Ambil Latar Orba, Novel Anak-anak Gerhana Yusi Avianto Pareanom Siap Diterbitkan
07 July 2024 |
15:30 WIB
Penikmat karya-karya sastra terbitan baNANA sepertinya siap semringah tahun ini. Penulis Yusi Avianto Pareanom mengungkap karya terbarunya, Anak-anak Gerhana, akan segera terbit. Novel ini mendedah pengalaman anak-anak yang lahir pada dekade 70-an di zaman Orde Baru berkuasa.
Momen tersebut terungkap dalam acara bincang karya Anak-anak Gerhana, yang menjadi bagian dari Festival Patjarmerah Kecil, di Pos Bloc, Jakarta, Sabtu (6/7/24). Diskusi ini menghadirkan panelis Nezar Patria, Olive Hateem, Theoresia Rumthe, dan penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, itu.
"Buku ini mengungkai pengalaman generasi kami. Irisannya cukup banyak, yaitu tentang anak-anak yang lahir pada dekade 60 sampai 70-an awal yang dididik untuk patuh. Latarnya dimulai dari fenomena Gerhana Matahari pada Juni 1983," tuturnya.
Baca juga: Produser Mira Lesmana Bicara Film Keluarga yang Relate di Patjarmerah Kecil
Nezar Patria, yang sudah disodorkan beberapa bab dari naskah tersebut mengungkap, Anak-anak Gerhana merupakan novel yang menarik. Sebab, sang penulis berhasil mengambil 'celah' yang belum banyak diungkai oleh para penulis di Tanah Air dengan riset yang cukup mendalam.
Aktivis yang sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia itu sudah membaca sepertiga dari buku tersebut. Dari pembacaan skimming, menurutnya sang penulis berhasil meramu tegangan-tegangan sosial yang ada saat itu dengan narasi dan deskripsi yang menakjubkan.
Dia menjelaskan, Yusi berhasil mengambil snapshot pada dekade 1960-an, dan memulainya dengan operasi rahasia penembakan misterius (Petrus). Adegan tersebut menurutnya cukup menarik, di mana terdapat dua-tiga aparat yang bertugas untuk menembak para gerombolan anak liar (Gali) di daerah Semarang.
"Yusi berhasil meramu antara yang fiksi dan yang nyata. Petrus merupakan kejadian yang fenomenal terutama di Semarang, Yogya. Ini merupakan bentuk teror yang membuat kejahatan turun drastis, tapi perlu dipertanyakan HAM-nya," tutur penulis Sejarah Mati di Kampung Kami, itu.
Lebih lanjut, dia mengungkap sang penulis juga berhasil membawa pembaca pada sebuah dunia yang 'lain'. Sebab Yusi berhasil memotret jagat batin dari karakter-karakter yang ada di dalam novel. Kekuatan dari buku ini adalah bagaimana sang pengarang mampu mendeskripsikan serta menarasikan peristiwa yang dicampur dengan sains.
Nezar mengatakan, karena baru membaca sepertiga bagian, dia belum bisa menangkap hubungan antara fragmen-fragmen yang ingin dibagikan sang pengarang. Namun, lewat pengambilan latar fenomena Gerhana Matahari, yang dijadikan alat propaganda Orde Baru, Yusi seolah ingin memberi suasana 'kontras' pada pembaca.
"Walaupun ini fiksi, ini dusta yang meyakinkan. Yusi juga menghadirkan kosakata yang ada pada masa itu dengan sangat kaya. Misalnya boksen yang berarti tinju. Ada juga duane atau bea cukai," imbuhnya.
Senada, Olive Hateem, penulis yang lahir pada dekade 2000-an mengaku sangat tertarik terhadap buku Anak-anak Gerhana. Kendati dia tidak mengalami masa-masa Orde Baru, penulis Sorge, itu sangat menikmati apa yang disajikan oleh sang pengarang, meski sesekali harus membuka kamus karena ada banyak istilah yang dia belum tahu.
"Setelah membaca kurang lebih 70 halaman, aku sebenarnya ingin bertanya apakah salah satu karakter dalam novel ini penjelmaan dari si penulis sendiri atau bukan? Tapi sepertinya memang harus dibaca secara tuntas," katanya.
Baca juga: Sisi Lain Wajah Jakarta Dikupas Menarik di Festival Patjarmerah Kecil
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Momen tersebut terungkap dalam acara bincang karya Anak-anak Gerhana, yang menjadi bagian dari Festival Patjarmerah Kecil, di Pos Bloc, Jakarta, Sabtu (6/7/24). Diskusi ini menghadirkan panelis Nezar Patria, Olive Hateem, Theoresia Rumthe, dan penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, itu.
"Buku ini mengungkai pengalaman generasi kami. Irisannya cukup banyak, yaitu tentang anak-anak yang lahir pada dekade 60 sampai 70-an awal yang dididik untuk patuh. Latarnya dimulai dari fenomena Gerhana Matahari pada Juni 1983," tuturnya.
Baca juga: Produser Mira Lesmana Bicara Film Keluarga yang Relate di Patjarmerah Kecil
Nezar Patria, yang sudah disodorkan beberapa bab dari naskah tersebut mengungkap, Anak-anak Gerhana merupakan novel yang menarik. Sebab, sang penulis berhasil mengambil 'celah' yang belum banyak diungkai oleh para penulis di Tanah Air dengan riset yang cukup mendalam.
Aktivis yang sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia itu sudah membaca sepertiga dari buku tersebut. Dari pembacaan skimming, menurutnya sang penulis berhasil meramu tegangan-tegangan sosial yang ada saat itu dengan narasi dan deskripsi yang menakjubkan.
Dia menjelaskan, Yusi berhasil mengambil snapshot pada dekade 1960-an, dan memulainya dengan operasi rahasia penembakan misterius (Petrus). Adegan tersebut menurutnya cukup menarik, di mana terdapat dua-tiga aparat yang bertugas untuk menembak para gerombolan anak liar (Gali) di daerah Semarang.
"Yusi berhasil meramu antara yang fiksi dan yang nyata. Petrus merupakan kejadian yang fenomenal terutama di Semarang, Yogya. Ini merupakan bentuk teror yang membuat kejahatan turun drastis, tapi perlu dipertanyakan HAM-nya," tutur penulis Sejarah Mati di Kampung Kami, itu.
Lebih lanjut, dia mengungkap sang penulis juga berhasil membawa pembaca pada sebuah dunia yang 'lain'. Sebab Yusi berhasil memotret jagat batin dari karakter-karakter yang ada di dalam novel. Kekuatan dari buku ini adalah bagaimana sang pengarang mampu mendeskripsikan serta menarasikan peristiwa yang dicampur dengan sains.
Nezar mengatakan, karena baru membaca sepertiga bagian, dia belum bisa menangkap hubungan antara fragmen-fragmen yang ingin dibagikan sang pengarang. Namun, lewat pengambilan latar fenomena Gerhana Matahari, yang dijadikan alat propaganda Orde Baru, Yusi seolah ingin memberi suasana 'kontras' pada pembaca.
"Walaupun ini fiksi, ini dusta yang meyakinkan. Yusi juga menghadirkan kosakata yang ada pada masa itu dengan sangat kaya. Misalnya boksen yang berarti tinju. Ada juga duane atau bea cukai," imbuhnya.
Senada, Olive Hateem, penulis yang lahir pada dekade 2000-an mengaku sangat tertarik terhadap buku Anak-anak Gerhana. Kendati dia tidak mengalami masa-masa Orde Baru, penulis Sorge, itu sangat menikmati apa yang disajikan oleh sang pengarang, meski sesekali harus membuka kamus karena ada banyak istilah yang dia belum tahu.
"Setelah membaca kurang lebih 70 halaman, aku sebenarnya ingin bertanya apakah salah satu karakter dalam novel ini penjelmaan dari si penulis sendiri atau bukan? Tapi sepertinya memang harus dibaca secara tuntas," katanya.
Baca juga: Sisi Lain Wajah Jakarta Dikupas Menarik di Festival Patjarmerah Kecil
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.