Karya Seni 'Jejak Pengantin' Suguhkan Kisah Tak Tertulis Perempuan China di Indonesia
24 October 2022 |
08:45 WIB
Lebih jauh lagi, para perempuan juga ternyata berpengaruh terhadap kehidupan berbudaya di Indonesia, terutama kuliner karena mereka yang punya peran besar dalam memasak. Bahan-bahan masakan yang kerap digunakan ketika menjalankan peran pentingnya memengaruhi kuliner di Indonesia, dan terjadi percampuran antara Indonesia dan China peranakan.
Sadar dirinya sebagai laki-laki, dan tidak memiliki wewenang untuk berbicara mewakili perempuan, sang seniman kelahiran 1949 itu pun hanya menggambarkan kegiatan-kegiatan mereka sebagai pelaksana atau pembuat upacara, memasak, dan segala kegiatan yang ada di wilayah domestik mereka.
Melalui karya Jejak Pengantin, dan karya-karya lain yang ada di dalam pameran, sang seniman ingin memperlihatkan bagaimana perempuan China berada di dalam perjalanan kebudayaan dan perjalanan sosial politik di Indonesia.
Baca juga: Isu Identitas Jadi Tema Kolaborasi Seniman Agan Harahap dengan Label Fesyen Purana
Dia mencoba kembali melihat identitas diri setelah reformasi, dan juga perjalanan orang China di Indonesia. Dalam perjalanan zaman terdapat sejarah yang tidak ditampilkan atau dicatat. Tidak hanya itu, terdapat juga sejarah yang sudah menjadi bagian dalam diri masyarakat yang juga tidak dituliskan. Menurutnya, selalu terjadi percampuran kebudayaan antara budaya China dan lokal yang ada di Indonesia.
“Ini yang disebut sebagai orang-orang China peranakan, di mana di Indonesia sudah hidup sejak beberapa generasi,” katanya. Tidak jarang orang tua, nenek, dan buyut China peranakan di Indonesia sudah tidak bisa berbahasa Mandarin, dan hanya bisa berbahasa Belanda serta bahasa melayu.
Untuk diketahui, dalam sebuah kesempatan setelah peluncuran buku yang digelar di Art Fair, kepada Hypeabis.id, FX Harsono mengegaskan bahwa setiap karya seni yang dibuatnya selalu berbasis penelitian, perkembangan sosial, politik, dan kebudayaan di Indonesia.
Sementara dalam diskusi peluncuran buku FX Harsono: Sebuah Monografi, sang seniman bercerita bahwa proses perjalanan berkesenian yang dialami sejak 1975 tidak lah mulus. Sejak 1975, karya yang dibuat tidak pernah laku di pasar seni di dalam negeri. Menurutnya, karya yang dibuat baru laku pada 1998.
Dengan begitu, dia menuturkan, karya yang dibuat baru laku sekitar 20-an tahun kemudian. Pada saat itu, karya yang dihasilkan dikoleksi oleh museum di Fukuoka, Jepang.
Saat menjadi mahasiswa dia berpikir bahwa dirinya harus menghidupi kesenian jika ingin berkesenian, dan bukan sebaliknya. Jadi, dia menuturkan tidak pernah membuat karya yang sesuai dengan selera pasar. “Saya tidak akan melukis yang dikehendaki pasar,” katanya.
Tidak hanya itu, bagi pria seniman yang merupakan seorang keturunan China tersebut juga persoalan diskriminasi menjadi persoalan yang dialami pada waktu-waktu dahulu. Dia mengatakan ada kolektor yang mulai menyukai karya yang dibuat setelah 1998, dan dari karya seni ternyata dirinya bisa hidup. Pada 2010, dia pun memutuskan untuk berhenti menjadi seorang karyawan dan menjadi seniman.
Langkah tersebut, lanjutnya, bukan berarti menyerah terhadap pasar. “Karya saya jarang dikoleksi kolektor Indonesia,” katanya.
Dia menuturkan bahwa karya yang dihasilkan saat ini berada di sejumlah tempat di luar negeri. Dia pun menilai bahwa kondisi itu yang membuat dirinya tidak sekaya seniman lain di dalam negeri. Meskipn begitu, bagi sang seniman bisa melakukan riset dan berkarya sudah sesuatu yang cukup baginya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sadar dirinya sebagai laki-laki, dan tidak memiliki wewenang untuk berbicara mewakili perempuan, sang seniman kelahiran 1949 itu pun hanya menggambarkan kegiatan-kegiatan mereka sebagai pelaksana atau pembuat upacara, memasak, dan segala kegiatan yang ada di wilayah domestik mereka.
Melalui karya Jejak Pengantin, dan karya-karya lain yang ada di dalam pameran, sang seniman ingin memperlihatkan bagaimana perempuan China berada di dalam perjalanan kebudayaan dan perjalanan sosial politik di Indonesia.
Baca juga: Isu Identitas Jadi Tema Kolaborasi Seniman Agan Harahap dengan Label Fesyen Purana
Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto
Identitas Diri
FX Harsono mengatakan bahwa dirinya hanya ingin menghadirkan kenyataan tentang orang-orang China di Indonesia, dan tidak ingin menggugatnya. “Saya ingin menunjukkan ini lah kebudayaan dan sejarah China di Indonesia,” katanya.Dia mencoba kembali melihat identitas diri setelah reformasi, dan juga perjalanan orang China di Indonesia. Dalam perjalanan zaman terdapat sejarah yang tidak ditampilkan atau dicatat. Tidak hanya itu, terdapat juga sejarah yang sudah menjadi bagian dalam diri masyarakat yang juga tidak dituliskan. Menurutnya, selalu terjadi percampuran kebudayaan antara budaya China dan lokal yang ada di Indonesia.
“Ini yang disebut sebagai orang-orang China peranakan, di mana di Indonesia sudah hidup sejak beberapa generasi,” katanya. Tidak jarang orang tua, nenek, dan buyut China peranakan di Indonesia sudah tidak bisa berbahasa Mandarin, dan hanya bisa berbahasa Belanda serta bahasa melayu.
Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto
Sementara dalam diskusi peluncuran buku FX Harsono: Sebuah Monografi, sang seniman bercerita bahwa proses perjalanan berkesenian yang dialami sejak 1975 tidak lah mulus. Sejak 1975, karya yang dibuat tidak pernah laku di pasar seni di dalam negeri. Menurutnya, karya yang dibuat baru laku pada 1998.
Dengan begitu, dia menuturkan, karya yang dibuat baru laku sekitar 20-an tahun kemudian. Pada saat itu, karya yang dihasilkan dikoleksi oleh museum di Fukuoka, Jepang.
Saat menjadi mahasiswa dia berpikir bahwa dirinya harus menghidupi kesenian jika ingin berkesenian, dan bukan sebaliknya. Jadi, dia menuturkan tidak pernah membuat karya yang sesuai dengan selera pasar. “Saya tidak akan melukis yang dikehendaki pasar,” katanya.
Tidak hanya itu, bagi pria seniman yang merupakan seorang keturunan China tersebut juga persoalan diskriminasi menjadi persoalan yang dialami pada waktu-waktu dahulu. Dia mengatakan ada kolektor yang mulai menyukai karya yang dibuat setelah 1998, dan dari karya seni ternyata dirinya bisa hidup. Pada 2010, dia pun memutuskan untuk berhenti menjadi seorang karyawan dan menjadi seniman.
Langkah tersebut, lanjutnya, bukan berarti menyerah terhadap pasar. “Karya saya jarang dikoleksi kolektor Indonesia,” katanya.
Dia menuturkan bahwa karya yang dihasilkan saat ini berada di sejumlah tempat di luar negeri. Dia pun menilai bahwa kondisi itu yang membuat dirinya tidak sekaya seniman lain di dalam negeri. Meskipn begitu, bagi sang seniman bisa melakukan riset dan berkarya sudah sesuatu yang cukup baginya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.