahwa genre yang disajikan masih kurang beragam. Tiga genre film yang paling mendominasi saat ini adalah horor, drama, dan komedi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan situasi tersebut. Mulai dari sejarah panjang industri film lokal dengan genre horor sampai minat para penonton dalam negeri. Walaupun demikian, diharapkan para sineas tidak berhenti bereksplorasi dan membuat karya baru atau tidak populer mengingat sarana pemutaran film saat ini juga makin lebar. Tidak terbatas pada bioskop saja, platform streaming juga diharapkan menjadi ruang kreasi untuk sineas lokal.
2. Ramai-Ramai Nonton Film Pendek
Banyak film pendek karya sineas muda Indonesia berhasil mencuri perhatian masyarakat dan para penikmat film lokal. Jutaan penonton sukses diraih oleh karya-karya pendek yang tayang di berbagai medium. Walaupun demikian, masih ada segudang tantangan yang dihadapi para pembuat film pendek.Founder & CEO Miles Films, Mira Lesmana, menilai bahwa film pendek sangat penting bagi industri perfilman dalam negeri. Khususnya dalam konteks regenerasi. Tak sedikit, para sutradara dan pembuat film ternama saat ini memulai kariernya dari format film pendek.
Sementara itu, pengamat film Yan Wijaya mengatakan bahwa perkembangan film pendek lokal kiwari sangat menggembirakan. Ini terlihat dari banyaknya generasi muda, mulai dari pelajar di sekolah yang membuat film dan ikut dalam kompetisi berbagai tingkatan. Dalam konteks ide cerita, film pendek juga umumnya menawarkan premis yang lebih segar sehingga mampu menyita perhatian.
3. Saat Kesuksesan Film Melahirkan Bisnis dari Merch hingga Kafe
Perluasan kekayaan intelektual (intellectual property/IP) menjadi hal yang mulai gandrung difokuskan, tak terkecuali dalam industri perfilman. Tak sedikit kekayaan intelektual yang berasal dari sebuah film, kini mengembangkan brand bisnis ke sektor lain.Di tataran global, Marvel jadi contoh paling nyata.Hal ini juga mulai banyak terlihat di dalam negeri. Warkop DKI misalnya. Sutradara film Anggy Umbara, mengatakan bahwa sejak awal Warkop DKI sudah diinisiasi sebagai produk kreatif atau kekayaan intelektual yang berpotensi menjadi inti bisnis untuk eksplorasi lebih luas di luar film.
Dia menyatakan, hubungan film dan merek bisnis turunan bersifat saling terkait. Bukan tidak mungkin, film yang tidak memiliki kelanjutan seri (sekuel atau prekuel) akan menyurutkan minat di brand bisnis yang dikembangkan. Walaupun secara umum hal ini lebih bersifat fluktuatif dan bisa berubah-ubah.
Selain Warkop DKI, salah satu contoh sukses pengembangan kekayaan intelektual adalah merek Filosofi Kopi. Film yang rilis pada 2015 itu bahkan membawa angin segar untuk industri kopi di dalam negeri. Alihmedia dari awalnya bentuk novel ke dalam film, nyatanya berhasil menghadirkan wahana baru berupa kedai kopi dengan nama yang sama.
4. Ketika Insan Perfilman Dituntut Beradaptasi dengan Lanskap Baru
Salah satu bentuk tantangan yang dihadapi para pelaku industri film lokal adalah masih nihilnya pengakuan negara terhadap profesi baru yang ada di bidang ini. Tak sedikit profesi bidang perfilman yang belum diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Paggaru, mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi memang muncul profesi baru dalam industri film. Misalnya adalah writers room, yang di dalamnya ada turunan profesi lain termasuk penulis dialog hingga showrunner.
Selain itu, dia juga menyebut bahwa di dalam ekosistem perfilman lokal saat ini masih terjadi perbedaan standar kerja. Hal ini, salah satunya disebabkan oleh pola sistem yang diwariskan secara turun temurun. Untuk itu, lanjutnya, perlu ada standar kerja yang jelas guna mendorong operasional kerja para pelaku.
SKKNI juga penting untuk melindungi para sineas dengan lebih baik serta sebagai standar kompetensi di tengah persaingan industri yang makin ketat. Pasalnya, saat ini tak sedikit rumah produksi yang membuat karya layar lebar bekerja sama dengan para pelaku film luar negeri. Tak hanya itu, secara umum sertifikasi juga dapat membuat industri film nasional jadi lebih berdaulat.
Baca juga: Rangkaian Festival Film Indonesia Resmi Dibuka, Usung Tema Citra
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.