Minimnya Skrining Dini Jadi Tantangan Penanganan Kanker Serviks di Indonesia
12 December 2022 |
13:06 WIB
Pertumbuhan kasus kanker serviks masih tinggi di Indonesia. Laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) 2020 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pertumbuhan kasus barunya per tahun mencapai 36.633 kasus per tahun.
Hal itu menempatkan kanker serviks sebagai jenis kanker yang memiliki pertumbuhan terbanyak kedua setelah kanker payudara. Angka kematian akibat kanker serviks juga cukup tinggi. Kanker serviks berada di urutan ketiga dengan jumlah kematian mencapai 21.003 orang.
Baca juga: Yuk Cegah Kanker Serviks Sejak Dini
Dokter spesialis kandungan dan konsultan onkologi ginekologi RS Pondok Indah Fitriyadi Kusuma mengatakan bhawa ada beberapa tantangan dalam melakukan eliminasi kanker serviks di Indonesia. Tantangan tersebut telah ada sejak lama dan belum menemukan cara yang cepat mengatasinya.
Dia mengatakan masalah utama eliminasi kanker serviks ialah rendahnya angka vaksinasi HPV dan skrining kanker serviks. Hal itu ditambah dengan munculnya persepsi tabu untuk melakukan vaksinasi dan skrining. Dari sisi fasilitas, Indonesia juga masih bermasalah dengan keterbatasan faskes yang dapat melakukan vaksinasi dan skrining.
Untuk mengatasi hal tersebut, badan kesehatan dunia WHO telah merumuskan konsep 90-70-90. Fitriyadi menjelaskan WHO menargetkan setiap negara agar 90 persen wanita sudah tervaksinasi pada 2030.
Sebanyak 70 persen perempuan harus sudah melakukan skrining pertama kali pada usia 35 tahun dan dua kali pada usia 45 tahun. Sebanyak 90 persen perempuan yang sudah teridentifikasi dengan penyakit serviks harus menerima pengobatan.
Baca juga: Ini Perbandingan Tiga Alat Skrining Deteksi Kanker Serviks
“Namun, jumlah skrining di Indonesia masih cukup rendah. Kita secara nasional hanya 5,5 persen, sedangkan target WHO adalah 70 persen. Skrining tertinggi di Nusa Tenggara Barat dan paling rendah di Papua,” ujar Fitriyadi dalam diskusi daring Kemenkes bertema Ayo Deteksi Dini Kanker, Sehatkan Perempuan Indonesia, beberapa waktu lalu.
Rendahnya angka skrining kanker serviks di Indonesia membawa permasalahan tersendiri. Dokter spesialis di RSCM Jakarta ini menyebut 80 persen pasien yang datang ke rumah sakit sudah dengan stadium di atas 2B.
Dokter Kandungan Konsultan Onkologi Ginekologi RS Kanker Dharmais Muhammad Yusuf menambahkan pasien kanker serviks yang sudah stadium lanjut umumnya memiliki harapan hidup yang rendah.
Dokter Yusuf mengatakan mereka yang tidak mau skrining dini biasanya karena takut. Banyak pasien juga merasa kanker serviks adalah penyakit yang tidak mungkin ada di dirinya karena di sekeliling dia tidak ada yang didiagnosis penyakit serupa.
Baca juga: Waspada, Kutil Kelamin Bisa Menjadi Kanker Serviks
“Ada faktor kultur, faktor keengganan, dan tidak ada satu keharusan, di mana setiap perempuan harus melakukan skrining penyakit yang sifatnya katastropik, salah satunya kanker serviks,” ujar Dokter Yusuf kepada Hypeabis.id.
Skrining dini adalah hal penting, tetapi sering diabaikan. Melakukan skrining tidak harus bergejala terlebih dahulu. Selama ini, ada anggapan di masyarakat bahwa tidak bergejala sama dengan tidak sakit. Padahal, itu anggapan keliru.
Dokter Yusuf mengatakan skrining dini bisa dilakukan pada umur 25 tahun dengan metode pap smear sebanyak 3 tahun sekali. Namun, jika usianya sudah menginjak 30 tahun lebih, metode skrining ditambah dengan metode HPV DNA sebanyak 3 tahun-5 tahun sekali.
“Namun, di Indonesia ada metode skrining yang khas, yakni dengan pemeriksaan IVA dan HPV DNA. Kekhasan di Indonesia ini cocok dengan resource yang terbatas seperti Indonesia,” imbuhnya.
Baca juga: Ini Penyebab Angka Kejadian Kanker Serviks Masih TInggi
Sebab, di kanker serviks, virus HPV paling banyak disebarkan melalui hubungan seksual yang tidak sehat. Dari konsep penyebaran ini, orang yang memiliki banyak partner dalam aktivitas seksual paling berisiko.
Namun, beberapa studi, HPV juga bisa disebarkan melalui proses airborne. Oleh karena itu, beberapa dokter atau staf medis yang berisiko biasanya juga berpotensi menderita kanker laring.
Dokter di Eka Tjipta Widjaja Cancer Center itu juga menjelaskan mereka yang menikah pada usia dini dan berpoligami juga memiliki risiko lebih terkena kanker serviks. Mereka yang berpoligami berisiko 7-8 kali lipat dibanding orang yang tidak berpoligami.
Baca juga: Pentingnya Pemeriksaan Organ Reproduksi untuk Cegah Kanker Serviks
“Penggunaan KB hormonal juga meningkatkan risiko. Kaitannya dengan KB itu imunitas lokal di serviks menurun. Namun, sebenarnya itu masih kontroversi dan bisa didebat,” ujar Yusuf.
Selain itu, rokok juga jadi salah satu penyebab kanker serviks. Orang yang merokok berisiko 4 kali lebih besar terkena kanker serviks dibanding yang tidak merokok. Sebab, rokok menyebabkan imunitas menurun sehingga ketika terinfeksi HPV, serviks yang normal bisa cepat berubah menjadi kanker.
Baca juga: Vaksin HPV Efektif Mencegah Kanker Serviks
Editor: Dika Irawan
Hal itu menempatkan kanker serviks sebagai jenis kanker yang memiliki pertumbuhan terbanyak kedua setelah kanker payudara. Angka kematian akibat kanker serviks juga cukup tinggi. Kanker serviks berada di urutan ketiga dengan jumlah kematian mencapai 21.003 orang.
Baca juga: Yuk Cegah Kanker Serviks Sejak Dini
Dokter spesialis kandungan dan konsultan onkologi ginekologi RS Pondok Indah Fitriyadi Kusuma mengatakan bhawa ada beberapa tantangan dalam melakukan eliminasi kanker serviks di Indonesia. Tantangan tersebut telah ada sejak lama dan belum menemukan cara yang cepat mengatasinya.
Dia mengatakan masalah utama eliminasi kanker serviks ialah rendahnya angka vaksinasi HPV dan skrining kanker serviks. Hal itu ditambah dengan munculnya persepsi tabu untuk melakukan vaksinasi dan skrining. Dari sisi fasilitas, Indonesia juga masih bermasalah dengan keterbatasan faskes yang dapat melakukan vaksinasi dan skrining.
Untuk mengatasi hal tersebut, badan kesehatan dunia WHO telah merumuskan konsep 90-70-90. Fitriyadi menjelaskan WHO menargetkan setiap negara agar 90 persen wanita sudah tervaksinasi pada 2030.
Sebanyak 70 persen perempuan harus sudah melakukan skrining pertama kali pada usia 35 tahun dan dua kali pada usia 45 tahun. Sebanyak 90 persen perempuan yang sudah teridentifikasi dengan penyakit serviks harus menerima pengobatan.
Baca juga: Ini Perbandingan Tiga Alat Skrining Deteksi Kanker Serviks
“Namun, jumlah skrining di Indonesia masih cukup rendah. Kita secara nasional hanya 5,5 persen, sedangkan target WHO adalah 70 persen. Skrining tertinggi di Nusa Tenggara Barat dan paling rendah di Papua,” ujar Fitriyadi dalam diskusi daring Kemenkes bertema Ayo Deteksi Dini Kanker, Sehatkan Perempuan Indonesia, beberapa waktu lalu.
Rendahnya angka skrining kanker serviks di Indonesia membawa permasalahan tersendiri. Dokter spesialis di RSCM Jakarta ini menyebut 80 persen pasien yang datang ke rumah sakit sudah dengan stadium di atas 2B.
Dokter Kandungan Konsultan Onkologi Ginekologi RS Kanker Dharmais Muhammad Yusuf menambahkan pasien kanker serviks yang sudah stadium lanjut umumnya memiliki harapan hidup yang rendah.
Dokter Yusuf mengatakan mereka yang tidak mau skrining dini biasanya karena takut. Banyak pasien juga merasa kanker serviks adalah penyakit yang tidak mungkin ada di dirinya karena di sekeliling dia tidak ada yang didiagnosis penyakit serupa.
Baca juga: Waspada, Kutil Kelamin Bisa Menjadi Kanker Serviks
“Ada faktor kultur, faktor keengganan, dan tidak ada satu keharusan, di mana setiap perempuan harus melakukan skrining penyakit yang sifatnya katastropik, salah satunya kanker serviks,” ujar Dokter Yusuf kepada Hypeabis.id.
Skrining dini adalah hal penting, tetapi sering diabaikan. Melakukan skrining tidak harus bergejala terlebih dahulu. Selama ini, ada anggapan di masyarakat bahwa tidak bergejala sama dengan tidak sakit. Padahal, itu anggapan keliru.
Dokter Yusuf mengatakan skrining dini bisa dilakukan pada umur 25 tahun dengan metode pap smear sebanyak 3 tahun sekali. Namun, jika usianya sudah menginjak 30 tahun lebih, metode skrining ditambah dengan metode HPV DNA sebanyak 3 tahun-5 tahun sekali.
“Namun, di Indonesia ada metode skrining yang khas, yakni dengan pemeriksaan IVA dan HPV DNA. Kekhasan di Indonesia ini cocok dengan resource yang terbatas seperti Indonesia,” imbuhnya.
Baca juga: Ini Penyebab Angka Kejadian Kanker Serviks Masih TInggi
Faktor Penyebab
Dokter Yusuf mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan wanita mengalami kanker serviks. Secara global, mereka yang melakukan praktik aktivitas seksual tidak sehat, seperti gonta-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom, hampir 99 persen terjadi infeksi.Sebab, di kanker serviks, virus HPV paling banyak disebarkan melalui hubungan seksual yang tidak sehat. Dari konsep penyebaran ini, orang yang memiliki banyak partner dalam aktivitas seksual paling berisiko.
Namun, beberapa studi, HPV juga bisa disebarkan melalui proses airborne. Oleh karena itu, beberapa dokter atau staf medis yang berisiko biasanya juga berpotensi menderita kanker laring.
Dokter di Eka Tjipta Widjaja Cancer Center itu juga menjelaskan mereka yang menikah pada usia dini dan berpoligami juga memiliki risiko lebih terkena kanker serviks. Mereka yang berpoligami berisiko 7-8 kali lipat dibanding orang yang tidak berpoligami.
Baca juga: Pentingnya Pemeriksaan Organ Reproduksi untuk Cegah Kanker Serviks
“Penggunaan KB hormonal juga meningkatkan risiko. Kaitannya dengan KB itu imunitas lokal di serviks menurun. Namun, sebenarnya itu masih kontroversi dan bisa didebat,” ujar Yusuf.
Selain itu, rokok juga jadi salah satu penyebab kanker serviks. Orang yang merokok berisiko 4 kali lebih besar terkena kanker serviks dibanding yang tidak merokok. Sebab, rokok menyebabkan imunitas menurun sehingga ketika terinfeksi HPV, serviks yang normal bisa cepat berubah menjadi kanker.
Baca juga: Vaksin HPV Efektif Mencegah Kanker Serviks
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.