Ilustrasi syuting film. (Sumber foto: panitia Hari Film Nasional 2023)

Hypereport: Ketika Insan Perfilman Dituntut Beradaptasi Cepat dengan Lanskap Baru

02 April 2023   |   16:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sineas Indonesia memperingati Hari Film Nasional (HFN) setiap 30 Maret. Ya, setelah lebih dari tujuh dekade perayaan itu berlangsung, industri film Indonesia memang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari sederet film nasional yang laris manis di bioskop.

Bahkan, menurut data filmindonesia.or.id, tiga dari sepuluh film lokal terlaris berhasil diproduksi pada 2022. Salah satunya adalah film KKN di Desa Penari yang ditonton lebih dari 9,2 juta penonton.

Baca juga: 
Hypereport: Menantang Keragaman Genre Film Tanah Air
Hypereport: Ramai-ramai Nonton Film Pendek
Hypereport: Saat Kesuksesan Film Melahirkan Bisnis dari Merchandise hingga Kafe

Namun, di tengah geliat film Indonesia tersebut ekosistem perfilman di Tanah Air juga menghadapi tantangan baru. Salah satunya adalah kecepatan beradaptasi dengan era baru teknologi untuk penonton yang juga baru.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan perkembangan teknologi tidak hanya mengubah cara industri dalam memproduksi film, tapi juga mengubah budaya masyarakat dalam memilah dan menikmati film yang mereka inginkan.

"Perubahan teknologi telah mengubah lanskap kebudayaan kita, bukan hanya perfilman, tapi kebudayaan kita secara mendasar," papar Hilmar Farid belum lama ini dalam rangkaian kegiatan HFN 2023.

Sementara itu, ekosistem perfilman juga mengalami sejumlah masalah yang pelik. Yaitu belum adanya pengakuan negara terhadap profesi baru di Industri film yang diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang perfilman tahun 2019 dan 2020.

Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru mengungkapkan bahwa seiring perkembangan teknologi memang muncul profesi-profesi baru di industri film. Salah satunya adalah writers room, yang di dalamnya ada turunan profesi lain, termasuk penulis dialog, hingga showrunner.

"Sejak kita menyusun standar kompetensi itu, tadinya ada 156 profesi tapi setelah di konvensi kita sepakati yang kita butuhkan cuma 99. Oleh karena itu kita melihat bahwa ini sudah perlu dimasukkan dalam SKKNI yang baru," papar Gunawan saat dihubungi Hyepabis.id, Jumat (24/3/23).

Gunawan mengatakan di ekosistem perfilman pun masih terjadi perbedaan standar kerja. Salah satu penyebabnya adalah pola sistem yang diwariskan turun temurun dari para senior. Oleh karena itu, perlu segera dibuat standar kerja yang jelas agar para sineas mendapat hak yang jelas.

Adapun, saat ini BPI bersama asosiasi profesi terkait tengah menguliti berbagai masalah tersebut. Nantinya mereka akan menyerahkan hasil sarasehan tersebut ke pemerintah agar dibuatkan regulasi yang tepat. Diharapkan berbagai lini di ekosistem perfilman bisa berjalan beriringan.

"Masalah ini yang coba kita buat standarnya juga. BPI berharap itu hal ini pun bisa disepakati setiap pekerja maupun production house untuk menggunakan standar yang sama supaya tidak perlu lagi membuang-buang waktu yang juga merugikan industrinya sendiri," jelas Gunawan.


Proteksi Bagi Sineas

Setali tiga uang, Eric Gunawan dari Persatuan Karyawan Film & Televisi (KFT) menegaskan bahwa SKKNI memang penting. Salah satunya agar para sineas terlindungi secara tepat oleh undang-undang. Tak hanya itu, sertifikasi itu juga dapat membuat industri film nasional jadi lebih berdaulat.

Pasalnya, di tengah persaingan global saat ini juga semakin banyak sineas dari luar negeri yang bekerja di Indonesia. Untuk itu, dia berharap para sineas lokal juga memiliki sertifikat tersebut agar dapat bersaing dengan mereka.

"Semua pekerja film memang diharuskan punya sertifikat ini. Bahkan rumah produksi film nantinya diharuskan untuk mempekerjakan kru yang sudah punya sertifikat. Jadi sertifikat ini memang untuk melindungi persaingan agar lebih sehat," papar Eric.

Adapun, jika hal tersebut sudah terimplementasi, nantinya hak para sineas pun secara otomatis bisa didapat. Salah satunya terkait jaminan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang saat ini sedang diperjuangkan oleh organisasi profesi terkait.

"Namun, organisasi profesi di industri perfilman  juga harus bergerak bareng dan sepakat untuk mengajukan beberapa persoalan yang memang masih belum jelas di dalam perfilman kita [pada pemerintah]," imbuh Eric.

Sementara itu, penulis skenario Damas Cendekia berpendapat, semua tantangan tersebut dapat diatasi jika sistem di industri film sudah berjalan dengan tepat. Pasalnya, di lapangan pun saat ini masih ada beberapa rumah produksi yang menerapkan pola kerja berdasarkan asas perkenalan atau suka sama suka.

Terlebih, pola kerja tersebut sudah berlangsung puluhan tahun di Indonesia, sehingga saat ingin mengubahnya diperlukan proses yang cukup panjang. Selain itu, bakal ada juga yang menjadi korban dalam proses ini kendati tujuan dari sertifikasi adalah untuk mengakomodasi hak para pekerja film.

Baca juga: Hypereport: Menelusuri Kehidupan Perantau di Ibu Kota

"Ini sebenarnya balik lagi ke ekosistem. Misal, pelaku industrinya tidak butuh sertifikat dan dia tahu track record sineas tersebut. Ya udah terjadi kesepakatan kerja di antara mereka. Apalagi sineasnya mau dibayar murah," papar pengajar Film di SAE Indonesia itu.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Natsume Rilis First Look Game Harvest Moon: The Wind of Anthos

BERIKUTNYA

Gagal di MPL ID S11, Benarkah Aura Esports Ganti Nama Jadi ECHO Indonesia?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: