Efek Kasus Ginjal Akut pada Anak, Pembuatan Obat Sirop Jadi Lebih Ketat
20 December 2022 |
15:22 WIB
Tiga bulan lalu, dunia kesehatan Indonesia dikejutkan dengan kemunculan kasus gagal ginjal akut misterius pada anak usia 6 bulan hingga 18 tahun. Peningkatan kasus itu membuat Kemenkes saat itu mengambil langkah cepat, yakni obat sirop sempat dilarang dijual.
Penelitian berlanjut, kemudian ditemukan ada obat sirop yang tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol (EG dan DEG). Ada enam perusahaan farmasi yang ditarik izin edar obat siropnya oleh BPOM.
Baca juga: Kasus Gangguan Gagal Ginjal Akut Pada Anak di Indonesia Mulai Menurun
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Tirto Koesnadi mengatakan bahwa kasus cemaran obat sirop merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam industri farmasi Indonesia.
Industri yang sudah berdiri sejak 40 tahun lalu itu selama ini selalu memproduksi obat-obatan dengan aman. Bahkan, industri farmasi nasional memproduksi 90 persen total volume obat nasional, seperti tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai obat lainnya.
Menurut Tirto, hal itu menunjukkan mayoritas kualitas sistem produksi industri farmasi dan sistem pengawasan dari BPOM sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, kemudian ada penyebab spesifik yang membuat adanya pencemaran sirop.
Baca juga: Khawatir Terkena Gagal Ginjal Akut? Perkuat Daya Tahan Tubuh Anak
Tirto mengatakan, pengawasan BPOM juga termasuk yang sangat ketat di ASIA. Sebab, BPOM masuk ke dalam Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) dan telah menerapkan aturan yang mengacu pada standar internasional.
Di sisi lain, industri farmasi nasional juga sudah melakukan produksi sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Dia berharap permasalahan cemaran obat sirop tidak terulang kembali di masa mendatang. Adapun, pihak yang salah mesti mendapatkan sanksi atau hukuman dan yang melakukan penipuan juga ikut dijerat.
“Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Sangat disayangkan sekali, karena perjuangan para perusahaan farmasi sangat mematuhi ketentuan dan peraturan yang ada,” ujar Tirto dalam Bincang Pagi: Kembalinya Obat Sirop yang Hilang, Jangan ada EG/DEG di Antara Kita, di Jakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi mengatakan penyebab munculnya cemaran di obat sirop bukan terjadi karena sistem kerja yang salah. Menurut Elfiano, hal ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan sistemik.
Namun, Elfiano menyebut penyebab pertama adalah adanya oknum yang memanfaatkan celah untuk menipu. Oknum tersebut ialah supplier bahan kimia.
Elfiano mengatakan pemasok tersebut memberikan bahan kimia pelarut yang tidak aman. Hal itu kemudian tidak disadari oleh sejumlah perusahaan farmasi di Indonesia.
Padahal, di atas kertas, transaksi di antara perusahaan farmasi dan supplier tersebut sudah menggunakan bahan kimia pelarut yang aman. Namun, ternyata isi di dalamnya berbeda dengan yang tertulis di kertas tersebut.
Elfiano mengatakan penyebab kedua ialah tidak adanya metode pemeriksaan zat EG/DEG pada obat sirop jadi. Akan tetapi, di standar internasional pun, tidak ada metode pemeriksaan obat sirop jadi.
Akhirnya, setelah munculnya kasus ini, kini stakeholder terkait langsung bergerak cepat dan memperbaiki hal tersebut. Elfiano mengatakan sekarang ini bahkan diharuskan 2 kali screening, yakni pada awal pembelian bahan kimia pelarut dan di akhir sebelum produk dipasarkan ke masyarakat.
Baca juga: Tetap Waspada, Ini Fase Anak Mengalami Gagal Ginjal Akut yang Harus Segera Ditangani Dokter
Editor: Dika Irawan
Penelitian berlanjut, kemudian ditemukan ada obat sirop yang tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol (EG dan DEG). Ada enam perusahaan farmasi yang ditarik izin edar obat siropnya oleh BPOM.
Baca juga: Kasus Gangguan Gagal Ginjal Akut Pada Anak di Indonesia Mulai Menurun
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Tirto Koesnadi mengatakan bahwa kasus cemaran obat sirop merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam industri farmasi Indonesia.
Industri yang sudah berdiri sejak 40 tahun lalu itu selama ini selalu memproduksi obat-obatan dengan aman. Bahkan, industri farmasi nasional memproduksi 90 persen total volume obat nasional, seperti tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai obat lainnya.
Menurut Tirto, hal itu menunjukkan mayoritas kualitas sistem produksi industri farmasi dan sistem pengawasan dari BPOM sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, kemudian ada penyebab spesifik yang membuat adanya pencemaran sirop.
Baca juga: Khawatir Terkena Gagal Ginjal Akut? Perkuat Daya Tahan Tubuh Anak
Tirto mengatakan, pengawasan BPOM juga termasuk yang sangat ketat di ASIA. Sebab, BPOM masuk ke dalam Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) dan telah menerapkan aturan yang mengacu pada standar internasional.
Di sisi lain, industri farmasi nasional juga sudah melakukan produksi sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Dia berharap permasalahan cemaran obat sirop tidak terulang kembali di masa mendatang. Adapun, pihak yang salah mesti mendapatkan sanksi atau hukuman dan yang melakukan penipuan juga ikut dijerat.
“Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Sangat disayangkan sekali, karena perjuangan para perusahaan farmasi sangat mematuhi ketentuan dan peraturan yang ada,” ujar Tirto dalam Bincang Pagi: Kembalinya Obat Sirop yang Hilang, Jangan ada EG/DEG di Antara Kita, di Jakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif GPFI Elfiano Rizaldi mengatakan penyebab munculnya cemaran di obat sirop bukan terjadi karena sistem kerja yang salah. Menurut Elfiano, hal ini tidak bisa dianggap sebagai kesalahan sistemik.
Namun, Elfiano menyebut penyebab pertama adalah adanya oknum yang memanfaatkan celah untuk menipu. Oknum tersebut ialah supplier bahan kimia.
Elfiano mengatakan pemasok tersebut memberikan bahan kimia pelarut yang tidak aman. Hal itu kemudian tidak disadari oleh sejumlah perusahaan farmasi di Indonesia.
Padahal, di atas kertas, transaksi di antara perusahaan farmasi dan supplier tersebut sudah menggunakan bahan kimia pelarut yang aman. Namun, ternyata isi di dalamnya berbeda dengan yang tertulis di kertas tersebut.
Elfiano mengatakan penyebab kedua ialah tidak adanya metode pemeriksaan zat EG/DEG pada obat sirop jadi. Akan tetapi, di standar internasional pun, tidak ada metode pemeriksaan obat sirop jadi.
Akhirnya, setelah munculnya kasus ini, kini stakeholder terkait langsung bergerak cepat dan memperbaiki hal tersebut. Elfiano mengatakan sekarang ini bahkan diharuskan 2 kali screening, yakni pada awal pembelian bahan kimia pelarut dan di akhir sebelum produk dipasarkan ke masyarakat.
Baca juga: Tetap Waspada, Ini Fase Anak Mengalami Gagal Ginjal Akut yang Harus Segera Ditangani Dokter
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.