Pameran Tunggal Suvi Wahyudianto Sajikan Beragam Karya yang Penuh Harapan
06 March 2023 |
22:30 WIB
Pameran tunggal seniman Suvi Wahyudianto resmi dibuka pada Senin, 6 Maret 2023 di CAN'S Gallery. Pameran yang akan berlangsung sampai dengan 6 April 2023 tersebut menampilkan karya-karya berbeda dari sang seniman yang kali ini lebih dominan dengan unsur harapan dan rasa optimisme.
Director CAN’S Gallery Inge Santoso mengatakan karya-karya di pameran kali ini berbeda dengan karya yang dibuat oleh sang seniman pada 2016-2018 silam. "Di sini lebih terlihat suatu harapan," katanya di Jakarta pada Senin malam (6/3/2023).
Baca juga: Refleksi Memori Ruang Seniman Yim Yen Sum dalam Pameran The Shade of Translucency
Dia menuturkan bahwa karya pria kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur itu terlihat sangat optimistis jika dibandingkan dengan karya yang pernah dibuat dahulu. Inge pun mengenal Suvi sebagai sang seniman menjuarai UOB Painting of The Year Indonesia dan juga Asia Tenggara tersebut pada 2018 silam.
Pada saat itu, galeri tertarik dengan pikiran, konsepnya, dan ketajamannya dalam menghasilkan sebuah karya. Sejak itu, dia bersama dengan tim berniat mengundang sang seniman untuk mengadakan suatu pameran.
Pada kesempatan yang sama, Co-founder CAN'S Gallery Tommy Sutomo mengatakan bahwa para pencinta seni perlu melihat secara mendalam untuk memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Suvi dalam karya-karyanya.
Kita harus berbincang terlebih dahulu dengan sang seniman untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikannya. "Kita seringkali melihat karya dari visual dahulu. Dengan suvi ada yang lebih deep," katanya.
Tidak hanya itu, sang seniman juga tercatat merupakan perupa yang berani dalam mengeksplorasi sesuatu yang baru. Selain medium oil on canvas, dia juga menggunakan berbagai media dalam berkarya.
Dia menuturkan langkah tersebut cukup menarik lantaran tidak sama dengan beberapa seniman yang kerap berada di zona nyaman, sehingga tidak melakukan eksplorasi dalam berkarya.
Menurutnya, sejumlah seniman memiliki visual yang menarik dalam berkarya. Namun, tidak secara konseptual.
Untuk diketahui, pameran bertajuk Di Antara Tapal dikurasi oleh Kurator Alia Swastika. Di pameran ini Suvi Wahyudianto merekam sejarah hidupnya dalam kerak emosi yang pekat dalam karya-karyanya.
Alia mengatakan emosi sang seniman terasa terasa sebagai kemarahan melalui karyanya berjudul Angst pada awal mula perjalanan kariernya. Karya itu banyak merefleksikan berbagai peristiwa kekerasan dan pergolakan kemanusiaan yang mempengaruhi kesadaran diri Suvi sebagai manusia.
Bagi Suvi, mereeksikan peristiwa-peristiwa ini adalah membangun momentum ingatan, yang kemudian diwujudkannya dalam puisi dan karya visual.
Menulis puisi menjadi tahap penting dalam metode karya Suvi, seperti upaya awal menemukan kata yang tepat sebagai artikulasi pemikiran, kenangan, perasaan, tetapi juga kesadaran untuk merengkuh persoalan sosial yang lebih kuat.
Karya sang seniman beranjak dari kemarahan menjadi sebuah orkestrasi dari beragam refleksi atas sejarah sosial yang penuh trauma dan menjadi bagian dari kontestasi politik identitas jika mengikuti karya sang seniman, terutama periode ziarahnya ke kawasan Kalimantan yang merupakan tempatnya menelusuri sebuah peristiwa konflik yang sangat bermakna bagi orang Madura.
Meskipun terlihat ada jejak emosional dari karya tersebut, Suvi juga memberikan konteks sosial yang kuat dan penting untuk kita membangun pemahaman atau membuka memori kolektif dalam narasi yang telah sekian lama dikonstruksi oleh kekuasaan.
Bagaimana ruang pertemuan antara jiwa, antar tubuh, antar ingatan, membangun proses untuk membangun persaudaraan dan solidaritas baru, membawa sejarah kelam sebagai masa lalu. “Seperti klise: memaafkan, tapi tidak melupakannya,” katanya.
Jika merentang trajektori romantisisme dari sejarah seni Barat dan membawanya dalam konteks Indonesia, praktik-praktik seni seperti Suvi dibentuk oleh jalan sejarah seni yang unik. Namun, berakar pada konteks-konteks lokal yang membentuk dirinya.
Pandangan dunia Suvi merupakan hasil dari sejarah personal yang mempertemukan latar budaya maritim dan agraris, akar diri sebagai seorang Madura dengan beragam kompleksitasnya, juga pengaruh lanskap dan situasi keseharian yang membangun referensi-referensi estetika tertentu.
Baca juga: Wujud Harapan & Optimisme Seni Rupa dalam Pameran New Hope
Pameran ini merentang perjalanan ziarah Suvi Wahyudianto untuk menata ulang sejarah dirinya secara personal, yang berkelindan dengan berbagai konflik sosial politik dan lanskap antropologis berkait dengan identitasnya sebagai orang Madura, di antara tapal ruang yang terasa dekat dan asing sekaligus.
Editor: Fajar Sidik
Director CAN’S Gallery Inge Santoso mengatakan karya-karya di pameran kali ini berbeda dengan karya yang dibuat oleh sang seniman pada 2016-2018 silam. "Di sini lebih terlihat suatu harapan," katanya di Jakarta pada Senin malam (6/3/2023).
Baca juga: Refleksi Memori Ruang Seniman Yim Yen Sum dalam Pameran The Shade of Translucency
Dia menuturkan bahwa karya pria kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur itu terlihat sangat optimistis jika dibandingkan dengan karya yang pernah dibuat dahulu. Inge pun mengenal Suvi sebagai sang seniman menjuarai UOB Painting of The Year Indonesia dan juga Asia Tenggara tersebut pada 2018 silam.
Pada saat itu, galeri tertarik dengan pikiran, konsepnya, dan ketajamannya dalam menghasilkan sebuah karya. Sejak itu, dia bersama dengan tim berniat mengundang sang seniman untuk mengadakan suatu pameran.
Pada kesempatan yang sama, Co-founder CAN'S Gallery Tommy Sutomo mengatakan bahwa para pencinta seni perlu melihat secara mendalam untuk memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Suvi dalam karya-karyanya.
Kita harus berbincang terlebih dahulu dengan sang seniman untuk mengetahui pesan yang ingin disampaikannya. "Kita seringkali melihat karya dari visual dahulu. Dengan suvi ada yang lebih deep," katanya.
Tidak hanya itu, sang seniman juga tercatat merupakan perupa yang berani dalam mengeksplorasi sesuatu yang baru. Selain medium oil on canvas, dia juga menggunakan berbagai media dalam berkarya.
Dia menuturkan langkah tersebut cukup menarik lantaran tidak sama dengan beberapa seniman yang kerap berada di zona nyaman, sehingga tidak melakukan eksplorasi dalam berkarya.
Menurutnya, sejumlah seniman memiliki visual yang menarik dalam berkarya. Namun, tidak secara konseptual.
Untuk diketahui, pameran bertajuk Di Antara Tapal dikurasi oleh Kurator Alia Swastika. Di pameran ini Suvi Wahyudianto merekam sejarah hidupnya dalam kerak emosi yang pekat dalam karya-karyanya.
Alia mengatakan emosi sang seniman terasa terasa sebagai kemarahan melalui karyanya berjudul Angst pada awal mula perjalanan kariernya. Karya itu banyak merefleksikan berbagai peristiwa kekerasan dan pergolakan kemanusiaan yang mempengaruhi kesadaran diri Suvi sebagai manusia.
Bagi Suvi, mereeksikan peristiwa-peristiwa ini adalah membangun momentum ingatan, yang kemudian diwujudkannya dalam puisi dan karya visual.
Menulis puisi menjadi tahap penting dalam metode karya Suvi, seperti upaya awal menemukan kata yang tepat sebagai artikulasi pemikiran, kenangan, perasaan, tetapi juga kesadaran untuk merengkuh persoalan sosial yang lebih kuat.
Karya sang seniman beranjak dari kemarahan menjadi sebuah orkestrasi dari beragam refleksi atas sejarah sosial yang penuh trauma dan menjadi bagian dari kontestasi politik identitas jika mengikuti karya sang seniman, terutama periode ziarahnya ke kawasan Kalimantan yang merupakan tempatnya menelusuri sebuah peristiwa konflik yang sangat bermakna bagi orang Madura.
Meskipun terlihat ada jejak emosional dari karya tersebut, Suvi juga memberikan konteks sosial yang kuat dan penting untuk kita membangun pemahaman atau membuka memori kolektif dalam narasi yang telah sekian lama dikonstruksi oleh kekuasaan.
Bagaimana ruang pertemuan antara jiwa, antar tubuh, antar ingatan, membangun proses untuk membangun persaudaraan dan solidaritas baru, membawa sejarah kelam sebagai masa lalu. “Seperti klise: memaafkan, tapi tidak melupakannya,” katanya.
Jika merentang trajektori romantisisme dari sejarah seni Barat dan membawanya dalam konteks Indonesia, praktik-praktik seni seperti Suvi dibentuk oleh jalan sejarah seni yang unik. Namun, berakar pada konteks-konteks lokal yang membentuk dirinya.
Pandangan dunia Suvi merupakan hasil dari sejarah personal yang mempertemukan latar budaya maritim dan agraris, akar diri sebagai seorang Madura dengan beragam kompleksitasnya, juga pengaruh lanskap dan situasi keseharian yang membangun referensi-referensi estetika tertentu.
Baca juga: Wujud Harapan & Optimisme Seni Rupa dalam Pameran New Hope
Pameran ini merentang perjalanan ziarah Suvi Wahyudianto untuk menata ulang sejarah dirinya secara personal, yang berkelindan dengan berbagai konflik sosial politik dan lanskap antropologis berkait dengan identitasnya sebagai orang Madura, di antara tapal ruang yang terasa dekat dan asing sekaligus.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.