Aktivitas Penebangan Liar Bisa Mengganggu Upaya Bebas Malaria
09 November 2022 |
14:08 WIB
Malaria masih menjadi masalah kesehatan di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di kawasan timur Ibu Pertiwi. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan Indonesia bisa mengeliminasi penyakit dari gigitan nyamuk malaria tersebut pada 2030.
Pencapaian eliminasi Malaria 2030 didahului dengan pencapaian daerah bebas malaria tingkat provinsi, dan sebelum itu seluruh kabupaten/kota di Indonesia harus sudah mencapai bebas malaria.
Sebanyak lima regional telah ditetapkan sebagai target eliminasi malaria, yaitu wilayah Jawa Bali pada 2023, Sumatra, Sulawesi dan NTB pada 2025, Kalimantan dan Maluku Utara pada 2027, Maluku dan NTT pada 2028 serta Papua dan Papua Barat pada 2029.
Baca juga: Awas, Zoonosis Kini Jadi Biang Keladi Penyakit Infeksi Utama
Kementerian Kesehatan mengklaim bahwa mereka sudah on the track dalam upaya eliminasi penyakit tersebut. Pada 2016, jumlah kab/kota eliminasi malaria sebanyak 247 dari target 24. Pada 2017 daerah eliminasi malaria menjadi 266 kabupaten/kota dari target 265 kabupaten/kota.
Pemerintah juga menargetkan pada 2025 semua kabupaten/kota mencapai eliminasi, 2027 semua provinsi mencapai eliminasi, dan 2030 Indonesia mencapai eliminasi. Eliminasi di sini maksudnya adalah upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografi tertentu.
Dengan demikian, kasus malaria tetap masih ada tetapi bukan didapat di daerah tersebut, dan bisa jadi masih ditemukan nyamuk penular malaria-nya. Jadi masih tetap dibutuhkan kewaspadaan petugas kesehatan, pemerintah, dan masyarakat untuk mencegah penularan kembali.
Namun, ternyata adanya pembalakan liar dan deforestasi bisa mengganggu upaya mengejar target tersebut. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Inke Nadia Diniyanti Lubis, mengatakan bahwa laju deforestasi akibat maraknya alih fungsi lahan berpotensi meningkatkan penularan penyakit malaria di Asia Tenggara.
"Pola alih fungsi lahan oleh manusia, termasuk perluasan agrikultur dan deforestasi, bisa menjadi pendorong utama di balik penyebaran malaria knowlesi [penyakit malaria karena infeksi protozoa Plasmodium knowlesi] yang relatif baru dan tengah berlangsung di Asia Tenggara," kata Inke saat menjadi pembicara di forum Temasek Foundation Pinnacle Series, bertema From Zoonosis to Antimicrobial Resistance di Singapura, Selasa (8/11/2022).
Baca juga: Menebang Pohon Sembarangan Bisa Menyebabkan Pandemi? Ini Penjelasannya
Acara ini merupakan bagian dari World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) bertema ‘Integrating Science, Policy and Clinical Practice: A One Health Imperative Post-COVID-19'.
Inke bersama tim Fakultas Kedokteran USU menggandeng Menzies School of Health Research Australia melakukan penelitian tentang potensi paparan terhadap parasit Plasmodium knowlesi di antara pekerja perkebunan sawit di Langkat, Sumut, pada Juli-Agustus 2022.
Berdasarkan penelitian tersebut, penyakit malaria knowlesi telah terdeteksi di Kalimantan Utara. Wilayah ini berbatasan dengan Sabah, Malaysia yang mendominasi kasus malaria karena Plasmodium knowlesi. Selain itu, penyakit ini juga ditemukan di Sumatra dan Sulawesi.
Plasmodium knowlesi adalah salah satu parasit penyebab penyakit malaria, yang secara alami alami menginfeksi kera ekor panjang dan ditularkan ke manusia (zoonosis) melalui nyamuk kelompok Anopheline. Menurut Inke, banyak penyakit yang awalnya berawal dari hewan. Namun, ketika lingkungan sekitarnya berubah signifikan, dampaknya penyakit bermutasi dan menyerang manusia.
Kepala Departemen Parasitologi University of Malaya, Malaysia Prof LAU Yee Ling, dalam acara yang sama mengatakan perubahan habitat dan ekologi hewan bakal meningkatkan kasus zoonosis, termasuk malaria knowlesi. “Program eliminasi malaria pada manusia bisa terganggu,” kata Ling.
Prof Indra Vythilingam dari University of Malaya, Malaysia mengatakan tantangan pengendalian penyakit malaria yang awalnya menjangkiti kera ekor panjang ini ke depannya juga makin berat karena penggunaan obat pembasmi serangga secara berlebihan. Dampaknya, banyak nyamuk vektor atau pembawa mikroba seperti Plasmodium knowlesi yang bakal kebal obat.
Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Pencapaian eliminasi Malaria 2030 didahului dengan pencapaian daerah bebas malaria tingkat provinsi, dan sebelum itu seluruh kabupaten/kota di Indonesia harus sudah mencapai bebas malaria.
Sebanyak lima regional telah ditetapkan sebagai target eliminasi malaria, yaitu wilayah Jawa Bali pada 2023, Sumatra, Sulawesi dan NTB pada 2025, Kalimantan dan Maluku Utara pada 2027, Maluku dan NTT pada 2028 serta Papua dan Papua Barat pada 2029.
Baca juga: Awas, Zoonosis Kini Jadi Biang Keladi Penyakit Infeksi Utama
Kementerian Kesehatan mengklaim bahwa mereka sudah on the track dalam upaya eliminasi penyakit tersebut. Pada 2016, jumlah kab/kota eliminasi malaria sebanyak 247 dari target 24. Pada 2017 daerah eliminasi malaria menjadi 266 kabupaten/kota dari target 265 kabupaten/kota.
Pemerintah juga menargetkan pada 2025 semua kabupaten/kota mencapai eliminasi, 2027 semua provinsi mencapai eliminasi, dan 2030 Indonesia mencapai eliminasi. Eliminasi di sini maksudnya adalah upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografi tertentu.
Dengan demikian, kasus malaria tetap masih ada tetapi bukan didapat di daerah tersebut, dan bisa jadi masih ditemukan nyamuk penular malaria-nya. Jadi masih tetap dibutuhkan kewaspadaan petugas kesehatan, pemerintah, dan masyarakat untuk mencegah penularan kembali.
Namun, ternyata adanya pembalakan liar dan deforestasi bisa mengganggu upaya mengejar target tersebut. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Inke Nadia Diniyanti Lubis, mengatakan bahwa laju deforestasi akibat maraknya alih fungsi lahan berpotensi meningkatkan penularan penyakit malaria di Asia Tenggara.
"Pola alih fungsi lahan oleh manusia, termasuk perluasan agrikultur dan deforestasi, bisa menjadi pendorong utama di balik penyebaran malaria knowlesi [penyakit malaria karena infeksi protozoa Plasmodium knowlesi] yang relatif baru dan tengah berlangsung di Asia Tenggara," kata Inke saat menjadi pembicara di forum Temasek Foundation Pinnacle Series, bertema From Zoonosis to Antimicrobial Resistance di Singapura, Selasa (8/11/2022).
Baca juga: Menebang Pohon Sembarangan Bisa Menyebabkan Pandemi? Ini Penjelasannya
Acara ini merupakan bagian dari World One Health Congress (WOHC) ke-7 yang diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) bertema ‘Integrating Science, Policy and Clinical Practice: A One Health Imperative Post-COVID-19'.
Inke bersama tim Fakultas Kedokteran USU menggandeng Menzies School of Health Research Australia melakukan penelitian tentang potensi paparan terhadap parasit Plasmodium knowlesi di antara pekerja perkebunan sawit di Langkat, Sumut, pada Juli-Agustus 2022.
Berdasarkan penelitian tersebut, penyakit malaria knowlesi telah terdeteksi di Kalimantan Utara. Wilayah ini berbatasan dengan Sabah, Malaysia yang mendominasi kasus malaria karena Plasmodium knowlesi. Selain itu, penyakit ini juga ditemukan di Sumatra dan Sulawesi.
Kera ekor panjang/ipb.ac.id
Kepala Departemen Parasitologi University of Malaya, Malaysia Prof LAU Yee Ling, dalam acara yang sama mengatakan perubahan habitat dan ekologi hewan bakal meningkatkan kasus zoonosis, termasuk malaria knowlesi. “Program eliminasi malaria pada manusia bisa terganggu,” kata Ling.
Prof Indra Vythilingam dari University of Malaya, Malaysia mengatakan tantangan pengendalian penyakit malaria yang awalnya menjangkiti kera ekor panjang ini ke depannya juga makin berat karena penggunaan obat pembasmi serangga secara berlebihan. Dampaknya, banyak nyamuk vektor atau pembawa mikroba seperti Plasmodium knowlesi yang bakal kebal obat.
Baca juga: Studi Ini Sebut Ada 4 Perubahan Cara Hidup Manusia Akibat Pandemi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.