Lokasi Filosofi Kopi di Medan, Sumatra Utara. (Sumber foto: Instagram/Filosofi Kopi)

Hypereport: Saat Kesuksesan Film Melahirkan Bisnis dari Merchandise hingga Kafe

02 April 2023   |   13:19 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Tak sedikit film yang menghentikan langkahnya di seputar industri perfilman saja. Beberapa film terbilang berhasil melakukan monetisasi dengan mengembangkan brand bisnis dengan merek dagang yang sama. Karya sinema acap kali disebut sebagai sarana promosi yang populer dalam memperkenalkan brand bisnis lain.

Brand bisnis ini lahir dari kekayaan intelektual yang menjadi produk turunan dari suatu produk lainnya, termasuk film. Terpopuler di jagat industri film superhero, Marvel menjadi salah satu di antara waralaba yang sukses membuat produk turunan seperti merchandise resmi mulai dari kostum, mainan, dekorasi rumah, dan lainnya.

Lebih besar lagi, raksasa hiburan Disney sukses mengerjakan bisnis lainnya yang sukses. Disney juga pemilik waralaba Marvel Cinematic Universe yang produk turunannya saja sudah laris manis. Belum lagi Disney yang memiliki taman hiburan dan bermain bernama Disneyland yang kini ada di Tokyo, Shanghai, Hongkong, dan lainnya.

Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Menantang Keragaman Genre Film Tanah Air
2. Hypereport: Ramai-ramai Nonton Film Pendek


Statista menyebutkan, waralaba Disney mendapatkan total pendapatan US$3,19 miliar selama 2022. Semua kesuksesan Disney sebagai raksasa waralaba industri ini dimulai dari sebuah produksi serial animasi Alice Comedies pada 1923.


Warisan Warkop DKI 

Jejak itu mulai dilirik banyak insan perfilman di seluruh dunia. Indonesia pun tak mau kalah. Deretan sutradara dan produser berbakat mencoba menjajal film dengan produk turunan bisnis lainnya. Salah satunya adalah Warkop DKI Reborn yang disutradarai oleh Anggy Umbara.

Kepada Hypeabis.id, Anggy membagikan sekelumit tantangan membuat film yang mengarah pada kekayaan intelektual yang lebih dahulu ada. “Waktu itu ketemu mas Indro, tadinya mau membuat remake tapi akhirnya kita memutuskan untuk melakukan reborn,” ujarnya ketika dihubungi Hypeabis.id.
 

 
Menurutnya, ada hal yang berbeda konsep reborn dibanding remake. Reborn menonjolkan karakter baru dalam semangat yang sama. Saat menggarap Warkop DKI Reborn, Anggy berfokus optimis jika konsep reborn dari kelompok komedi ini akan disukai. Optimisme itu terbukti dengan keberhasilan Warkop DKI Reborn yang mendapat respon positif dari penggemarnya.
 
Jauh sebelum diramu oleh Anggy, nama Warkop DKI sudah lebih dahulu mentereng sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk menyajikan film baru yang mengemban nama serupa menjadi lebih segar. 

Menurut Anggy, sejak awal Warkop DKi sudah diinisiasikan sebagai produk kreatif atau kekayaan intelektual yang berpotensi menjadi inti bisnis untuk eskplorasi yang lebih luas di luar film.  Tentu tak mudah membuat film yang dari awal ditujukan untuk memperluas turunan produk kekayaan intelektual.

Anggy menemui tantangan untuk memenuhi ekspektasi dari brand yang sudah lebih dahulu tenar sehingga dia memutar otak mencari ide kreatif untuk menjaga kualitas dan nama Warkop DKI. Walaupun dihujani tantangan ekspektasi, sutradara kelahiran 1980 itu menjelaskan keuntungan jika sebuah film dibuat dari produk kekayaan intelektual yang sudah tenar.

“Keuntungannya adalah kita menggarap produk lain yang sudah lebih dahulu dikenal, sudah ada engagement dan awareness sehingga tersosialisasi dengan baik ke masyarakat,” jelas Anggy.
 

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1. (Sumber foto: Falcon Pictures)

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1. (Sumber foto: Falcon Pictures)

Dibuatnya Warkop DKI Reborn menjadi inovasi baru dari produk turunan yang membawa nama Warkop DKI. Bisa dikatakan, ini sebuah langkah memodernisasi Warkop DKI old school dengan cerita yang fresh.

Soal tepat atau tidaknya konsep itu, Anggy menjelaskan bahwa semua kembali ke strategi penguatan brand. Bagaimana sebuah produk mendapatkan strategi promosi yang tepat di samping kualitasnya yang memang harus dijaga.
 
Hubungan film dan brand bisnis turunan kerap disebut saling mengait. Bukan tak mungkin, film yang tidak memiliki kelanjutan seri atau cerita akan menyurutkan pasar di brand bisnis lainnya juga. Namun Anggy lebih melihat hal ini sebagai fluktuasi yang bisa berubah-ubah.

“Mungkin itu lagi enggak bagus aja momentumnya atau kurang tepat distribusinya aja. Kapan saja itu dibuat  dengan strategi yang lebih baik, kemungkinan untuk mengembalikan kesuksesan brand bisnis akan tetap ada," katanya.


Dari Cerita Pendek hingga Waralaba Kedai Kopi

Keberhasilan film lainnya dalam brand bisnis juga dituai Filosofi Kopi. Film yang rilis pada 2015 ini disebut membawa atmosfer positif di industri kopi mulai dari komoditas hingga pekerja barista. Di balik kesuksesan film tersebut, ada campur tangan Handoko Hendroyono, salah satu produser Filosofi Kopi yang menggarap film ini bersama Angga Dwimas Sasongko, Anggia Kharisma, dan mendiang Glenn Fredly.
 
Handoko menyebut, proses inisiasi ide untuk membuat Filosofi Kopi ini dimulai pada 2014. Kala itu, Handoko memang ini membuat film berbasis kekayaan intelektual dengan cara mengalihwahanakan novel ke film. Menariknya lagi, proses pengalihwahanaan itu turut menelurkan brand kedai kopi dengan nama yang sama.
 
 

“Tujuan kita ingin mempraktekkan sesuatu yang memiliki nilai dari  disiplin kekayaan intelektual. Kita mengembangkan produk merchandising, apparel, dan produk turunan lainnya mulai dari kopi sampai produk sederhana lainnya seperti tas dan sepatu,” kata Handoko kepada Hypeabis.id.
 
Ditanyai mengenai kesuksesan Filosofi Kopi, Handoko menyebut tak pernah menjamin sejak awal jika film itu turut menelurkan brand bisnis lainnya. Berangkat dari optimisme dan mengikuti tren kenaikan soal kopi, momentum lah yang menjadi kunci penting di balik kesuksesan berbagai brand Filosofi Kopi.
 
“Waktu itu kami tidak terlalu percaya diri kalau hanya membawa ini dalam film, karena itu kami sertai juga dengan kedai kopi. Di saat yang sama, film dan keduanya menuai respon positif karena ikut mengumpulkan semangat barista dan kedai kopi artisan,” tambahnya.
 
Pemahaman akan ekosistem menjadi tantangan utama dalam melihat peluang disiplin produk turunan dari kekayaan intelektual. Untuk membuka kedai kopi, mereka juga tidak setengah-setengah. Filosofi Kopi dioperasikan layaknya kedai kopi kenamaan dengan standar bisnis food and beverages.

Menurut Handoko pendekatannya jelas berbeda dengan pengembangan film, tapi kemampuan untuk mengembangkan bisnis lain dari berbagai disiplin inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi insan film.
 
Meskipun film akrab sebagai wahana promosi, sebetulnya ada banyak cara untuk mendorong bisnis lain di mata Handoko. Film hanya merupakan satu diantara strategi promosi. “Kuncinya ada di perkembangan ekosistem, jika sudah berkembang maka bisa melalui apapun tidak hanya film saja,” katanya.
 
Namun dia tak menampik jika film menjadi ajang promosi bagi produk kekayaan intelektual di era modern. Selebihnya, menurut handoko, mesin utama pendapatan bukan lagi datang dari filmnya.

“Walaupun yang terlihat filmnya, sebetulnya film menjadi pendorong untuk produk kekayaan intelektual dikenal, Sisanya, sesuai dengan cara dan  berhubungan dengan kekuatan distribusi, kekuatan jaringan dan kekuatan akses ke pasar dari produk turunan itu sendiri,” tutup Handoko.

Baca juga: Acara Refleksi Legenda Film Komedi Bahas Unsur Satire atau Humor Kritis dalam Film Warkop DKI

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Jeon Doyeon Bertransformasi Jadi Pembunuh Bayaran, Intip Sinopsis Kill Boksoon

BERIKUTNYA

Natsume Rilis First Look Game Harvest Moon: The Wind of Anthos

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: