Waspada Pandemi Baru, Penelitian Klinis Diperkuat
10 November 2022 |
21:20 WIB
Pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita semua bahwa begitu pentingnya penelitian kesehatan, sehingga berbagai penyakit baru yang muncul bisa segera diketahui dan dicari cara untuk mengatasinya. Pemerintah juga harus mendukung aktivitas penelitian ini agar bisa bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Penguatan penelitian kesehatan ini, termasuk clinical research (penelitian klinis) juga menjadi bagian dari One Health, yang merupakan agenda aksi kolaborasi para ahli dan pihak terkait di bidang lingkungan, hewan dan manusia guna menghindari terjadinya penyakit manusia yang disebabkan oleh binatang atau lingkungan.
Penelitian klinis merupakan cabang ilmu kesehatan yang menentukan keamanan dan efektivitas (efikasi) medikasi, peralatan medis, produk diagnostik, dan terapi pengobatan yang ditujukan untuk digunakan manusia.
Produk-produk tersebut dapat digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis, atau untuk menghilangkan gejala penyakit. Penelitian klinis berbeda dengan praktik klinis. Dalam praktik klinis, terapi yang digunakan adalah terapi yang telah terbukti, sedangkan dalam penelitian klinis, bukti-bukti dikumpulkan untuk menetapkan terapi atau penanganan.
Manajer Operasional Penelitian Klinis Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Indonesia, Mutia Rahardjani mengatakan bahwa pemerintah harus memiliki komitmen untuk mendukung riset klinis karena selama ini dirasakan masih ada hambatan di lapangan saat melakukan riset tersebut.
“Misalnya dari Komite Etik Badan POM [Pengawasan Obat dan Makanan] sudah memberi izin, ketika kami mau impor obat untuk keperluan penelitian, dari Bea Cukai mentok karena memiliki regulasi sendiri,” katanya Rabu (09/11/2022) disela-sela World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di Singapura.
Mutia juga menjadi pembicara pada Temasek Foundation Pinnacle Series, bertema From Zoonosis to Antimicrobial Resistance, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan WOHC.
Dia mengatakan bahwa sejak pandemi Covid-19 melanda, pemerintah lebih terbuka dan transparan terkait dengan penelitian maupun hasil penelitian yang dilakukan. Namun, hal ini juga harus diikuti oleh bagian terkait.
Dia mencontohkan Malaysia yang awalnya penelitiannya juga tidak banyak. Mereka akhirnya membuat partnership dan membuat satu payung, semacam clinical reseach Malaysia dan semuanya harus masuk ke badan itu, dari review, pengawasan, dan koordinasi, sehingga semua bisa lebih mudah melakukan riset.
“Yang penting dari Kemenkes ada panduan jelas dan tegas. Kalau perlu ditentukan otoritasnya siapa untuk perizinan riset ini.”
Namun demikian, Mutia mengatakan bahwa penelitian klinis di Indonesia mengalami peningkatan drastis setelah pandemi Covid-19 melanda. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan menyebut pada 2020 terdapat 31 penelitian klinis dilakukan di Indonesia, yang bertambah menjadi 33 pada 2021, dan pada 2022 hingga Juni sudah terdapat 15 penelitian klinis.
Sebelum Covid, jumlah penelitian jauh di bawah angka itu. Misalnya pada 2016 hanya mencapai 12, kemudian 10 pada 2017, menyusut menjadi lima pada 2018, dan sejumlah 18 pada 2019.
Mutia berharap peningkatan jumlah penelitian ini berlanjut kendati pandemi Covid-19 telah mereda mengingat masih ada kemungkinan penyakit menular baru yang berpotensi pandemi bisa saja terjadi.
Dia menilai bahwa penelitian klinis harus tetap gencar dilakukan mengingat di beberapa wilayah Indonesia masih terjadi endemi beberapa penyakit menular seperti malaria ataupun demam dengue.
Dunia pengetahuan di Indonesia bersama jajaran pemerintah, lanjutnya, harus bisa terus mengundang para sponsor untuk mendanai penelitian-penelitian klinis di Tanah Air. Sayangnya, kalangan industri, yang biasanya berkenan menjadi sponsor pendanaan penelitian klinis, memiliki persepsi bahwa penelitian klinis di Indonesia masih cukup berbelit-belit dalam berbagai aspek.
Mutia menyarankan pemerintah terus meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) agar apabila menjadikan investasi sebagai prasyarat mutlak penelitian klinis di Indonesia, sudah berbanding lurus dengan kebutuhan pemenuhan tenaga dalam menjalankan fasilitas yang diinvestasi oleh industri ke depannya.
“Yang penting arahannya pemerintah itu seperti apa, prioritas gak riset ini. Kalau prioritas, bawahnya bisa jalan seiring. Kami sering kesulitan, karena kami masih sulit mendapat izin di lapangan,” katanya.
Mutia memberi contoh saat mau melakukan studi di satu daerah, dia mesti mendapat izin ke Dinas Kesehatan Provinsi. “Kalau penelitiannya dua daerah atau lebih, kami harus mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri. Nah, seringkali Kemendagri tidak tahu harus memberi izin yang bagaimana.”
Editor: Indyah Sutriningrum
Penguatan penelitian kesehatan ini, termasuk clinical research (penelitian klinis) juga menjadi bagian dari One Health, yang merupakan agenda aksi kolaborasi para ahli dan pihak terkait di bidang lingkungan, hewan dan manusia guna menghindari terjadinya penyakit manusia yang disebabkan oleh binatang atau lingkungan.
Penelitian klinis merupakan cabang ilmu kesehatan yang menentukan keamanan dan efektivitas (efikasi) medikasi, peralatan medis, produk diagnostik, dan terapi pengobatan yang ditujukan untuk digunakan manusia.
Produk-produk tersebut dapat digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis, atau untuk menghilangkan gejala penyakit. Penelitian klinis berbeda dengan praktik klinis. Dalam praktik klinis, terapi yang digunakan adalah terapi yang telah terbukti, sedangkan dalam penelitian klinis, bukti-bukti dikumpulkan untuk menetapkan terapi atau penanganan.
Manajer Operasional Penelitian Klinis Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Indonesia, Mutia Rahardjani mengatakan bahwa pemerintah harus memiliki komitmen untuk mendukung riset klinis karena selama ini dirasakan masih ada hambatan di lapangan saat melakukan riset tersebut.
“Misalnya dari Komite Etik Badan POM [Pengawasan Obat dan Makanan] sudah memberi izin, ketika kami mau impor obat untuk keperluan penelitian, dari Bea Cukai mentok karena memiliki regulasi sendiri,” katanya Rabu (09/11/2022) disela-sela World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di Singapura.
Manajer Operasional Penelitian Klinis Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Indonesia, Mutia Rahardjani/Hypeabis M R Purboyo
Mutia juga menjadi pembicara pada Temasek Foundation Pinnacle Series, bertema From Zoonosis to Antimicrobial Resistance, yang merupakan bagian dari penyelenggaraan WOHC.
Dia mengatakan bahwa sejak pandemi Covid-19 melanda, pemerintah lebih terbuka dan transparan terkait dengan penelitian maupun hasil penelitian yang dilakukan. Namun, hal ini juga harus diikuti oleh bagian terkait.
Dia mencontohkan Malaysia yang awalnya penelitiannya juga tidak banyak. Mereka akhirnya membuat partnership dan membuat satu payung, semacam clinical reseach Malaysia dan semuanya harus masuk ke badan itu, dari review, pengawasan, dan koordinasi, sehingga semua bisa lebih mudah melakukan riset.
“Yang penting dari Kemenkes ada panduan jelas dan tegas. Kalau perlu ditentukan otoritasnya siapa untuk perizinan riset ini.”
Namun demikian, Mutia mengatakan bahwa penelitian klinis di Indonesia mengalami peningkatan drastis setelah pandemi Covid-19 melanda. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan menyebut pada 2020 terdapat 31 penelitian klinis dilakukan di Indonesia, yang bertambah menjadi 33 pada 2021, dan pada 2022 hingga Juni sudah terdapat 15 penelitian klinis.
Sebelum Covid, jumlah penelitian jauh di bawah angka itu. Misalnya pada 2016 hanya mencapai 12, kemudian 10 pada 2017, menyusut menjadi lima pada 2018, dan sejumlah 18 pada 2019.
Mutia berharap peningkatan jumlah penelitian ini berlanjut kendati pandemi Covid-19 telah mereda mengingat masih ada kemungkinan penyakit menular baru yang berpotensi pandemi bisa saja terjadi.
Dia menilai bahwa penelitian klinis harus tetap gencar dilakukan mengingat di beberapa wilayah Indonesia masih terjadi endemi beberapa penyakit menular seperti malaria ataupun demam dengue.
Dunia pengetahuan di Indonesia bersama jajaran pemerintah, lanjutnya, harus bisa terus mengundang para sponsor untuk mendanai penelitian-penelitian klinis di Tanah Air. Sayangnya, kalangan industri, yang biasanya berkenan menjadi sponsor pendanaan penelitian klinis, memiliki persepsi bahwa penelitian klinis di Indonesia masih cukup berbelit-belit dalam berbagai aspek.
Mutia menyarankan pemerintah terus meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) agar apabila menjadikan investasi sebagai prasyarat mutlak penelitian klinis di Indonesia, sudah berbanding lurus dengan kebutuhan pemenuhan tenaga dalam menjalankan fasilitas yang diinvestasi oleh industri ke depannya.
“Yang penting arahannya pemerintah itu seperti apa, prioritas gak riset ini. Kalau prioritas, bawahnya bisa jalan seiring. Kami sering kesulitan, karena kami masih sulit mendapat izin di lapangan,” katanya.
Mutia memberi contoh saat mau melakukan studi di satu daerah, dia mesti mendapat izin ke Dinas Kesehatan Provinsi. “Kalau penelitiannya dua daerah atau lebih, kami harus mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri. Nah, seringkali Kemendagri tidak tahu harus memberi izin yang bagaimana.”
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.