Taufiq Rahman (Sumber foto: Dok. Pribadi)

Wawancara Khusus Founder Elevation Records Taufiq Rahman: Layanan Streaming Enggak Adil Buat Musisi

26 February 2023   |   15:57 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Industri musik dunia terus berkembang. Namun, riuh-rendah musik seringkali tidak memihak pada musisi-musisi cergas yang berada di arus pinggir. Dari sinilah akhirnya muncul sederet indi label yang mencoba melawan arus utama dominasi musik, salah satunya Elevation Records.

Indi label yang digawangi oleh penulis musik Taufiq Rahman ini pun terus melawan dominasi platform musik digital, yang saat ini kian masif. Berdiri pada 2012, lewat kecintaannya terhadap musik, label eklektik ini pun tetap konsisten memperkenalkan band-band anti mainstream, seperti Semakbelukar, Bandempo, dan Sajama Cut.

Baca juga: Warna Musik Makin Variatif, Musisi Sayangkan Indonesia Justru Defisit Grup Band

Lantas, sikap dan misi apa yang ingin label ini gaungkan ke publik setelah lebih dari satu dekade berkiprah di segmen pasar rekaman fisik?  Dihubungi Hypeabis.id  beberapa waktu lalu, Taufik berbagi pandangannya tentang gagasan berdirinya label tersebut, serta situasi pasar musik yang dianggap belum fair. 

Bagaimana Anda melihat perkembangan musik di Indonesia saat ini?

Sebenarnya kalau kita bicara musik, mainstream, indi, atau yang tidak mainstream pun sudah sangat ramai. Mereka berkembang dengan cepat, mulai dari underground, independen, indi, hip hop indie, metal. Mereka semua berkembang dengan sangat pesat.

Namun, sekarang semua ini kan semua bermuara di internet, yang dirilis dalam format streaming. Bahkan, ada pula yang merasa baru punya dua lagu, lalu cukup dimasukkan di platform streaming atau bikin video klip saja sudah, selesai. Jadi, banyak yang bisa dirayakan tapi, engagement atau tangibility-nya enggak ada.

Memang, kami merasa ini terlalu idealis, karena orang mendengarkan musik kan cuma buat menghilangkan rasa bosan atau atau jadi background noise. Namun, buat orang yang menganggap musik menjadi kegiatan serius, seharusnya bermusik pun harus dikerjakan dalam format dan cara serius juga.

Bisa dijelaskan latar belakang berdirinya Elevation, kegelisahan apa yang ingin disampaikan kepada penikmat musik di Tanah Air?

Awal berdirinya Elevation Records itu 2012, saat musik itu mulai kehilangan nilai atau harganya karena ada streaming services. Jadi waktu itu masih ada itunes, Apple music, tapi Spotify belum seramai sekarang. Namun, kami merasa bahwa jangan-jangan bisa ada masalah dengan format ini, dan hal itu terbukti sekarang. Ketika musik dilayani oleh streaming, akhirnya seniman atau musisinya enggak dapat rezeki yang sesuai dengan peran mereka.

Tak hanya itu, mendengarkan musik juga bukan menjadi hal serius lagi, karena ketika ada platform streaming semua bisa dimainkan.Cukup dengar 10 detik sudah, dan ganti ke track yang lain. Jadi, misi kami itu untuk merilis, mendengarkan, dan menikmati musik dalam formatnya yang fisik, terutama vinil.
 
Rilis pertama Elevation Records itu vinil band indi Jakarta, The Osaka Journals. Memang, dari awal ini ditujukan agar musik dapat didengarkan dalam format yang paling baiklah menurut kami. Namun, tentu saja ada format lain, seperti kaset, CD.  Jadi, setelah itu kita banyak merilis album Indonesia, lama dan baru dalam format vinil.

Elevation juga membawahi penerbitan Elevation Books, apa yang ingin dikobarkan lewat penerbitan buku-buku seputar musik?

Penerbit buku secara umum itu kan sudah banyak sekali, dengan menerbitkan buku-buku yang membahas tema sejarah, makanan, politik dan yang lain. Nah, yang kami lihat ini belum banyak yang menerbitkan buku tentang sejarah, apresiasi, dan kritik musik.

Jadi, kami fokus mengenai tulisan-tulisan tentang musik sejak 2016, dan salah satu produknya seri C45 itu buku khusus yang membahas satu album, mengenai sejarah maupun penilaian kritik terhadap suatu album.

Menurut Anda, apakah dengan munculnya Kios Ojo Keos, Post Santa dan yang lain, juga turut menyemarakkan geliat musik arus pinggir itu?

Terus terang kita senang dengan munculnya tempat itu. Kami juga punya kerja sama dengan mereka. Misalnya kami menerbitkan buku dan mereka menampilkannya di Post Santa, dan bikin acara untuk merilisnya di sana. Atau dengan Ojo Keos, kami juga mau bikin album baru dan bakal rilis di sana.

Intinya, tempat itu kan simpul-simpul kerja sama, yang tetap membuat musik dan dunia tulis menulis di Indonesia itu tetap menarik. Jadi, enggak melulu tentang artis besar atau penulis besar saja. Pasalnya, seniman yang kecil-kecil ini juga perlu dikasih tempat atau panggung juga.

Bagaimana Anda melihat dominasi label mayor di Indonesia saat ini?

Sebenarnya kalau bicara mayor, minor itu enggak terlalu relevan lagi. Pasalnya, terakhir 2004-2005 waktu masih ada Padi & Sheila On 7, tampaknya dominasi terakhir major label. Setelah itu hampir sama aja pembagiannya.

Sebab, banyak juga artis yang sekarang besar, Tulus misalnya, dia bisa juga disebut sebagai artis major, tapi secara teknik dia berangkat dari indi. Ada juga The Sigit yang juga band besar, tapi enggak berangkat dari major label. Seharusnya, yang relevan dalam pembicaraan kita saat ini adalah budaya arus utama.

Apa yang ada di televisi dan diberitakan oleh media mainstream, memberi ruang pada nama-nama yang lebih familiar. Namun, di sisi yang lain itu kan ada juga nama-nama yang lebih kecil yang cuma dikenal oleh niche audience saja.  Alhasil, hanya nama-nama besar inilah yang menguasai ranah kebudayaan kita.

Mengenai vinil, kenapa Elevation memilih rilis fisik dalam format tersebut, apa yang menjadi tolok ukurnya?

Sebenarnya, kami menganggap banyak album musisi indi di Indonesia yang namanya tidak cukup dikenal,tetapi layak untuk dirilis dalam format vinil. Format ini sebenarnya enggak terlalu istimewa juga, karena di luar negeri mau indi atau mainstream itu mengeluarkan vinil.

Namun, di Indonesia ini jadi mahal atau terlihat prestisius. Sebab mencetak piringan hitamnya harus di luar negeri, dengan proses cukup lama dan bujet cukup mahal. Kendati begitu, kami dari awal udah yakin bahwa artis-artis kecil pun juga layak dirilis dalam format vinil.  Tentu dengan kurasi musik yang menurut kami bagus. Kendati begitu, sejak 2020 kami fokus untuk melihat ke belakang, dengan menerbitkan album-album lawas. 

Beberapa di antaranya adalah abum Rotor (1992), trilogi album Gombloh. Sekarang kami juga lagi mengerjakan album Orkes Melayu Kelana Ria (1961-64). Album terakhir inilah yang kelak menjadi blueprint untuk musik Melayu di Indonesia, serta bertransformasi menjadi musik dangdut. Album itu kami sedang remastered audionya, dan akan kami rilis dalam tahun ini atau tahun depan. Selain itu, ada juga album psikedelik Rock Panbers.
 

(Sumber gambar: Dok. Pribadi)

(Sumber gambar: Dok. Pribadi)

Mungkin, secara sadar kami juga mulai melihat ke belakang, dengan merilis ulang musik-musik klasik masterpiece sambil tetap merilis musik-musik baru dari generasi muda . Dari kalangan itu, tahun lalu kami merilis album perlawanan dari artis Gowa, Sindikat Egrek Merah yang membuat album instrumental menangani perampasan lahan sawit di Sumatra Kalimantan.

Sebagai penikmat vinil, apa keistimewaan dari rilisan fisik ini dibanding dengan medium lainya, termasuk kaset atau CD?

Sebenarnya, kalau Anda tidak punya pemutar vinil, amplifier, dan speaker yang bagus itu sama aja. Sebab, media ini menuntut speaker bagus dan mahal. Jadi kalau bujetnya minim terus mendengarnya dari portable atau turntable, hal itu enggak ada gunanya. Hasilnya enggak maksimal. Kalau mau jujur CD itu sebenarnya format suara yang paling oke kualitas audionya.

Namun, kenapa saya memilih vinil? Hal itu bukan soal kualitas suaranya, melainkan soal ownership, kepemilikan atas musik.  Bahwa musik itu menuntut perhatian kita, atau secara khusus ada ritual di dalamnya. Sebab, bagi orang yang menghargai musik, ritual itu penting, yang tidak bisa didapatkan dengan mencet tombol play di Spotify.

Tak hanya itu, ini juga bentuk apresiasi dan penghargaan bahwa musik itu sekitar empat puluh tahun lalu itu adalah sesuatu yang penting, serta harus dinikmati secara serius. Namun, setelah ada CD, dan era digital akhirnya membuatnya jadi mudah untuk didengarkan, dan dengan kemudahan itu musik jadi enggak ada harganya.

Misal, kalau Anda tanya musisi yang lagunya diputar di Spotify, untuk dapat pemasukan US$1 itu mungkin perlu 1.600 play sehari. Bayangkan, kalau artis indi atau kecil yang sehari mungkin cuma diputar sehari 16 kali, kapan mereka bisa dapat pemasukan?  

Jadi, ketika musik masuk ke internet, bukan hanya estetikanya berkurang, tapi nilai monetisasinya pun berkurang. Selain itu, antidot atau reaksi yang paling baik untuk melawan itu adalah dengan merilis vinil, baik dari proses pembuatan maupun proses menikmatinya.
 

(Sumber gambar: Dok. Pribadi)

(Sumber gambar: Dok. Pribadi)

Apakah di era digital ini memang sudah tidak ada harapan lagi bagi musisi untuk mendapatkan keuntungan?

Kalau kita hanya bergantung dari streaming saya kira enggak ada harapan. Sebab bisnis model ini adalah menjual volume dari miliaran track dari seluruh dunia. Namun, siapa yang paling banyak diputar? Tetap saja Pink Floyd, Taylor Swift, dan nama-nama besar lain.  

Tentu, dengan kondisi ini maka  delapan puluh persen uangnya ya masuk ke nama-nama besar itu saja. Buat artis indi yang sehari cuma tiga sampai empat kali diputar sampai lebaran haji atau tahun monyet, mereka enggak akan dapat US$10.

Jadi, kondisi musik ketika hanya bertumpu pada streaming itu kayak kondisi masyarakat saat ini, ada yang super kaya, kaya, dan super miskin. Sebab bisnis modelnya itu encourage volume. Hal itu yang akhirnya membuat kondisi yang bisa dikatakan tidak adil antara musisi besar dan kecil kalau bisnis modelnya masih seperti sekarang.

Gerakan yang dilakukan teman-teman Elevation merupakan salah satu bentuk perlawanan untuk hal-hal itu?

Hal ini lebih dari sekedar melawan dalam arti sikap yang tidak adil ya. Namun, buat musisi-musisi indi di seluruh dunia (terutama Amerika) menjual vinil itu bisa membantu pemasukan besar. Sebab, saat ada yang beli vinil itu ada uang yang langsung dibawa oleh band.

Selain itu, margin dari jualan vinil itu masih cukup kalau mereka  bisa menjual 500-1000 kopi untuk membayar ongkos rekaman. Tentu hal ini akan berbeda jika dijual di Spotify, terlebih jika mereka artis indi yang pendengarnya terbatas. Jadi, tidak hanya perlawanan secara simbolis tapi perlawanan ekonomi itu bisa diwujudkan dengan jalan jualan vinil, kaos, CD, dan kaset yang ada uangnya secara langsung.

Berbicara mengenai musik selera musik, kenapa musisi-musisi yang 'bagus' selalu berada di arus pinggir sebagaimana ditulis dalam daftar buku This Album Could be Your Life: 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955 - 2015

Kalau soal bagus, baik dan buruk itu kan terus terang agak subjektif dan ini perdebatan yang klasik. Namun, kita punya kesepakatan, bahwa memang ada banyak album yang bagus tapi orang enggak peduli aja. Di situ ada banyak faktor, misalnya musiknya secara esoterik bagus tapi enggak dapat eksposure, atau bagus tapi enggak ditulis. Makanya tugas kritikus musik, dan jurnalis itu kan menemukan sesuatu hal dan mengabarkannya.

Nah, kalau kritikus dan wartawan itu hanya fokus sama musisi besar saja, akhirnya kan bias, atau merugikan musisi-musisi yang kecil ini. Pasalnya,  musik itu mau bagus atau jelek dan dikenal publik itu kan kalau enggak ditulis media, atau nggak dibicarakan  atau diapresiasi orang enggak bisa jadi bagus nantinya.  Selain itu, musisi juga perlu berjejaring agar karya mereka bisa dikenal khalayak.

Jadi, musik jelek atau bagus itu enggak ada sebenarnya, karena hal itu semua konstruksi sosial. Adalah dia bisa jadi bagus atau jelek karena dibicarakan, hal itu aja sebenarnya. Namun, ada juga yang dibicarakan kualitasnya yang jelek. Problem ini juga yang gagal dipahami masyarakat dengan mempersepsikan ketika dibicarakan di mana-mana, dan viral akhirnya dianggap bagus. Padahal, belum tentu dia bagus beneran.

Ketika teman-teman Elevation menyusun buku 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955 – 2015, apakah ada kemungkinan juga posisi pemenangnya akan bergeser dengan munculnya band-band baru di Indonesia?

Pasti, karena kami enggak bisa mengatakan baik dan buruk, karena tergantung dari siapa preferensi yang mengatakannya. Jangankan di Indonesia, majalah album Rolling Stones di Amerika saja pernah membuat buku 500 allbum terbaik sepanjang masa.Hal itu kan lebih monumental lagi, milihnya lebih susah. Dengan melibatkan konsultan dan juri yang dirilis 2004.

Namun pada 2020, semua daftar itu direvisi, sehingga ada sekitar 50-60 album yang dikeluarkan dari situ. Jika dirujuk, di daftar buku yang lama itu kan album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band (The Beatles)  jadi pemenangnya, tapi di daftar terbaru itu dimenangkan oleh album What's Going On (Marvin Gaye).

Daftar yang baru itu juga mencerminkan kondisi sosial pasca gerakan Black Lives Matter. Saat itu di Afrika ada kesadaran baru, yaitu ketika ada daftar musik terbaik sepanjang masa, tapi dimenangkan orang kulit putih dari Inggris yang sudah dapat privilese.

Dari sinilah juri akhirnya memikirkan bahwa musik terbaik itu sebaiknya musik yang diciptakan orang kulit hitam yang menyuarakan kepentingan atau penderitaan mereka. Artinya, pemilihan soal baik-buruk itu ditentukan oleh zamannya. Orang lagi sensitif soal apa secara politis, tergantung masanya dan kontekstual dengan zaman.

Siapa musisi Indonesia yang potensi ke depannya?

Jujur, saya sebenarnya tidak mengikuti perkembangan musik sekarang karena fokus ke belakang. Namun dari yang sering dibicarakan itu ada Kuntari, atau Gowa itu, yang merupakan nama samaran dari pemain keyboard band metal asal Jakarta, Amerta. Walaupun saya tidak mengikuti secara penuh, tapi cukup mengikuti mana yang bagus dan independen tentu saja.

Baca juga: Alunan Sejarah Musik Jazz, dari Afro-Amerika di New Orleans untuk Dunia
 
Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

5 Alasan Menarik Nonton Suzume no Tojimari, Tayang di Bioskop 8 Maret 2023

BERIKUTNYA

4 Fakta Menarik Danau Toba yang Jadi Tempat Kejuaraan Dunia F1 Powerboat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: