Penggagas Gerakan Sejuta Budaya, Hokky Situngkir . (Sumber gambar: JIBI)

Hokky Situngkir Konsisten Mendata Warisan Batik

01 August 2022   |   17:43 WIB

Budaya merupakan fundamen penting dari dinamika sosial apapun, baik politik, ekonomi, dll. Selarik kalimat ini menjadi salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh peneliti dan penggagas Gerakan Sejuta Budaya Hokky Situngkir. Sejak 2005, Hokky dikenal konsisten mendata budaya tradisional.

Pada tahun  yang sama, dia mendirikan Bandung Fe  Institute yang fokus perhatiannya untuk  mendata warisan budaya, khususnya batik.  

“Siapa kita [identitas budaya] tertoreh  sebagai kode-kode dalam warisan budaya.  Cara pandang kita ditentukan oleh kode-kode ‘siapa kita’ tersebut. Yang saya  teliti dalam satu dasawarsa  terakhir tentu hanya sebagian  dari apa yang begitu menarik  dalam cakrawala  keberagaman Indonesia yang luas ini,” tuturnya dikutip dari Bisnis Weekend edisi 10 Agustus 2015. 

Baca juga: Makna Filosofis dan Sejarah dari Corak Batik Parang

Menurutnya, pendataan warisan budaya tradisional seperti batik sangat penting. Namun, sangat disayangkan sekian lama merdeka, pendataan budaya belum menjadi agenda penting dari pemerintah.

Hokky prihatin bahwa budaya tradisi masih dilihat semata-mata hanya sebagai tradisi, dan bukan sebagai entitas informasi yang perlu didata untuk memecahkan kode-kode informasi penting tentang identitas dalam negeri.  

Bersama teman-teman peneliti di Bandung Fe Institute, Hokky mulai menerapkan  beragam hipotesis tentang  kompleksitas budaya  tradisional Indonesia,  khususnya batik. Dia menyampaikan metode  ilmiah mensyaratkan bahwa ‘you can’t do science without  data’.

Atas dasar itu pula, maka  dia mencari sentra data batik  se-Indonesia. Hasilnya nihil.  Batik dan aspek budaya  terkotak-kotak.  

“Kemudian saya berpikir, bagaimana dengan elemen budaya yang lain? Bagaimana dengan arsitektur, tari-tarian, lagu tradisional, ornamen, obat dan jamu?  Bukankah kalau metode sains diterapkan pada aspek-aspek yang katanya kuno tersebut akan banyak hal bisa diperoleh,”  tutur penikmat karya musik dari Ludwig van Beethoven hingga musik modern ini.  

Baca juga: Era Soekamto Rilis 111.111 NFT Batik

Beruntung hidup pada era informasi, media  sosial dapat dimanfaatkan untuk menjaring  data dan mengekstrak banyak informasi  menarik dari penelahaan batik. Dari situ, maka muncul gagasan membangun website budaya-indonesia.org. Seperti halnya media sosial, semua orang dapat berpartisipasi melakukan submisi data, termasuk memperbincangan data  budaya.

Media ini memberikan kesempatan  bagi seluruh masyarakat untuk terlibat  dalam proses inventarisasi dan pendataan budaya Indonesia. Hasilnya, hingga saat ini website ini telah berhasil mendokumentasikan lebih dari 33.000 data artefak budaya Nusantara.

Data tersebut  meliputi format gambar untuk motif  kain, ornamentasi, teks untuk cerita rakyat, suara untuk lagu daerah, hingga format video untuk tari an  dan pertunjukan. Data ini dapat  diakses dan digunakan oleh publik.  “Hasilnya luar biasa. Bahkan melampaui apa yang menjadi motivasi awal, yaitu sekadar untuk data penelitian,” terangnya.  

Hokky mengatakan melalui data  ini dapat menunjukkan kekayaan  budaya Indonesia dengan data, yang selanjutnya dapat berlanjut pada agenda  pelestarian budaya. Sebab, melestarikan  budaya tradisional sudah tidak dapat lagi dilakukan secara tradisional semata-mata.  

Semua inovasi kolektif budaya Indonesia  terkumpul di satu meja bernama  Perpustakaan Digital Terbuka Budaya Indonesia. “Pemerintah pun tentunya jadi  bisa terbantu dengan adanya data-data  budaya tersebut, misalnya dalam hal diplomasi terkait hak kekayaan intelektual  yang berhubungan dengan budaya tradisional, dan sebagainya,” katanya.

Hal yang paling membanggakan dari  kacamata Hokky, ternyata anak muda  mendominasi partisipan website budaya- indonesia.org.  

Menurutnya, hal ini mengagetkan karena  sebelumnya dia mengira yang tertarik pada  budaya tradisional terbatas pada kalangan tua. Sebab, banyak anggapan bahwa budaya  tradisional itu adalah sesuatu yang kuno dan kolot.

Baca juga: Trisnayanti Pardede Melestarikan Motif Batak pada Batik

“Kenyataannya justru tidak sama sekali.  Mungkin kesan kolot dan kuno dari budaya  tradisi Indonesia itu ada karena selama ini  memang kaum muda jarang mendapat  peran aktif dalam budaya tradisional itu  sendiri,” ujarnya.  

Fakta bahwa generasi muda banyak yang menaruh perhatian pada proses ini membuatnya tidak lagi khawatir dan berkecil hati bahwa proses pendataan akan terputus di tengah jalan.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

BLACKPINK Umumkan Jadwal Promosi Comeback hingga Akhir 2022

BERIKUTNYA

Resmi Rilis di Indonesia, Amazon Prime Video Buka Rincian Konten Perdana

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: