Yuk Kenalan dengan 5 Karya di Pameran Artina, Sri Astari hingga Putu Sutawijaya
04 January 2023 |
21:00 WIB
Pameran seni kontemporer, Artina, digelar di Gedung Sarinah, Jakarta. Pada edisi perdananya ini, artina mengusung tajuk wastu/loka/kala atau yang berarti wujud/ruang/waktu dengan menampilkan karya partisipan lintas generasi dan disiplin seni, dari berbagai keragaman dalam khazanah budaya Nusantara.
Menggaet 27 seniman dan partisipan, pameran Artina menampilkan sekitar 90 judul karya lintas disiplin seni mulai dari lukisan media campuran (mix media), seni instalasi, seni keramik, patung, dan karya kontemporer lainnya. Mereka di antaranya adalah Asha Smara Darra, Bibiana Lee, Citra Sasmita, Eddy Susanto, Eko Prawoto, Mella Jaarsma, Popok Tri Wahyudi, Putu Sutawijaya, Sri Astari, dan Yani Mariani Sastranegara.
Pameran ini akan berlangsung hingga 19 Februari 2023. Buat Genhype yang ingin mengunjungi pameran Artina, yuk mengenal 5 karya seni yang ditampilkan dalam eksibisi tersebut.
Baca juga: Angkat Budaya Nusantara, Pameran artina Jadi Wajah Seni Rupa Kontemporer Indonesia
Seni instalasi karya mendiang perupa Sri Astari Rasjid ini mengusung tema gender yang selama ini memang lekat dengan karya-karyanya. Buah tangannya mewujud dalam lima instalasi yang berbentuk gaun panjang berwarna perak. Kain terdiri dari busana kebaya dengan rok panjang yang terlihat harmonis, dengan elemen kelopak bunga di dalamnya. Kebaya yang ditampilkan terlihat tegak atau gagah seolah menyiratkan bahwa dalam keanggunan perempuan, terdapat jiwa yang tangguh.
Pemaknaan itu juga kian diperkuat dengan beberapa elemen barang seperti mobil tank, pistol, dan tengkorak yang menjadi simbol pergolakan atau konflik dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa perempuan akan tetap berdiri dengan tegak di tengah segala persoalan dunia.
Karya kolaborasi dua seniman asal Papua, Dicky Takndare dan Albertho Wanma ini berangkat dari cerita rakyat Mairi. Meski begitu, instalasi ini sebenarnya menarasikan situasi aktual di tanah Papua, di mana anak-anak menjadi korban berbagai peristiwa kekerasan dan konflik yang tidak mereka pahami.
Narasi tersebut tampak pada tokoh anak kecil yang menjadi sentralitas dalam karya tersebut. Figur anak-anak digambarkan terkungkung dalam sebuah bingkai besi merah, meski mereka tetap berusaha bersuara yang disimbolkan dengan elemen megafon.
Dalam membuat karyanya, duo seniman tersebut terinspirasi dari pengalaman masa kanak-kanak mereka, yang coba dikomparasikan dengan dunia dan pengalaman anak-anak masa kini. Dari hasil pengamatan keduanya, dia melihat ada banyak ironi dalam dunia anak-anak saat ini, mulai dari perang, penyakit, dan berbagai ketakutan yang mewarnai masa kecil mereka.
Seni di Papua, dalam hal ini, mewakili bagian dari sejarah-sejarah yang seringkali tak terlihat dan tak terdiskusikan oleh karena masih dominannya Jawa-sentrisme dalam praktik seni rupa Indonesia.
Menggaet 27 seniman dan partisipan, pameran Artina menampilkan sekitar 90 judul karya lintas disiplin seni mulai dari lukisan media campuran (mix media), seni instalasi, seni keramik, patung, dan karya kontemporer lainnya. Mereka di antaranya adalah Asha Smara Darra, Bibiana Lee, Citra Sasmita, Eddy Susanto, Eko Prawoto, Mella Jaarsma, Popok Tri Wahyudi, Putu Sutawijaya, Sri Astari, dan Yani Mariani Sastranegara.
Pameran ini akan berlangsung hingga 19 Februari 2023. Buat Genhype yang ingin mengunjungi pameran Artina, yuk mengenal 5 karya seni yang ditampilkan dalam eksibisi tersebut.
Baca juga: Angkat Budaya Nusantara, Pameran artina Jadi Wajah Seni Rupa Kontemporer Indonesia
1. Armors for the Soul - Sri Astari Rasjid
Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta
Pemaknaan itu juga kian diperkuat dengan beberapa elemen barang seperti mobil tank, pistol, dan tengkorak yang menjadi simbol pergolakan atau konflik dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa perempuan akan tetap berdiri dengan tegak di tengah segala persoalan dunia.
2. Little Footsteps - Dicky Takndare & Albertho Wanma
Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta
Narasi tersebut tampak pada tokoh anak kecil yang menjadi sentralitas dalam karya tersebut. Figur anak-anak digambarkan terkungkung dalam sebuah bingkai besi merah, meski mereka tetap berusaha bersuara yang disimbolkan dengan elemen megafon.
Dalam membuat karyanya, duo seniman tersebut terinspirasi dari pengalaman masa kanak-kanak mereka, yang coba dikomparasikan dengan dunia dan pengalaman anak-anak masa kini. Dari hasil pengamatan keduanya, dia melihat ada banyak ironi dalam dunia anak-anak saat ini, mulai dari perang, penyakit, dan berbagai ketakutan yang mewarnai masa kecil mereka.
Seni di Papua, dalam hal ini, mewakili bagian dari sejarah-sejarah yang seringkali tak terlihat dan tak terdiskusikan oleh karena masih dominannya Jawa-sentrisme dalam praktik seni rupa Indonesia.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.