Abdul Hadi W.M. dan Pentingnya Kritikus dalam Ekosistem Sastra
04 February 2024 |
01:06 WIB
Maestro Abdul Hadi W.M mewarnai dunia sastra Indonesia tidak hanya dengan sajak-sajak bertema sufistiknya yang memukau. Penyair angkatan 70 ini juga mengambil peran penting lain, yakni kritikus. Lewat ulasan karya yang dilakukannya, dia turut membentuk ekosistem sastra di Indonesia ini menjadi lebih sehat.
Komite Sastra DKJ Fadjriah Nurdiasih mengatakan bahwa peran Hadi sebagai kritikus sastra menjadi bagian menarik lain yang tentu mesti juga disorot, selain dari karya sajak-sajaknya. Perempuan yang karib disapa Mpok Yah ini menemukan jejak-jejak tersebut terjadi pada 1984-1990.
Pada periode tersebut, ada yang namanya "Temu Sastra". Ini adalah wadah unik yang tercipta untuk para penyair dan sastrawan bertukar pikiran atau bahkan memunculkan polemik, tentu dalam tahapan yang sehat. Ini kemudian juga menciptakan istilah angkatan, seperti angkatan 45, 70, dan sebagainya.
Baca juga: Semangat Kembali ke Akar dalam Karya Sastra Abdul Hadi WM
Mpok Yah mengatakan bahwa Hadi, selain menulis sajak, dia juga kerap mengulas sebuah karya dari seniman lain di media massa. Misalnya, ketika Hadi menjadi pengasuh rubrik sastra di koran Berita Buana. Tulisan-tulisan di dalamnya kerap menawarkan sudut pandang baru dan perspektif yang segar.
Lewat esai-esainya, Hadi mencoba menjelaskan sebuah karya menjadi kontekstual dan mencantel pada perkembangan kesusastraan Indonesia yang pada waktu itu semarak dengan berbagai usaha eksperimentasi. Peran ini kemudian secara tak langsung menyehatkan ekosistem sastra.
"Orang kerap memandang kata 'kritik' selaku bernuansa jelek, tetapi kritikus sebenarnya punya peran penting untuk menunjukkan kekuatan dari karya itu. Pak Abdul Hadi melakukan itu dengan baik, seperti saat dia menjelaskan arti dari 'Dilarang Mencintai Bunga-bunga' karya Kuntowijoyo itu apa hingga makrifat-nya Danarto itu seperti apa," terang Mpok Yah kepada Hypeabis.id saat ditemui sesuai diskusi Abdul Hadi W.M Dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan, dan Kebangsaan di TIM, Jakarta, Sabtu (3/2/2024).
Menurutnya, kritikus bisa dengan jeli melihat apa yang ada di dalam sebuah karya, kepentingan yang menyertainya, keunggulan, bahkan hal-hal yang dinilai kurang. Peran ini pada akhirnya mendorong si seniman untuk memunculkan karya-karya baru yang diharapkan lebih monumental dari apa yang telah ada atau yang telah dikritik tersebut.
Bagi seniman lain, mereka juga bisa belajar dari karya-karya sebelum mereka, dan diharapkan keseniannya pun menawarkan estetika lebih. Oleh karena itu, kritikus sebenarnya membuat sehat ekosistem. Mpok Yah menyebut salah besar jika kritikus dianggap tidak penting karena hanya mengkritik saja.
Segendang sepenarian, pengamat sastra Maman S Mahayana mengatakan kritikus punya peran krusial dalam perkembangan ekosistem sastra. Sebab, kritikus akan mengungkapkan kelebihan dan kekurangan sebuah karya, suatu hal yang mungkin luput dari awam.
Hal ini penting agar estetika sebuah karya bisa terus terjaga. Jika tidak, orang akan sembarangan menulis tanpa pernah mencapai titik estetika tertentu. Bagi Maman, Hadi telah melakukan tugas itu dengan sangat baik.
Dalam konteks rubrik sastra di Berita Budaya, Hadi sebagai pengelola tulisan di dalamnya telah membuat berbagai terobosan menarik. Selain memuat puisi dan cerpen, esai-esai sastra di surat kabar itu menawarkan cara pandang yang agak tidak lazim, merangsang pengetahuan, dan bernuansa polemis.
"Tidak lama setelah hiruk-pikuk esai-esai di Berita Buana, muncul pula rubrik Khazanah di harian Pelita. Pengisi paling rajin rubrik itu, tidak lain adalah Abdul Hadi WM," tuturnya.
Baca juga: Kabar Duka, Sastrawan Abdul Hadi W.M. Meninggal Dunia Usia 77 Tahun
Di sisi lain, Abdul Hadi juga sangat gigih dalam menerjemahkan sejumlah besar karya mereka dan mengantarkannya dalam uraian yang luas dan mendalam, telah menjadikan puisi-puisi sufistik, tidak lagi berada nun jauh di sana.
Karya-karya para aulia itu lantas jadi bacaan yang memberi inspirasi pada sejumlah besar penyair Angkatan 70-an. Dekade ini pun kemudian dianggap Maman menjadi periode keberagaman dan berwarna dari perjalanan sastra Indonesia.
Editor: Fajar Sidik
Komite Sastra DKJ Fadjriah Nurdiasih mengatakan bahwa peran Hadi sebagai kritikus sastra menjadi bagian menarik lain yang tentu mesti juga disorot, selain dari karya sajak-sajaknya. Perempuan yang karib disapa Mpok Yah ini menemukan jejak-jejak tersebut terjadi pada 1984-1990.
Pada periode tersebut, ada yang namanya "Temu Sastra". Ini adalah wadah unik yang tercipta untuk para penyair dan sastrawan bertukar pikiran atau bahkan memunculkan polemik, tentu dalam tahapan yang sehat. Ini kemudian juga menciptakan istilah angkatan, seperti angkatan 45, 70, dan sebagainya.
Baca juga: Semangat Kembali ke Akar dalam Karya Sastra Abdul Hadi WM
Mpok Yah mengatakan bahwa Hadi, selain menulis sajak, dia juga kerap mengulas sebuah karya dari seniman lain di media massa. Misalnya, ketika Hadi menjadi pengasuh rubrik sastra di koran Berita Buana. Tulisan-tulisan di dalamnya kerap menawarkan sudut pandang baru dan perspektif yang segar.
Lewat esai-esainya, Hadi mencoba menjelaskan sebuah karya menjadi kontekstual dan mencantel pada perkembangan kesusastraan Indonesia yang pada waktu itu semarak dengan berbagai usaha eksperimentasi. Peran ini kemudian secara tak langsung menyehatkan ekosistem sastra.
"Orang kerap memandang kata 'kritik' selaku bernuansa jelek, tetapi kritikus sebenarnya punya peran penting untuk menunjukkan kekuatan dari karya itu. Pak Abdul Hadi melakukan itu dengan baik, seperti saat dia menjelaskan arti dari 'Dilarang Mencintai Bunga-bunga' karya Kuntowijoyo itu apa hingga makrifat-nya Danarto itu seperti apa," terang Mpok Yah kepada Hypeabis.id saat ditemui sesuai diskusi Abdul Hadi W.M Dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan, dan Kebangsaan di TIM, Jakarta, Sabtu (3/2/2024).
Menurutnya, kritikus bisa dengan jeli melihat apa yang ada di dalam sebuah karya, kepentingan yang menyertainya, keunggulan, bahkan hal-hal yang dinilai kurang. Peran ini pada akhirnya mendorong si seniman untuk memunculkan karya-karya baru yang diharapkan lebih monumental dari apa yang telah ada atau yang telah dikritik tersebut.
Bagi seniman lain, mereka juga bisa belajar dari karya-karya sebelum mereka, dan diharapkan keseniannya pun menawarkan estetika lebih. Oleh karena itu, kritikus sebenarnya membuat sehat ekosistem. Mpok Yah menyebut salah besar jika kritikus dianggap tidak penting karena hanya mengkritik saja.
Segendang sepenarian, pengamat sastra Maman S Mahayana mengatakan kritikus punya peran krusial dalam perkembangan ekosistem sastra. Sebab, kritikus akan mengungkapkan kelebihan dan kekurangan sebuah karya, suatu hal yang mungkin luput dari awam.
Hal ini penting agar estetika sebuah karya bisa terus terjaga. Jika tidak, orang akan sembarangan menulis tanpa pernah mencapai titik estetika tertentu. Bagi Maman, Hadi telah melakukan tugas itu dengan sangat baik.
Dalam konteks rubrik sastra di Berita Budaya, Hadi sebagai pengelola tulisan di dalamnya telah membuat berbagai terobosan menarik. Selain memuat puisi dan cerpen, esai-esai sastra di surat kabar itu menawarkan cara pandang yang agak tidak lazim, merangsang pengetahuan, dan bernuansa polemis.
"Tidak lama setelah hiruk-pikuk esai-esai di Berita Buana, muncul pula rubrik Khazanah di harian Pelita. Pengisi paling rajin rubrik itu, tidak lain adalah Abdul Hadi WM," tuturnya.
Baca juga: Kabar Duka, Sastrawan Abdul Hadi W.M. Meninggal Dunia Usia 77 Tahun
Di sisi lain, Abdul Hadi juga sangat gigih dalam menerjemahkan sejumlah besar karya mereka dan mengantarkannya dalam uraian yang luas dan mendalam, telah menjadikan puisi-puisi sufistik, tidak lagi berada nun jauh di sana.
Karya-karya para aulia itu lantas jadi bacaan yang memberi inspirasi pada sejumlah besar penyair Angkatan 70-an. Dekade ini pun kemudian dianggap Maman menjadi periode keberagaman dan berwarna dari perjalanan sastra Indonesia.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.