Resensi Zine Mancis Vol.1: Jejak Darah, Upaya Memantik Kembali Api Cerita-cerita Misteri
18 March 2024 |
17:00 WIB
Kali pertama melihat zine ini akan diterbitkan baNaNa dan Studio Batu, pikiran yang muncul adalah publik bakal membaca kumpulan cerita-cerita misteri. Namun, nyatanya penulis kecele. Mancis mampu melampaui apa yang ada di bayangan. Edisi perdana ini menampung 'jejak darah' sastra Indonesia, baik yang di luar dan yang di pusat.
"Salam Jrezz!" Itulah kalimat awal yang menandai sambutan tim redaksi yang ingin memantik kembali percakapan tema detektif dan kriminalitas di Tanah Air. Sebab, kelindan itu bisa ditarik hingga dekade 1904, saat koran Bintang Hindia menerbitkan cerita bersambung terjemahan A Study in Scarlet, karya Arthur Conan Doyle.
Masa itu terus berlanjut. Popularitas cerita detektif terus meningkat, baik saat masa pendudukan Jepang, atau setelah kemerdekaan RI. Arkian, generasi 90-an awal kelak mengenal nama-nama seperti Suparto Brata, Njoo Cheong Seng, Hino Minggo, Suripto Puterajaya, Arswendo Atmowiloto, S. Mara Gd, dan yang lain.
Baca juga: Resensi Buku Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto, Sekelumit Kisah Berlatar Jepang yang Asyik Diikuti
Secara umum, Mancis mengajak pembaca untuk mengungkai lagi, masa-masa klangenan, atau memberi referensi baru. Misalnya, orang yang tidak tahu menahu soal Imung, karakter detektif cilik buah tangan dari Arswendo, bisa langsung merasuk ke dalam esai berjudul "Si Cerdik Itu Bernama Imung", yang ditulis oleh Ardi Yunanto (hlmn,23).
Sosok Imung yang keluar dari 'kelaziman' Orba sebagai anak yang ditinggal sang ibu dan memiliki koreng di lutut, fragmen-fragmennya berhasil dibedah oleh Ardi dengan mangkus. Sepintas membaca esai ini juga mengingatkan pada ulasan Eka Kurniawan soal novel Six Balax karya Hino Minggo yang susah sekali dicari di pasaran.
Ada lagi Budi Warsito yang melakukan riset untuk mencari Bandit-bandit dalam "Syair Lagu Indonesia" (hlmn,37). Kendati tidak mampu mengalahkan buku asal Slovakia berjudul Zbojnícke piesne slovenského ?udu (1963) yang berisi 700 lagu setempat tentang bandit, tapi upayanya menguliti Benyamin S.hingga Remy Sylado patut diacungi jempol.
Bahkan, penulis Trocoh (2021) itu berhasil merangkum setidaknya tujuh judul lagu tentang Kusni Kasdut, sosok bromocorah legendaris Indonesia. Misalnya dari Gombloh Lemon Tree's Anno 69 berjudul Nyanyian Anak Seorang Pencuri (1980), atau Eloi! Lama Sabactani (1980) dari band INPRES1/V/'80, kelimun mahasiswa ITB yang albumnya kemudian diberangus Pangkopkamtib.
Namun, alih-alih hanya bertolak ke masa silam, zine dengan semangat korek api ini juga menghadirkan cerita-cerita seru dengan berbagai pendekatan. Misalnya lewat cerpen "Merunut Pencuri Kancut" (hlmn,50) karya Hartari, komik dunia kriminal humor bertajuk "Titik Buta" (hlmn, 66) karya Gata Guruh Mahardika, hingga resensi ciamik tentang film noir DEADWIND (KARPPI) berjudul "Api Tasdik di Kemuraman Nordik", dari Ardyan M. Erlangga.
Sayembara juga dilakukan untuk memunculkan karya-karya baru seperti dalam cerpen "Buron" (hlmn,88) karya Mashdar Zainal. Kendati begitu yang cukup asyik membawa pembaca masuk ke cerita adalah cerpen dari Martin Suryajaya, "Teka-teki Hilangnya Anto Labil" (hlmn,104) yang mengingatkan pembaca akan pola-pola gaya penulisan Afrizal Malna, meski tema serupa juga sudah dieksplorasi oleh Martin lewat Kiat Sukses Hancur Lebur (2016).
Selain penulis di muka, kasus-kasus dari zine ini juga diramaikan oleh Azhari Aiyub lewat "Kacamata Selam" (hlmn, 4) yang menurut pembaca ceritanya nanggung. Ada pula cerpen "Lingerie" (hlmn, 45) yang mencoba mendedah ketabuan gender dengan pendekatan cerita detektif, di mana persona utamanya seorang Resmob perempuan yang menyelidiki motif pembunuhan yang dilakukan oleh sang kekasih.
Cerita yang memiliki porsi paling 'kenyang' tentu saja dari Yusi Avianto berjudul "Tak (Ada) Mayat Dilla di Kalibata" (hlmn, 12). Ada pula esai Eka Kurniawan "Kaptin Umar Bey dan Perbanditan Sebelum Petrus" (hlmn,77) yang meneroka bahwa dunia perbanditan adalah masalah struktural bak benang kusut, yang jika ditarik dari satu sisi akan membuatnya semakin kusut.
Tanpa mengesampingkan Joko Pinurbo, dengan puisinya "Penembakan di Pagi Hari" (hlmn,71), dan esai dari Agus Mulyadi,
"Humor yang Menyusupi Horor" (hlmn,59), zine ini layak dibaca oleh penikmat misteri.
Selain ringan dan memberi wacana baru, sejumlah ilustrasi dari Wulang Sunu juga membuat Mancis jadi makin estetik. Hadirnya TTS dan iklan yang persuasif juga memberi warna dari tersendiri dari zine ini. Demikian adanya.
Data Buku
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
"Salam Jrezz!" Itulah kalimat awal yang menandai sambutan tim redaksi yang ingin memantik kembali percakapan tema detektif dan kriminalitas di Tanah Air. Sebab, kelindan itu bisa ditarik hingga dekade 1904, saat koran Bintang Hindia menerbitkan cerita bersambung terjemahan A Study in Scarlet, karya Arthur Conan Doyle.
Masa itu terus berlanjut. Popularitas cerita detektif terus meningkat, baik saat masa pendudukan Jepang, atau setelah kemerdekaan RI. Arkian, generasi 90-an awal kelak mengenal nama-nama seperti Suparto Brata, Njoo Cheong Seng, Hino Minggo, Suripto Puterajaya, Arswendo Atmowiloto, S. Mara Gd, dan yang lain.
Baca juga: Resensi Buku Kakek dalam Kucing-kucing Takamoto, Sekelumit Kisah Berlatar Jepang yang Asyik Diikuti
Secara umum, Mancis mengajak pembaca untuk mengungkai lagi, masa-masa klangenan, atau memberi referensi baru. Misalnya, orang yang tidak tahu menahu soal Imung, karakter detektif cilik buah tangan dari Arswendo, bisa langsung merasuk ke dalam esai berjudul "Si Cerdik Itu Bernama Imung", yang ditulis oleh Ardi Yunanto (hlmn,23).
Sosok Imung yang keluar dari 'kelaziman' Orba sebagai anak yang ditinggal sang ibu dan memiliki koreng di lutut, fragmen-fragmennya berhasil dibedah oleh Ardi dengan mangkus. Sepintas membaca esai ini juga mengingatkan pada ulasan Eka Kurniawan soal novel Six Balax karya Hino Minggo yang susah sekali dicari di pasaran.
Ada lagi Budi Warsito yang melakukan riset untuk mencari Bandit-bandit dalam "Syair Lagu Indonesia" (hlmn,37). Kendati tidak mampu mengalahkan buku asal Slovakia berjudul Zbojnícke piesne slovenského ?udu (1963) yang berisi 700 lagu setempat tentang bandit, tapi upayanya menguliti Benyamin S.hingga Remy Sylado patut diacungi jempol.
Bahkan, penulis Trocoh (2021) itu berhasil merangkum setidaknya tujuh judul lagu tentang Kusni Kasdut, sosok bromocorah legendaris Indonesia. Misalnya dari Gombloh Lemon Tree's Anno 69 berjudul Nyanyian Anak Seorang Pencuri (1980), atau Eloi! Lama Sabactani (1980) dari band INPRES1/V/'80, kelimun mahasiswa ITB yang albumnya kemudian diberangus Pangkopkamtib.
Namun, alih-alih hanya bertolak ke masa silam, zine dengan semangat korek api ini juga menghadirkan cerita-cerita seru dengan berbagai pendekatan. Misalnya lewat cerpen "Merunut Pencuri Kancut" (hlmn,50) karya Hartari, komik dunia kriminal humor bertajuk "Titik Buta" (hlmn, 66) karya Gata Guruh Mahardika, hingga resensi ciamik tentang film noir DEADWIND (KARPPI) berjudul "Api Tasdik di Kemuraman Nordik", dari Ardyan M. Erlangga.
Sayembara juga dilakukan untuk memunculkan karya-karya baru seperti dalam cerpen "Buron" (hlmn,88) karya Mashdar Zainal. Kendati begitu yang cukup asyik membawa pembaca masuk ke cerita adalah cerpen dari Martin Suryajaya, "Teka-teki Hilangnya Anto Labil" (hlmn,104) yang mengingatkan pembaca akan pola-pola gaya penulisan Afrizal Malna, meski tema serupa juga sudah dieksplorasi oleh Martin lewat Kiat Sukses Hancur Lebur (2016).
Selain penulis di muka, kasus-kasus dari zine ini juga diramaikan oleh Azhari Aiyub lewat "Kacamata Selam" (hlmn, 4) yang menurut pembaca ceritanya nanggung. Ada pula cerpen "Lingerie" (hlmn, 45) yang mencoba mendedah ketabuan gender dengan pendekatan cerita detektif, di mana persona utamanya seorang Resmob perempuan yang menyelidiki motif pembunuhan yang dilakukan oleh sang kekasih.
Cerita yang memiliki porsi paling 'kenyang' tentu saja dari Yusi Avianto berjudul "Tak (Ada) Mayat Dilla di Kalibata" (hlmn, 12). Ada pula esai Eka Kurniawan "Kaptin Umar Bey dan Perbanditan Sebelum Petrus" (hlmn,77) yang meneroka bahwa dunia perbanditan adalah masalah struktural bak benang kusut, yang jika ditarik dari satu sisi akan membuatnya semakin kusut.
Tanpa mengesampingkan Joko Pinurbo, dengan puisinya "Penembakan di Pagi Hari" (hlmn,71), dan esai dari Agus Mulyadi,
"Humor yang Menyusupi Horor" (hlmn,59), zine ini layak dibaca oleh penikmat misteri.
Selain ringan dan memberi wacana baru, sejumlah ilustrasi dari Wulang Sunu juga membuat Mancis jadi makin estetik. Hadirnya TTS dan iklan yang persuasif juga memberi warna dari tersendiri dari zine ini. Demikian adanya.
Data Buku
- Judul: Mancis, Vol.01 Jejak Darah
- Penulis: Abi Ardianda, Agus Mulyadi, Adi Yunanto, Ardyan M. Erlangga, Azhari Aiyub, Budi Warsito, Eka Kurniawan, Gatar Guruh Mahardika, Hartari, Joko Pinurbo, Martin Suryajaya, Mashdar Zainal, Yusi Avianto Pareanom.
- Desain Cover: Wulang Sunu
- Tahun Terbit: Februari 2024
- Jumlah Halaman: 118 halaman
- Penerbit: baNaNa dan Studio Batu
- ISBN:978-623-88459-5-8
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.