Melihat Perjalanan Penyair Sapardi Djoko Damono di Pameran Urban Masters
28 July 2022 |
15:32 WIB
Sapardi Djoko Damono adalah salah seorang penyair ternama Indonesia. Seniman kelahiran Surakarta tersebut dinilai telah memperkaya tonggak sastra dan pemikiran kebudayaan di dalam negeri melalui karya-karya yang dihasilkannya.
Ketertarikan Sapardi terhadap sastra sudah terlihat saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), dan terus berlanjut hingga akhir hayatnya.
Berikut perjalanan kesastraan penyair Sapardi Djoko Damono yang dirangkum Hypeabis.id dari pameran arsip Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto.
Baca juga: Sastrawan Gol A. Gong Selenggarakan Safari Literasi
Sapardi Djoko Damono adalah putra pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sapardi, begitu sang seniman kerap disapa, lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta.
Sang seniman sudah mulai menulis karya sastra sejak duduk di bangku SMP dan SMA atau pada periode 1952 – 1958. Pada saat itu, dia menulis puisi dan cerita pendek untuk sejumlah media, seperti Mimbar Indonesia.
Sapardi yang masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMA mengirimkan sajak untuk lembar Seni dan Kebudayaan di Mimbar Indonesia pada Agustus 1958 dengan judul Ulang Tahun dan LIburan. Dua sajak itu kemudian dimuat pada November 1958.
Dari sajak berjudul Ulang Tahun dan Liburan, sang seniman terlihat telah mulai membangun fondasi sajak liris yang kuat [penuh perasaan]. Dari sajak berjudul Ulang Tahun, sang seniman yang baru duduk di bangku sekolah sudah memiliki pikiran yang cukup jauh dalam memberikan arti pada momentum ulang tahun yang remeh.
Tidak hanya itu, Sapardi juga memperlihatkan bait-batik sajak yang matang, utuh dan saling mengutuhkan dalam sajak berjudul Ulang Tahun tersebut. Kualitas itu pun terdapat pada sajak berjudul Liburan.
Dua sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia telah menyulut semangat sang seniman. Dia bahkan membuat banyak karya pada bulan-bulan berikutnya, termasuk 13 sajak pendek yang ditulis dalam satu malam.
Baca juga: Cara Jenaka Seniman Otto Djaya Mengkritik Masalah Sosial
Pada 1959, sang seniman berpindah dari Surakarta ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM). Sajak-sajak pendek yang kerap ditulis oleh sang seniman pun berlanjut sampai awal 1959.
Dengan melihat sajak yang dibuat, maka terlihat bahwa sang seniman berlatih membuat pengucapan yang padat dengan bahan yang dimiliki untuk membangun imaji yang diambil dari lingkungan sekitarnya sebagai seorang pelajar.
Selain itu, kenangan masa kanak-kanak pun kerap menjadi materi penting bagi sang seniman dalam membuat karya.
Kemahiran Sapardi dalam membuat sajak liris dapat terlihat pada 1960. Dalam sajak berjudul buat DZI, sang seniman mempurifikasi kecengengan cinta remaja melalui kemampuan mengendalikan perasaan dan kedalaman permenungan. Namun, tetap terasa wajar.
TEMA SOSIAL
Sang seniman mulai intensif menggarap tema sosial, yakni tentang orang-orang kecil dalam sajak yang dibuat pada 1962-1963. Tulisan tentang tema sosial tentang orang-orang kecil atau kesenjangan sosial yang terjadi dapat terlihat dalam sajak berjudul Buka Pintu.
Pemilihan tema sang seniman dalam membuat sajak yang meluas telah terlihat dari 1960an. Kondisi itu dapat terjadi mengingat sang seniman sudah mulai menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, dan meninggalkan periode Surakarta.
Pilihan tema dalam membuat sajak oleh sang seniman pun kian meluas dan mendalam sejak 1964. Tema itu dapat terlihat dari karya berjudul Pada Penguburan, Pada Kelahran, Lambang, dan Djakarta.
“Kecenderungan yang terus dia lanjutkan pada 1965,” demikian tertulis dalam pameran itu.
Sebagai puncak, Sapardi menuliskan sajak untuk pemimpin perjuangan kemerdekaan, yakni Kongo Patrice Lumumba dalam karya berjudul Sadjak bagi Lumumba.
Pada 1969, Pelukis Jeihan menerbitkan buku kumpulan puisi Sapardi dengan judul Dukamu Abadi. Puisi-puisi yang terdapat pada buku ini adalah puisi yang ditulis antara 1967 dan 1968 yang dikumpulkan dari berbagai media masa.
Kemudian, Sapardi belajar Humanities di University of Hawaii pada 1970-1971. Lalu, dia menjadi redaktur majalah sastra Horison pada 1973. Setahun berselang, sang seniman mulai mengajar di fakultas sastra Universitas Indonesia.
Baca juga: Paul Cézanne, Seniman Paling Berpengaruh Pada Abad 20
Sejumlah penghargaan telah didapat oleh sang seniman. Masih dalam pameran, sang seniman pernah menerima hadiah dari Majalah Basis atas karya puisi berjudul Ballada Matinya Seorang Pemberontak pada 1963.
Pada 1978, sang seniman juga menerima Cultural Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, buku Sihir Hujan memperoleh hadiah Anugerah Puisi-puisi Putera II dari Malaysia. Satu tahun kemudian, buku Perahu Kertas menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
Pada 1986, Sapardi menerima hadiah SEA Write Award dari Thailand. Dia juga menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990. Pada 1996, sang seniman menerima Kalyana Kretya dari Menristek.
Sapardi kemudian menerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers and Readers Festival pada 2018. Sang seniman menghembuskan nafas terakhir pada 19 Juli 2020, dan dimakamkan di Giri Tonjong, Bogor.
Editor: Fajar Sidik
Ketertarikan Sapardi terhadap sastra sudah terlihat saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), dan terus berlanjut hingga akhir hayatnya.
Berikut perjalanan kesastraan penyair Sapardi Djoko Damono yang dirangkum Hypeabis.id dari pameran arsip Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto.
Baca juga: Sastrawan Gol A. Gong Selenggarakan Safari Literasi
Sapardi Djoko Damono adalah putra pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sapardi, begitu sang seniman kerap disapa, lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta.
Sang seniman sudah mulai menulis karya sastra sejak duduk di bangku SMP dan SMA atau pada periode 1952 – 1958. Pada saat itu, dia menulis puisi dan cerita pendek untuk sejumlah media, seperti Mimbar Indonesia.
Sapardi yang masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMA mengirimkan sajak untuk lembar Seni dan Kebudayaan di Mimbar Indonesia pada Agustus 1958 dengan judul Ulang Tahun dan LIburan. Dua sajak itu kemudian dimuat pada November 1958.
Dari sajak berjudul Ulang Tahun dan Liburan, sang seniman terlihat telah mulai membangun fondasi sajak liris yang kuat [penuh perasaan]. Dari sajak berjudul Ulang Tahun, sang seniman yang baru duduk di bangku sekolah sudah memiliki pikiran yang cukup jauh dalam memberikan arti pada momentum ulang tahun yang remeh.
Tidak hanya itu, Sapardi juga memperlihatkan bait-batik sajak yang matang, utuh dan saling mengutuhkan dalam sajak berjudul Ulang Tahun tersebut. Kualitas itu pun terdapat pada sajak berjudul Liburan.
Dua sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia telah menyulut semangat sang seniman. Dia bahkan membuat banyak karya pada bulan-bulan berikutnya, termasuk 13 sajak pendek yang ditulis dalam satu malam.
Baca juga: Cara Jenaka Seniman Otto Djaya Mengkritik Masalah Sosial
Pada 1959, sang seniman berpindah dari Surakarta ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM). Sajak-sajak pendek yang kerap ditulis oleh sang seniman pun berlanjut sampai awal 1959.
Dengan melihat sajak yang dibuat, maka terlihat bahwa sang seniman berlatih membuat pengucapan yang padat dengan bahan yang dimiliki untuk membangun imaji yang diambil dari lingkungan sekitarnya sebagai seorang pelajar.
Selain itu, kenangan masa kanak-kanak pun kerap menjadi materi penting bagi sang seniman dalam membuat karya.
Kemahiran Sapardi dalam membuat sajak liris dapat terlihat pada 1960. Dalam sajak berjudul buat DZI, sang seniman mempurifikasi kecengengan cinta remaja melalui kemampuan mengendalikan perasaan dan kedalaman permenungan. Namun, tetap terasa wajar.
TEMA SOSIAL
Sang seniman mulai intensif menggarap tema sosial, yakni tentang orang-orang kecil dalam sajak yang dibuat pada 1962-1963. Tulisan tentang tema sosial tentang orang-orang kecil atau kesenjangan sosial yang terjadi dapat terlihat dalam sajak berjudul Buka Pintu.
Pemilihan tema sang seniman dalam membuat sajak yang meluas telah terlihat dari 1960an. Kondisi itu dapat terjadi mengingat sang seniman sudah mulai menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, dan meninggalkan periode Surakarta.
Pilihan tema dalam membuat sajak oleh sang seniman pun kian meluas dan mendalam sejak 1964. Tema itu dapat terlihat dari karya berjudul Pada Penguburan, Pada Kelahran, Lambang, dan Djakarta.
“Kecenderungan yang terus dia lanjutkan pada 1965,” demikian tertulis dalam pameran itu.
Sebagai puncak, Sapardi menuliskan sajak untuk pemimpin perjuangan kemerdekaan, yakni Kongo Patrice Lumumba dalam karya berjudul Sadjak bagi Lumumba.
Pada 1969, Pelukis Jeihan menerbitkan buku kumpulan puisi Sapardi dengan judul Dukamu Abadi. Puisi-puisi yang terdapat pada buku ini adalah puisi yang ditulis antara 1967 dan 1968 yang dikumpulkan dari berbagai media masa.
Kemudian, Sapardi belajar Humanities di University of Hawaii pada 1970-1971. Lalu, dia menjadi redaktur majalah sastra Horison pada 1973. Setahun berselang, sang seniman mulai mengajar di fakultas sastra Universitas Indonesia.
Baca juga: Paul Cézanne, Seniman Paling Berpengaruh Pada Abad 20
Sejumlah penghargaan telah didapat oleh sang seniman. Masih dalam pameran, sang seniman pernah menerima hadiah dari Majalah Basis atas karya puisi berjudul Ballada Matinya Seorang Pemberontak pada 1963.
Pada 1978, sang seniman juga menerima Cultural Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, buku Sihir Hujan memperoleh hadiah Anugerah Puisi-puisi Putera II dari Malaysia. Satu tahun kemudian, buku Perahu Kertas menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
Pada 1986, Sapardi menerima hadiah SEA Write Award dari Thailand. Dia juga menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990. Pada 1996, sang seniman menerima Kalyana Kretya dari Menristek.
Sapardi kemudian menerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers and Readers Festival pada 2018. Sang seniman menghembuskan nafas terakhir pada 19 Juli 2020, dan dimakamkan di Giri Tonjong, Bogor.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.