Indonesia Punya Emas Hijau, Bakal Jadi Andalan Ekspor?
15 December 2022 |
19:19 WIB
Vanili menjadi salah satu tanaman perkebunan yang dijuluki sebagai Emas Hijau. Harganya yang fantastis membuat komoditas ini bisa menjadi komoditas potensial penopang ekspor Indonesia. Kebermanfaatan vanili yang beragam, baik untuk industri pangan,nonpangan, dan menjanjikan potensi yang prospektif ke depan.
Ketua Umum Dewan Vanili Indonesia John Tumiwa mengatakan bahwa permintaan vanili secara global diperkirakan 2.500 ton–3.000 ton setiap tahunnya. Sampai saat ini, produksi vanili dari berbagai negara belum mampu mencukupi kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu, potensi pangsa pasar ke depan masih sangat luas. Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah yang luas seharusnya bisa segera menggarap potensi besar itu secara lebih baik. John mengatakan, saat ini Indonesia berada di urutan kedua sebagai negara produsen vanili terbesar di dunia. Produsen vanili terbesar di dunia masih didominasi Madagascar.
“Kalau Indonesia serius menggarapnya, kita bisa mengalahkan Madagascar. Bayangkan, luasnya Madagascar hanya sebesar Kalimantan. Kita punya keuntungan geografis dan cuaca untuk merajai pasar vanili global,” ujar John kepada Hypeabis.
Baca juga: Kenari Khas Maluku, Komoditas Mungil yang Punya Manfaat Besar
Meski potensinya cukup besar, komoditas vanili belum menjadi primadona di mata negara. Vanili masih dianggap belum terlalu seksi dibanding sawit, cokelat, karet, kopi, dan sebagainya. John menilai hal tersebut berdampak terhadap produksi nasional.
Hal itu berbeda dengan Madagascar yang lebih serius menggarap vanili. Mereka punya aturan tersendiri soal vanili sehingga kualitas panen lebih terjamin.
Ketiadaan aturan main membuat komoditas ekspor vanili lokal kesulitan menyasar pasar grade A. Selama ini, Indonesia lebih banyak menggarap vanili grade B atau kualitas menengah.
Chairman Vanilla Institute mengatakan sulitnya Indonesia mengembangkan vanili berkualitas terbaik juga disebabkan adanya fenomena pencurian di industri ini. Persoalan maling sulit dituntaskan sehingga para petani menjadi pasrah dan menjual vanili tidak dalam kualitas terbaiknya.
Untuk menghasilkan vanili berkualitas, petani harus menunggu masa panen hingga 8 bulan-9 bulan. Namun, saat berumur 5 bulan, hasil vanili para petani biasanya mulai digasak oleh maling.
Maling tersebut dianggapnya sangat merusak tatanan kualitas. Sebab, para petani yang vanilinya dimaling biasanya akan langsung menjual hasil panennya segera. Alasannya, mereka tidak ingin seluruh pohonnya habis dimaling.
“Masalah menahun ini tampak terstruktur dan diduga ada modusnya. Lantaran dijual lebih muda, oknum pembeli diuntungkan karena bisa membeli dengan harga murah,” imbuhnya.
John mengatakan, permasalahan kualitas vanili ini bisa selesai jika semua stakeholder duduk bersama dan mencari solusi. Pemerintah diminta lebih intensif lagi memperhatikan kondisi para petani, termasuk soal aturan main agar kualitas produksi bisa lebih terkontrol. Namun, di sisi lain, peran petani juga tak kalah penting untuk berkomitmen memproduksi hasil panen dengan kualitas tertinggi.
Setelah permasalahan dasar tersebut selesai, Indonesia bisa mulai memikirkan untuk menggarap produk olahan vanili. Sebab, produk olahan, seperti vanilla extract atau vanilla powder, memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi.
Baca juga: Lemon Balm, Tanaman Herbal yang Bisa Cegah Insomnia
Petani Vanili di Sukabumi, Aden Sayebatul Hamdi, mengatakan bahwa selain persoalan maling, cuaca juga menjadi tantangan tersendiri yang kerap dihadapi petani. Dalam 3 tahun terakhir, cuaca terbilang kurang bersahabat untuk produksi vanili.
Oleh karena itu, para petani membutuhkan bantuan pengetahuan soal perawatan vanili, terutama menghadapi musim yang kian tahun tidak menentu. Sebab, hasil panen yang tidak sesuai harapan kerap membuat petani patah arang.
Terlebih, menjadi petani vanili bukan hal mudah. Setidaknya, dibutuhkan 3 tahun perawatan sejak pertama kali penanaman sebelum akhirnya petani bisa memanen. Setelah itu, vanili bisa dipanen setahun sekali.
Aden memaparkan, para petani sebenarnya mulai paham akan pentingnya menghasilkan kualitas panen yang terbaik dan seragam. Di daerahnya, para petani mulai berkongsi agar hasil panen bisa mendapatkan kualitas bagus. Sebab, penanganan pascapanen harus benar-benar diperhatikan agar kadar vanili dan kualitas tetap terjaga.
Dengan adanya satu komando di sebuah daerah, diharapkan terjadi satu mekanisme pasar khusus sehingga bisa diterima oleh buyer dari luar negeri. Sebab, jika bergerak sendiri-sendiri, permasalahan yang muncul ialah ketidakseragaman hasil panen.
Padahal, buyer tentu menginginkan hasil panen dengan kualitas terbaik yang merata. Dia menambahkan mekanisme pasar tersebut juga dapat menghindari petani dari tengkulak dan mafia.
Baca juga: Hari Kakao Indonesia, Begini Tren Konsumsi Cokelat di Indonesia & Dunia
Editor: Roni Yunianto
Ketua Umum Dewan Vanili Indonesia John Tumiwa mengatakan bahwa permintaan vanili secara global diperkirakan 2.500 ton–3.000 ton setiap tahunnya. Sampai saat ini, produksi vanili dari berbagai negara belum mampu mencukupi kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu, potensi pangsa pasar ke depan masih sangat luas. Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah yang luas seharusnya bisa segera menggarap potensi besar itu secara lebih baik. John mengatakan, saat ini Indonesia berada di urutan kedua sebagai negara produsen vanili terbesar di dunia. Produsen vanili terbesar di dunia masih didominasi Madagascar.
“Kalau Indonesia serius menggarapnya, kita bisa mengalahkan Madagascar. Bayangkan, luasnya Madagascar hanya sebesar Kalimantan. Kita punya keuntungan geografis dan cuaca untuk merajai pasar vanili global,” ujar John kepada Hypeabis.
Baca juga: Kenari Khas Maluku, Komoditas Mungil yang Punya Manfaat Besar
Meski potensinya cukup besar, komoditas vanili belum menjadi primadona di mata negara. Vanili masih dianggap belum terlalu seksi dibanding sawit, cokelat, karet, kopi, dan sebagainya. John menilai hal tersebut berdampak terhadap produksi nasional.
Hal itu berbeda dengan Madagascar yang lebih serius menggarap vanili. Mereka punya aturan tersendiri soal vanili sehingga kualitas panen lebih terjamin.
Ketiadaan aturan main membuat komoditas ekspor vanili lokal kesulitan menyasar pasar grade A. Selama ini, Indonesia lebih banyak menggarap vanili grade B atau kualitas menengah.
Tantangan Produksi Vanili
Chairman Vanilla Institute mengatakan sulitnya Indonesia mengembangkan vanili berkualitas terbaik juga disebabkan adanya fenomena pencurian di industri ini. Persoalan maling sulit dituntaskan sehingga para petani menjadi pasrah dan menjual vanili tidak dalam kualitas terbaiknya.
Untuk menghasilkan vanili berkualitas, petani harus menunggu masa panen hingga 8 bulan-9 bulan. Namun, saat berumur 5 bulan, hasil vanili para petani biasanya mulai digasak oleh maling.
Maling tersebut dianggapnya sangat merusak tatanan kualitas. Sebab, para petani yang vanilinya dimaling biasanya akan langsung menjual hasil panennya segera. Alasannya, mereka tidak ingin seluruh pohonnya habis dimaling.
“Masalah menahun ini tampak terstruktur dan diduga ada modusnya. Lantaran dijual lebih muda, oknum pembeli diuntungkan karena bisa membeli dengan harga murah,” imbuhnya.
John mengatakan, permasalahan kualitas vanili ini bisa selesai jika semua stakeholder duduk bersama dan mencari solusi. Pemerintah diminta lebih intensif lagi memperhatikan kondisi para petani, termasuk soal aturan main agar kualitas produksi bisa lebih terkontrol. Namun, di sisi lain, peran petani juga tak kalah penting untuk berkomitmen memproduksi hasil panen dengan kualitas tertinggi.
Setelah permasalahan dasar tersebut selesai, Indonesia bisa mulai memikirkan untuk menggarap produk olahan vanili. Sebab, produk olahan, seperti vanilla extract atau vanilla powder, memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi.
Baca juga: Lemon Balm, Tanaman Herbal yang Bisa Cegah Insomnia
Petani Vanili di Sukabumi, Aden Sayebatul Hamdi, mengatakan bahwa selain persoalan maling, cuaca juga menjadi tantangan tersendiri yang kerap dihadapi petani. Dalam 3 tahun terakhir, cuaca terbilang kurang bersahabat untuk produksi vanili.
Oleh karena itu, para petani membutuhkan bantuan pengetahuan soal perawatan vanili, terutama menghadapi musim yang kian tahun tidak menentu. Sebab, hasil panen yang tidak sesuai harapan kerap membuat petani patah arang.
Terlebih, menjadi petani vanili bukan hal mudah. Setidaknya, dibutuhkan 3 tahun perawatan sejak pertama kali penanaman sebelum akhirnya petani bisa memanen. Setelah itu, vanili bisa dipanen setahun sekali.
Aden memaparkan, para petani sebenarnya mulai paham akan pentingnya menghasilkan kualitas panen yang terbaik dan seragam. Di daerahnya, para petani mulai berkongsi agar hasil panen bisa mendapatkan kualitas bagus. Sebab, penanganan pascapanen harus benar-benar diperhatikan agar kadar vanili dan kualitas tetap terjaga.
Dengan adanya satu komando di sebuah daerah, diharapkan terjadi satu mekanisme pasar khusus sehingga bisa diterima oleh buyer dari luar negeri. Sebab, jika bergerak sendiri-sendiri, permasalahan yang muncul ialah ketidakseragaman hasil panen.
Padahal, buyer tentu menginginkan hasil panen dengan kualitas terbaik yang merata. Dia menambahkan mekanisme pasar tersebut juga dapat menghindari petani dari tengkulak dan mafia.
Baca juga: Hari Kakao Indonesia, Begini Tren Konsumsi Cokelat di Indonesia & Dunia
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.