Wawancara Khusus Sutradara Makbul Mubarak, Merayakan Ketakutan Tanpa Hantu
05 February 2023 |
20:17 WIB
1
Like
Like
Like
Ketakutan dan kekuasaan berhubungan sangat dekat. Konsep inilah yang melahirkan salah satu film terbaik Indonesia pada 2022, Autobiography. Sutradara Makbul Mubarak mengemas alur cerita film yang diakuinya sangat personal dan mengeksplorasi kesenyapan yang menyesakkan.
Autobiography merupakan debut film panjang sutradara Makbul Mubarak. Sebelumnya, pria kelahiran Tolitoli, Sulawesi Tengah itu adalah kritikus film yang beralih menjadi pembuat film pendek.
Baca juga: 5 Fakta yang Mungkin Kalian Belum Tahu soal Film Autobiography Karya Sutradara Makbul Mubarak
Makbul telah menyutradarai beberapa film pendek seperti The Dog's Lullaby (2016), Malediction (2017), dan A Plastic of Tea Before Her (2018). Film pendek garapannya yang berjudul Ruah (2017) berhasil mengantarkannya memenangkan Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2017.
Genre suspense-thriller memang masih jarang disematkan di film Indonesia. Kalah pamor dengan genre horor yang sama-sama mengeksplorasi ketakutan. Pada dasarnya, kedua genre ini memiliki kemiripan, sama-sama membuat penonton atau pembaca ceritanya ketakutan atau bergidik ngeri.
Satu hal yang memisahkan suspense-thriller dengan genre thriller lainnya adalah tokoh utamanya. Suasana mencekam tak mesti harus berlumuran darah, sebuah suspense- thriller yang mencekam akan dinilai dari bagaimana tokoh utama melihat kebenaran dari suatu peristiwa atau kejadian. Semakin intens, semakin baik.
Makbul tampaknya tidak main-main dalam memainkan genre suspense-thriller yang menjadi kekuatan dari Autobiography. Seakan tak mau membuang waktu penonton. Penuh tanda-tanda dan simbol, film ini bisa jadi surga bagi para pemburu semiotika.
Sedari awal, Autobiography menyapa sinema dengan gelap lewat sapuan gambar yang intens ditambah dengan minimnya latar suara. Dengan suasana menegangkan dan meneror, seolah emosi yang dirasakan oleh pemain sampai kepada penonton. Mulai dari pemilihan lensa kamera untuk pengaburan gambar yang mampu merekam suasana dan ruang dari cerita filmnya, menambah kesan cekaman yang mencekik.
Sangat menarik mengamati karakter Rakib yang dimainkan oleh Kevin Ardilova, membangun ketegangan yang digambarkan secara perlahan. Sosok si kecil yang pendiam, polos, dan bisa dibilang penakut ini diam-diam menyimpan gejolak tanda bahaya dalam pikirannya.
Kamera bergerak penuh arti dengan penataan gerak tubuh yang sangat cermat dan ekspresi Kevin mendorong cerita lebih dalam dan personal. Kejiwaan dan ketidakstabilan mental karakter memang menjadi komponen utama dalam genre ini.
Sampai alasan mengapa Makbul memilih Bojonegoro, Jawa Timur sebagai lokasi syuting Autobiography. Menurutnya, Bojonegoro adalah salah satu daerah di Indonesia yang cenderung memiliki kondisi cuaca panas, sehingga mampu mendukung suasana yang coba dibangun dalam film.
Ditemui Hypeabis.id secara daring pada akhir Januari 2023, alumnus dari dari Berlinale Talents dan Asian Film Academy ini berbagi pemikirannya mengenai simbol dan isu sosial pada Autobiography, obsesi pada akting serta inspirasinya dalam menciptakan film. Berikut kutipan wawancara lengkapnya.
Autobiography sepertinya true story movie dengan genre suspense-thriller, ide cerita muncul dari mana? Dari mana pula datangnya dialog-dialog yang terasa begitu mendalam dan mengena itu?
Suspense menawarkan ketegangan, dan sumber inspirasinya berasal dari hidup saya. Sebenarnya dari kecil saya dirundung sama orang yang lebih gede. Kadang mikir, kok saya ga bisa melawan ya? Beberapa ingatan soal itu saya masih ingat sampai sekarang.
Film ini sebenarnya pengalaman personal dan sangat dekat. Dari situ saya merasa jangan-jangan konsep ketakutan dan kekuasaan berhubungan sangat dekat. Saya lalu menggunakan genre suspense yang menawarkan ketegangan itu dan menghubungkannya dengan tema kekuasaan.
Baca juga: Review Autobiography, Saat Sisi Tergelap Manusia Terkuak
Kalau dari sisi dialog, saya berusaha membuat film dengan dialog yang simpel tapi bermakna banyak. Penonton bisa merasakan rasa yang berbeda-beda.
Kalau yang menonton trailer di film ada dialog “Siapa bilang saya minum kopi?”. Dari dialog yang sederhana itu penonton bisa merasakan lain-lain arti, misal dialog antara bapak dan anak, pertunjukan kekuasaan, menindas, dan lain-lain terserah penonton menerjemahkannya.
Bagaimana proses kreatif Autobiography? Anda kabarnya memberlakukan jam kerja maksimal 12 jam sehari ya? Lalu membutuhkan berapa lama sampai film ini layak tayang?
Ketika saya menulis skenario, saya enggak mau membuang waktu satu detik pun dari penonton. Sebenarnya yang lama adalah untuk menyempurnakan naskah yang butuh tiga tahun dan revisi 13 kali. Sedangkan untuk syuting hanya membutuhkan waktu 41 hari.
Kami ingin membuat lingkungan kerja yang sehat. Selama ini kan industri film terkenal dengan jam kerja syuting yang panjang, dari subuh hingga ke subuh. Alhasil banyak yang kapok kerja di film. Kami ingin di film ini kru dan pemain istirahat dan diskusi.
Produser mba Yulia Evina Bhara memutuskan syuting dengan jam kerja maksimal 12 jam sehari. Teman-teman sepulang syuting bisa berenang, menelepon anak, diskusi, nongkrong, meski nongkrongnya dihotelnya karena sedang PPKM.
Autobiography mendapat pendanaan (funding) dari beberapa pihak. Bisa diceritakan mengenai hal tersebut?
Dari awal memang kami bikin film dengan cara yang berbeda. Bukan hanya mengandalkan kolaborasi dari lokal saja, tapi internasional. Sebenarnya kita memikirkan beberapa hal, yaitu kolaborasi pendanaan dan SDM/kru.
Jadi tidak hanya uangnya yang nyampur-nyampur dari Prancis, Jerman, Filipina, Polandia, Swiss, Thailand, Singapura, Swiss. Krunya juga kita ambil dari negara-negara tersebut. Misalnya di Autobiography, sinematografer kita dari Polandia, Editor dari Filipina, Penata Suara dari Prancis dan Brasil, dan Penataan Warna dari kru Prancis.
Alasan lainnya untuk kolaborasi ini adalah memperluas jenis penonton jadi film tidak hanya diputar di bioskop indonesia. Bukan hanya film asing yang masuk ke sini, bagaimana caranya dengan skema ini kita mengeksplor pasar asing. Tidak hanya jago di kandang, film Indonesia juga bisa jadi produk global.
Pada 2022, kita fokus ke festival, kita keliling memutarkan film Autobiography di 5 benua dan 29 festival. Respons global memang sangat bagus dengan mendapat 36 nominasi dan 18 penghargaan dalam waktu 3,5 bulan.
Nah, pada tahun ini baru Autobiography fokus di bioskop. Bila Januari kita keliling bioskop Indonesia, bulan ini kita akan menjajaki luar negeri dengan tayang perdana di Santa Barbara Internasional Film Festival, Amerika, Kita memiliki agen penjualan berbasis di Paris yang akan membantu untuk mendistribusikan film Autobiography. Disinilah pentingnya kolaborasi dengan banyak pihak, tak melulu bergerak sendiri.
Baca juga: Film Autobiography Sabet Penghargaan Golden Hanoman, Cek Daftar Lengkap Pemenang JAFF 2022
Setidaknya, Autobiography telah mengoleksi 18 penghargaan dalam hanya beberapa bulan dari berbagai festival film. Membanggakan sekali ya sepertinya?
Terkejut-kejut. Hal yang paling tidak menyangka (mendapat penghargaan) di negara-negara yang jauh, seperti negara Swedia, Maroko. Apa hubungannya Indonesia dengan Maroko, kok mereka bisa relate sama film Indonesia. Saya pun senang. Surprise. Jadi cukup jelas bukan cerita dari Amerika yang bisa dipasarkan di global. Cerita Indonesia juga bisa bila dikemas dengan serius.
Apa pertimbangan memilih aktor yang main di Autobiography?
Tokoh utamanya menjanjikan. Sebelumnya Kevin Ardilova yang memerankan Rakib memang sudah main di beberapa film tapi tidak menjadi peran utama. Saya melihat dia berbakat, intens dan dapat memunculkan karakter berubah-ubah dalam film.
Biasanya yang bisa memainkan peran itu senior yang sudah syuting bertahun-tahun. Nah, dia baru 22 tahun tapi bisa memainkan peran dengan sangat baik.
Sedang Arswendy Bening Swara sudah berakting 40 tahunan, sehingga sudah matang dan bisa memainkan peran karakter Purna dengan sangat intens. Ada juga Yusuf Mahardika, aktor cilik yang terkenal dengan Madun, bertransformasi menjadi aktor berkualitas bisa dibilang rising star juga .
Dalam penggarapan Autobiography, saya mencari aktor-aktor yang memiiliki intensitas karena filmnya harus sangat intens dan mencekam.
Baca juga: Sosok Ayah Jadi Inspirasi Sutradara Makbul Mubarak Angkat Film Autobiography
Setuju jika Autobiography disebut mematok standar baru untuk film Indonesia?
Saya rasa kalau disebut sebagai standar baru mungkin tidak ya, karena kami bukan film yang pertama yang mencoba ke distribusi global. Ada banyak film Indonesia yang sudah menjajaki itu. Tapi jarang sekali di film pertama.
Biasanya berani masuk ke pasar global di film keempat atau kelima karena sutradaranya sudah dikenal. Ini bisa menjadi standar baru bagi film maker debutan. Untuk teman-teman yang baru bikin film jangan berkecil hati, yang penting film dibuat dengan sabar, tekun, dan detail.
Sekarang mari bicara ke film sebelumnya, Ruah. Film ini bicara soal poligami, bagaimana produksinya?
Memang pada tahun-tahun itu isu-isu mengenai peran lelaki di keluarga seperti poligami muncul lagi. Lalu banyak muncul diskursus dari teman-teman perempuan mengenai kesetaraan gender.
Sebenarnya perjuangan ini bukan hanya di kalangan feminis atau perempuan, laki-laki juga harus mempertanyakan posisi mereka sendiri, jangan jadi sumber masalah terus. Namun apapun isunya, diskusi harus balance.
Ruah melihat ketimpangan ini dari sudut pandang laki-laki. Secara dari film making, sebenarnya saya waktu itu sedang ingin lebih mengeksplorasi genre fantasi. Sedang dari prosesnya tidak terlalu sulit karena kami mendapat dukungan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta lewat program dana istimewa.
Bahagianya, Ruah berhasil meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2017 untuk Film Pendek Terbaik, lalu mendapat predikat Special Mention di Festival Film Internasional Singapura. Bisa dibilang, Ruah ini merupakan peneguh batin saya, dari film ini mempengaruhi saya untuk mendapat kepercayaan diri membuat film panjang.
Bila bisa menilai diri sendiri, Anda itu tipe sutradara yang bagaimana?
Saya suka bekerja dengan aktor. Nomor satu yang saya perhatikan dalam pembuatan film adalah akting. Kemudian sangat menyenangkan bila aktor yang main di film bisa menang bahkan pertama kaliny dalam hidupnya.
Misal, Kevin yang baru pertama kali menjadi nominasi Piala Citra dan menjadi Aktor Pilihan Tempo 2022, Mas Arswendy yang menang Best Actor di marrakech International Film Festival, Nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik di FFI 2022, dan Aktor Pendukung Pilihan Tempo 2022.
Jadi kami senang bahwa fokus kami di aktor juga membuahkan hasil. Bukan hanya filmnya tapi dalam karier aktor tersebut. Mungkin saya bisa dibilang sangat terobsesi dengan akting. Menurut saya film itu kalau kita peraya pada aktornya, pasti penonton akan hanyut.
Apakah jumlah penonton film merupakan hal penting bagi Anda?
Kalau menurut saya, bukan jumlah penonton yang penting tapi kualitas koneksi dengan penonton. Kedalaman konektivitas dengan penontonya itu mungkin yang paling penting. Tentu senang bila penontonnya banyak. Akan tetapi kuantitas itu bukan segalanya bagi film-film seperti Autobiography ini.
Kami menargetkan penonton bisa pulang dengan perasaan-perasaan baru, mereka terhubung secara mendalam bukan hanya sekedar menonton film. Di mana orang setelah nonton masih mendiskusikan film ini, menulis tentang film hingga mengajak temannya untuk menonton. Jadi intinya, ingin membangun hubungan yang bermakna dengan penonton ketimbang melulu soal angka-angka.
Kalau itu tercapai mungkin kami merasa sudah berhasil membuat film. Namun, bila penontonnya banyak ya balik lagi ke terkejut-kejut tadi.
Latar belakang Anda sebagai kritikus film, hingga akhirnya memproduksi film. Bagaimana itu berguna dan titik awalnya?
Sebenarnya membuat film dan mengkritisi film adalah dua kemampuan yang berbeda. Menjadi kritikus film itu mengomentari film yang sudah jadi dan membantu menjembatani film dengan penonton. Sedangkan membuat film itu bagaimana memulai sesuatu dari yang enggak ada apa-apa, cuma ide-ide dalam kepala menjadi karya.
Namun kalau ditanya membantu tentu sangat membantu. Terutama dalam sisi network, jejaring, karena saya sudah kenal beberapa orang ketika mau membuat film sudah dalam ekosistem perfilman tersebut.
Yang terakhir, menjadi kritikus itu harus menonton banyak film yang juga membantu untuk aware dengan film seperti apa yang beredar dan tren dunia sedang kemana.
Untuk proyek film panjang berikutnya akan ada eksperimen baru lagi? Apakah Anda saat ini sedang dalam menulis atau proses development film cerita panjang terbaru? Kalau ada, genre dan temanya apa?
Saya suka menonton film menegangkan seperti varian suspense psychological triller yang belum terlalu banyak di Indonesia. Film yang saya kembangkan berikutnya ini nantinya memiliki tone yang serupa seperti Autobiography namun lebih dalam berkembang. Sejauh ini lagi nulis-nulis dan mengembangkan tokohnya.
Boleh tahu film favorit Anda yang menjadi inspirasi sampai sekarang dalam berkarya? Sebagai penulis skenario, ada naskah film orang lain yang menjadi favorit?
Kalau film yang saya suka banyak ya. Namun ada beberapa film yang saya nonton bila sedang kehilangan semangat atau lagi butek banget akan saya tonton balik film itu. Rata-rata film ini lawas klasik dan black & white movies.
Mungkin bisa jadi referensi bagi penikmat film ya. Di Hollywood dekade terbaik film 40-50an layak dipelajari ya. Beberapa favorit saya antaranya film On The Waterfront dari Amerika yang diperankan Marlon Brando, The Night of the Hunter, Il Grido (Antonioni), dan The Headless Woman (Argentina). Kalau lokal saya suka film 80-an berjudul Titian Serambut Dibelah Tujuh.
Sedang untuk naskah, salah satu favorit saya adalah naskah film Fargo yang menjadi pemenang Piala Oscar 1997. Untuk penulis naskah, saya mengidolakan Oleg Negin yang berasal dari Rusia, dan Asrul Sani.
Baca juga: Intip Cerita Sutradara Makbul Mubarak Bawa Autobiography ke Festival Film Dunia
Editor: Dika Irawan
Autobiography merupakan debut film panjang sutradara Makbul Mubarak. Sebelumnya, pria kelahiran Tolitoli, Sulawesi Tengah itu adalah kritikus film yang beralih menjadi pembuat film pendek.
Baca juga: 5 Fakta yang Mungkin Kalian Belum Tahu soal Film Autobiography Karya Sutradara Makbul Mubarak
Makbul telah menyutradarai beberapa film pendek seperti The Dog's Lullaby (2016), Malediction (2017), dan A Plastic of Tea Before Her (2018). Film pendek garapannya yang berjudul Ruah (2017) berhasil mengantarkannya memenangkan Piala Citra untuk kategori Film Pendek Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia 2017.
Genre suspense-thriller memang masih jarang disematkan di film Indonesia. Kalah pamor dengan genre horor yang sama-sama mengeksplorasi ketakutan. Pada dasarnya, kedua genre ini memiliki kemiripan, sama-sama membuat penonton atau pembaca ceritanya ketakutan atau bergidik ngeri.
Satu hal yang memisahkan suspense-thriller dengan genre thriller lainnya adalah tokoh utamanya. Suasana mencekam tak mesti harus berlumuran darah, sebuah suspense- thriller yang mencekam akan dinilai dari bagaimana tokoh utama melihat kebenaran dari suatu peristiwa atau kejadian. Semakin intens, semakin baik.
Makbul tampaknya tidak main-main dalam memainkan genre suspense-thriller yang menjadi kekuatan dari Autobiography. Seakan tak mau membuang waktu penonton. Penuh tanda-tanda dan simbol, film ini bisa jadi surga bagi para pemburu semiotika.
Sedari awal, Autobiography menyapa sinema dengan gelap lewat sapuan gambar yang intens ditambah dengan minimnya latar suara. Dengan suasana menegangkan dan meneror, seolah emosi yang dirasakan oleh pemain sampai kepada penonton. Mulai dari pemilihan lensa kamera untuk pengaburan gambar yang mampu merekam suasana dan ruang dari cerita filmnya, menambah kesan cekaman yang mencekik.
Sangat menarik mengamati karakter Rakib yang dimainkan oleh Kevin Ardilova, membangun ketegangan yang digambarkan secara perlahan. Sosok si kecil yang pendiam, polos, dan bisa dibilang penakut ini diam-diam menyimpan gejolak tanda bahaya dalam pikirannya.
Kamera bergerak penuh arti dengan penataan gerak tubuh yang sangat cermat dan ekspresi Kevin mendorong cerita lebih dalam dan personal. Kejiwaan dan ketidakstabilan mental karakter memang menjadi komponen utama dalam genre ini.
Sampai alasan mengapa Makbul memilih Bojonegoro, Jawa Timur sebagai lokasi syuting Autobiography. Menurutnya, Bojonegoro adalah salah satu daerah di Indonesia yang cenderung memiliki kondisi cuaca panas, sehingga mampu mendukung suasana yang coba dibangun dalam film.
Ditemui Hypeabis.id secara daring pada akhir Januari 2023, alumnus dari dari Berlinale Talents dan Asian Film Academy ini berbagi pemikirannya mengenai simbol dan isu sosial pada Autobiography, obsesi pada akting serta inspirasinya dalam menciptakan film. Berikut kutipan wawancara lengkapnya.
Autobiography sepertinya true story movie dengan genre suspense-thriller, ide cerita muncul dari mana? Dari mana pula datangnya dialog-dialog yang terasa begitu mendalam dan mengena itu?
Suspense menawarkan ketegangan, dan sumber inspirasinya berasal dari hidup saya. Sebenarnya dari kecil saya dirundung sama orang yang lebih gede. Kadang mikir, kok saya ga bisa melawan ya? Beberapa ingatan soal itu saya masih ingat sampai sekarang.
Film ini sebenarnya pengalaman personal dan sangat dekat. Dari situ saya merasa jangan-jangan konsep ketakutan dan kekuasaan berhubungan sangat dekat. Saya lalu menggunakan genre suspense yang menawarkan ketegangan itu dan menghubungkannya dengan tema kekuasaan.
Baca juga: Review Autobiography, Saat Sisi Tergelap Manusia Terkuak
Kalau dari sisi dialog, saya berusaha membuat film dengan dialog yang simpel tapi bermakna banyak. Penonton bisa merasakan rasa yang berbeda-beda.
Kalau yang menonton trailer di film ada dialog “Siapa bilang saya minum kopi?”. Dari dialog yang sederhana itu penonton bisa merasakan lain-lain arti, misal dialog antara bapak dan anak, pertunjukan kekuasaan, menindas, dan lain-lain terserah penonton menerjemahkannya.
Bagaimana proses kreatif Autobiography? Anda kabarnya memberlakukan jam kerja maksimal 12 jam sehari ya? Lalu membutuhkan berapa lama sampai film ini layak tayang?
Ketika saya menulis skenario, saya enggak mau membuang waktu satu detik pun dari penonton. Sebenarnya yang lama adalah untuk menyempurnakan naskah yang butuh tiga tahun dan revisi 13 kali. Sedangkan untuk syuting hanya membutuhkan waktu 41 hari.
Kami ingin membuat lingkungan kerja yang sehat. Selama ini kan industri film terkenal dengan jam kerja syuting yang panjang, dari subuh hingga ke subuh. Alhasil banyak yang kapok kerja di film. Kami ingin di film ini kru dan pemain istirahat dan diskusi.
Produser mba Yulia Evina Bhara memutuskan syuting dengan jam kerja maksimal 12 jam sehari. Teman-teman sepulang syuting bisa berenang, menelepon anak, diskusi, nongkrong, meski nongkrongnya dihotelnya karena sedang PPKM.
Autobiography mendapat pendanaan (funding) dari beberapa pihak. Bisa diceritakan mengenai hal tersebut?
Dari awal memang kami bikin film dengan cara yang berbeda. Bukan hanya mengandalkan kolaborasi dari lokal saja, tapi internasional. Sebenarnya kita memikirkan beberapa hal, yaitu kolaborasi pendanaan dan SDM/kru.
Jadi tidak hanya uangnya yang nyampur-nyampur dari Prancis, Jerman, Filipina, Polandia, Swiss, Thailand, Singapura, Swiss. Krunya juga kita ambil dari negara-negara tersebut. Misalnya di Autobiography, sinematografer kita dari Polandia, Editor dari Filipina, Penata Suara dari Prancis dan Brasil, dan Penataan Warna dari kru Prancis.
Alasan lainnya untuk kolaborasi ini adalah memperluas jenis penonton jadi film tidak hanya diputar di bioskop indonesia. Bukan hanya film asing yang masuk ke sini, bagaimana caranya dengan skema ini kita mengeksplor pasar asing. Tidak hanya jago di kandang, film Indonesia juga bisa jadi produk global.
Pada 2022, kita fokus ke festival, kita keliling memutarkan film Autobiography di 5 benua dan 29 festival. Respons global memang sangat bagus dengan mendapat 36 nominasi dan 18 penghargaan dalam waktu 3,5 bulan.
Nah, pada tahun ini baru Autobiography fokus di bioskop. Bila Januari kita keliling bioskop Indonesia, bulan ini kita akan menjajaki luar negeri dengan tayang perdana di Santa Barbara Internasional Film Festival, Amerika, Kita memiliki agen penjualan berbasis di Paris yang akan membantu untuk mendistribusikan film Autobiography. Disinilah pentingnya kolaborasi dengan banyak pihak, tak melulu bergerak sendiri.
Baca juga: Film Autobiography Sabet Penghargaan Golden Hanoman, Cek Daftar Lengkap Pemenang JAFF 2022
Setidaknya, Autobiography telah mengoleksi 18 penghargaan dalam hanya beberapa bulan dari berbagai festival film. Membanggakan sekali ya sepertinya?
Terkejut-kejut. Hal yang paling tidak menyangka (mendapat penghargaan) di negara-negara yang jauh, seperti negara Swedia, Maroko. Apa hubungannya Indonesia dengan Maroko, kok mereka bisa relate sama film Indonesia. Saya pun senang. Surprise. Jadi cukup jelas bukan cerita dari Amerika yang bisa dipasarkan di global. Cerita Indonesia juga bisa bila dikemas dengan serius.
Apa pertimbangan memilih aktor yang main di Autobiography?
Tokoh utamanya menjanjikan. Sebelumnya Kevin Ardilova yang memerankan Rakib memang sudah main di beberapa film tapi tidak menjadi peran utama. Saya melihat dia berbakat, intens dan dapat memunculkan karakter berubah-ubah dalam film.
Biasanya yang bisa memainkan peran itu senior yang sudah syuting bertahun-tahun. Nah, dia baru 22 tahun tapi bisa memainkan peran dengan sangat baik.
Sedang Arswendy Bening Swara sudah berakting 40 tahunan, sehingga sudah matang dan bisa memainkan peran karakter Purna dengan sangat intens. Ada juga Yusuf Mahardika, aktor cilik yang terkenal dengan Madun, bertransformasi menjadi aktor berkualitas bisa dibilang rising star juga .
Dalam penggarapan Autobiography, saya mencari aktor-aktor yang memiiliki intensitas karena filmnya harus sangat intens dan mencekam.
Baca juga: Sosok Ayah Jadi Inspirasi Sutradara Makbul Mubarak Angkat Film Autobiography
Setuju jika Autobiography disebut mematok standar baru untuk film Indonesia?
Saya rasa kalau disebut sebagai standar baru mungkin tidak ya, karena kami bukan film yang pertama yang mencoba ke distribusi global. Ada banyak film Indonesia yang sudah menjajaki itu. Tapi jarang sekali di film pertama.
Biasanya berani masuk ke pasar global di film keempat atau kelima karena sutradaranya sudah dikenal. Ini bisa menjadi standar baru bagi film maker debutan. Untuk teman-teman yang baru bikin film jangan berkecil hati, yang penting film dibuat dengan sabar, tekun, dan detail.
Sekarang mari bicara ke film sebelumnya, Ruah. Film ini bicara soal poligami, bagaimana produksinya?
Memang pada tahun-tahun itu isu-isu mengenai peran lelaki di keluarga seperti poligami muncul lagi. Lalu banyak muncul diskursus dari teman-teman perempuan mengenai kesetaraan gender.
Sebenarnya perjuangan ini bukan hanya di kalangan feminis atau perempuan, laki-laki juga harus mempertanyakan posisi mereka sendiri, jangan jadi sumber masalah terus. Namun apapun isunya, diskusi harus balance.
Ruah melihat ketimpangan ini dari sudut pandang laki-laki. Secara dari film making, sebenarnya saya waktu itu sedang ingin lebih mengeksplorasi genre fantasi. Sedang dari prosesnya tidak terlalu sulit karena kami mendapat dukungan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta lewat program dana istimewa.
Bahagianya, Ruah berhasil meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2017 untuk Film Pendek Terbaik, lalu mendapat predikat Special Mention di Festival Film Internasional Singapura. Bisa dibilang, Ruah ini merupakan peneguh batin saya, dari film ini mempengaruhi saya untuk mendapat kepercayaan diri membuat film panjang.
Bila bisa menilai diri sendiri, Anda itu tipe sutradara yang bagaimana?
Saya suka bekerja dengan aktor. Nomor satu yang saya perhatikan dalam pembuatan film adalah akting. Kemudian sangat menyenangkan bila aktor yang main di film bisa menang bahkan pertama kaliny dalam hidupnya.
Misal, Kevin yang baru pertama kali menjadi nominasi Piala Citra dan menjadi Aktor Pilihan Tempo 2022, Mas Arswendy yang menang Best Actor di marrakech International Film Festival, Nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik di FFI 2022, dan Aktor Pendukung Pilihan Tempo 2022.
Jadi kami senang bahwa fokus kami di aktor juga membuahkan hasil. Bukan hanya filmnya tapi dalam karier aktor tersebut. Mungkin saya bisa dibilang sangat terobsesi dengan akting. Menurut saya film itu kalau kita peraya pada aktornya, pasti penonton akan hanyut.
Apakah jumlah penonton film merupakan hal penting bagi Anda?
Kalau menurut saya, bukan jumlah penonton yang penting tapi kualitas koneksi dengan penonton. Kedalaman konektivitas dengan penontonya itu mungkin yang paling penting. Tentu senang bila penontonnya banyak. Akan tetapi kuantitas itu bukan segalanya bagi film-film seperti Autobiography ini.
Kami menargetkan penonton bisa pulang dengan perasaan-perasaan baru, mereka terhubung secara mendalam bukan hanya sekedar menonton film. Di mana orang setelah nonton masih mendiskusikan film ini, menulis tentang film hingga mengajak temannya untuk menonton. Jadi intinya, ingin membangun hubungan yang bermakna dengan penonton ketimbang melulu soal angka-angka.
Kalau itu tercapai mungkin kami merasa sudah berhasil membuat film. Namun, bila penontonnya banyak ya balik lagi ke terkejut-kejut tadi.
Latar belakang Anda sebagai kritikus film, hingga akhirnya memproduksi film. Bagaimana itu berguna dan titik awalnya?
Sebenarnya membuat film dan mengkritisi film adalah dua kemampuan yang berbeda. Menjadi kritikus film itu mengomentari film yang sudah jadi dan membantu menjembatani film dengan penonton. Sedangkan membuat film itu bagaimana memulai sesuatu dari yang enggak ada apa-apa, cuma ide-ide dalam kepala menjadi karya.
Namun kalau ditanya membantu tentu sangat membantu. Terutama dalam sisi network, jejaring, karena saya sudah kenal beberapa orang ketika mau membuat film sudah dalam ekosistem perfilman tersebut.
Yang terakhir, menjadi kritikus itu harus menonton banyak film yang juga membantu untuk aware dengan film seperti apa yang beredar dan tren dunia sedang kemana.
Untuk proyek film panjang berikutnya akan ada eksperimen baru lagi? Apakah Anda saat ini sedang dalam menulis atau proses development film cerita panjang terbaru? Kalau ada, genre dan temanya apa?
Saya suka menonton film menegangkan seperti varian suspense psychological triller yang belum terlalu banyak di Indonesia. Film yang saya kembangkan berikutnya ini nantinya memiliki tone yang serupa seperti Autobiography namun lebih dalam berkembang. Sejauh ini lagi nulis-nulis dan mengembangkan tokohnya.
Boleh tahu film favorit Anda yang menjadi inspirasi sampai sekarang dalam berkarya? Sebagai penulis skenario, ada naskah film orang lain yang menjadi favorit?
Kalau film yang saya suka banyak ya. Namun ada beberapa film yang saya nonton bila sedang kehilangan semangat atau lagi butek banget akan saya tonton balik film itu. Rata-rata film ini lawas klasik dan black & white movies.
Mungkin bisa jadi referensi bagi penikmat film ya. Di Hollywood dekade terbaik film 40-50an layak dipelajari ya. Beberapa favorit saya antaranya film On The Waterfront dari Amerika yang diperankan Marlon Brando, The Night of the Hunter, Il Grido (Antonioni), dan The Headless Woman (Argentina). Kalau lokal saya suka film 80-an berjudul Titian Serambut Dibelah Tujuh.
Sedang untuk naskah, salah satu favorit saya adalah naskah film Fargo yang menjadi pemenang Piala Oscar 1997. Untuk penulis naskah, saya mengidolakan Oleg Negin yang berasal dari Rusia, dan Asrul Sani.
Baca juga: Intip Cerita Sutradara Makbul Mubarak Bawa Autobiography ke Festival Film Dunia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.