Menebang Pohon Sembarangan Bisa Menyebabkan Pandemi? Ini Penjelasannya
07 November 2022 |
18:20 WIB
Seperti yang umum ketahui, pandemi Covid-19 diduga bermula dari satu pasar hewan di Wuhan China. Seseorang telah terkena virus dari hewan di pasar tersebut, dan dari situlah kemudian virus yang membahayakan dan menelan banyak korban itu menyebar hingga hampir ke seluruh dunia.
Namun, ternyata perubahan atau gangguan terhadap lingkungan dan alam juga bisa menjadi penyebab pandemi lo Genhype. Contohnya adalah penebangan liar atas pohon-pohon di hutan. Hal itu telah merusak tempat hidup sejumlah satwa liar yang selama ini selalu menghindari manusia.
Lantaran tidak ada tempat tinggal, hal itu menyebabkan mereka terpaksa mendekati tempat tinggal manusia atau mereka tertangkap. Kontak ini bisa saja menularkan virus dari hewan itu ke manusia. Demikian pula dengan penggundulan hutan yang luar biasa juga bisa menyebabkan pemanasan global atau cuaca ekstrem.
Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebutkan bahwa sekitar 70 persen dari semua patogen atau organisme penyebab infeksi dan penyakit yang muncul saat ini memiliki sumber penyakit menular dari hewan ke manusia, atau istilahnya zoonosis.
Pemanfaatan lahan yang tidak semestinya, hilangnya sejumlah pohon akibat pembalakan ataupun untuk membuat lahan baru (deforestasi) serta adanya perubahan iklim telah meningkatkan risiko patogen baru yang menyebar dari satwa liar dan hewan peliharaan ke manusia.
“Kita hanya dapat benar-benar membuat dunia lebih aman jika kita mengatasi masalah-masalah yang menjadi pendorong utama epidemi dan pandemi ini” katanya dalam sambutan secara virtual di World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang digelar di Singapura mulai hari ini (Senin (7/11/2022).
Kongres lima hari yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di bawah naungan SingHealth Duke-NUS Academic Medical Center ini bertema ‘Integrating Science, Policy and Clinical Practice: A One Health Imperative Post-COVID-19'.
Acara yang mendapat dukungan dari Temasek Foundation ini dihadiri lebih dari 1.400 orang serta 1.000 peserta secara virtual yang terdiri dari institusi akademik, masyarakat sipil, lembaga pemerintah, sektor swasta dan organisasi multilateral di seluruh dunia.
One Health merupakan agenda aksi kolaborasi para ahli di bidang lingkungan, hewan, dan manusia guna menghindari terjadinya penyakit manusia yang disebabkan oleh binatang atau lingkungan.
Hal ini berakar pada kesadaran bahwa kesehatan manusia dan hewan saling bergantung, juga terikat pada kesehatan ekosistem di mana mereka berada. Sifat kompleks dari interaksi antara manusia, hewan, dan tumbuhan menjadikan pendekatan kolaboratif, multisektoral dan transdisipliner ini penting untuk mengatasi risiko dan tantangan kesehatan pada masa depan.
Menurut Ghebreyesus, pada bulan lalu, tepatnya 14 Oktober, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH, didirikan sebagai OIE), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan One Health Joint Plan of Action (2022–2026).
Mereka akan mendorong perubahan dan transformasi yang diperlukan untuk mengurangi dampak tantangan kesehatan saat ini dan masa depan pada interaksi manusia-hewan-tumbuhan-lingkungan di tingkat global, regional dan negara.
Baca juga: WHO Sebut Pandemi Bisa Berakhir Tahun Ini, Bagaimana Caranya?
Presiden Singapura Halimah Yacob yang hadir untuk membuka acara tersebut mengatakan bahwa kolaborasi sebagai aspek utama dari pendekatan One Health, dan merupakan faktor penting sebagai upaya kesiapsiagaan kesehatan global.
“Kami telah melakukan perjalanan panjang dan sulit, belajar banyak pelajaran dari Covid-19 bersama. Mungkin pelajaran terbesar tentang interkonektivitas kita adalah bahwa kita harus memanfaatkannya dengan baik dan sedini mungkin, untuk keuntungan terbaik kami,” kata Halimah.
Singapura, lanjutnya, juga berperan, dengan para peneliti dan ilmuwan membantu memelihara database genom untuk virus dan mengembangkan alat uji yang disebarkan ke negara lain. Bahkan saat pandemi Covid-19 mereda, dunia harus mulai bersiap untuk kemungkinan munculnya penyakit baru yang mungkin bahkan lebih merusak.
“Izinkan saya menyentuh tiga bidang utama di mana kerja sama semacam itu sangat penting: pertama, dalam mendeteksi ancaman yang muncul; kedua, dalam mengatasi penyakit yang merajalela; dan terakhir, memfasilitasi berbagi pengetahuan untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan,” kata Halimah.
Baca juga: Belajar Menghargai Diri Sendiri dan Alam dengan Gaya Hidup Slow Living
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Namun, ternyata perubahan atau gangguan terhadap lingkungan dan alam juga bisa menjadi penyebab pandemi lo Genhype. Contohnya adalah penebangan liar atas pohon-pohon di hutan. Hal itu telah merusak tempat hidup sejumlah satwa liar yang selama ini selalu menghindari manusia.
Lantaran tidak ada tempat tinggal, hal itu menyebabkan mereka terpaksa mendekati tempat tinggal manusia atau mereka tertangkap. Kontak ini bisa saja menularkan virus dari hewan itu ke manusia. Demikian pula dengan penggundulan hutan yang luar biasa juga bisa menyebabkan pemanasan global atau cuaca ekstrem.
Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebutkan bahwa sekitar 70 persen dari semua patogen atau organisme penyebab infeksi dan penyakit yang muncul saat ini memiliki sumber penyakit menular dari hewan ke manusia, atau istilahnya zoonosis.
Pemanfaatan lahan yang tidak semestinya, hilangnya sejumlah pohon akibat pembalakan ataupun untuk membuat lahan baru (deforestasi) serta adanya perubahan iklim telah meningkatkan risiko patogen baru yang menyebar dari satwa liar dan hewan peliharaan ke manusia.
“Kita hanya dapat benar-benar membuat dunia lebih aman jika kita mengatasi masalah-masalah yang menjadi pendorong utama epidemi dan pandemi ini” katanya dalam sambutan secara virtual di World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang digelar di Singapura mulai hari ini (Senin (7/11/2022).
Kongres lima hari yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di bawah naungan SingHealth Duke-NUS Academic Medical Center ini bertema ‘Integrating Science, Policy and Clinical Practice: A One Health Imperative Post-COVID-19'.
Acara yang mendapat dukungan dari Temasek Foundation ini dihadiri lebih dari 1.400 orang serta 1.000 peserta secara virtual yang terdiri dari institusi akademik, masyarakat sipil, lembaga pemerintah, sektor swasta dan organisasi multilateral di seluruh dunia.
Ilustrasi Diagram One Health/ CDC.govt
Hal ini berakar pada kesadaran bahwa kesehatan manusia dan hewan saling bergantung, juga terikat pada kesehatan ekosistem di mana mereka berada. Sifat kompleks dari interaksi antara manusia, hewan, dan tumbuhan menjadikan pendekatan kolaboratif, multisektoral dan transdisipliner ini penting untuk mengatasi risiko dan tantangan kesehatan pada masa depan.
Menurut Ghebreyesus, pada bulan lalu, tepatnya 14 Oktober, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH, didirikan sebagai OIE), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan One Health Joint Plan of Action (2022–2026).
Mereka akan mendorong perubahan dan transformasi yang diperlukan untuk mengurangi dampak tantangan kesehatan saat ini dan masa depan pada interaksi manusia-hewan-tumbuhan-lingkungan di tingkat global, regional dan negara.
Baca juga: WHO Sebut Pandemi Bisa Berakhir Tahun Ini, Bagaimana Caranya?
Presiden Singapura Halimah Yacob yang hadir untuk membuka acara tersebut mengatakan bahwa kolaborasi sebagai aspek utama dari pendekatan One Health, dan merupakan faktor penting sebagai upaya kesiapsiagaan kesehatan global.
“Kami telah melakukan perjalanan panjang dan sulit, belajar banyak pelajaran dari Covid-19 bersama. Mungkin pelajaran terbesar tentang interkonektivitas kita adalah bahwa kita harus memanfaatkannya dengan baik dan sedini mungkin, untuk keuntungan terbaik kami,” kata Halimah.
Singapura, lanjutnya, juga berperan, dengan para peneliti dan ilmuwan membantu memelihara database genom untuk virus dan mengembangkan alat uji yang disebarkan ke negara lain. Bahkan saat pandemi Covid-19 mereda, dunia harus mulai bersiap untuk kemungkinan munculnya penyakit baru yang mungkin bahkan lebih merusak.
“Izinkan saya menyentuh tiga bidang utama di mana kerja sama semacam itu sangat penting: pertama, dalam mendeteksi ancaman yang muncul; kedua, dalam mengatasi penyakit yang merajalela; dan terakhir, memfasilitasi berbagi pengetahuan untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan,” kata Halimah.
Baca juga: Belajar Menghargai Diri Sendiri dan Alam dengan Gaya Hidup Slow Living
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.