Salah satu karya seniman Otto Djaya, "Kerokan." (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Cara Jenaka Seniman Otto Djaya Mengkritik Masalah Sosial

27 June 2022   |   16:01 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Pameran berjudul 100 Tahun Otto Djaya (1916-2022) yang digelar di Galeri Nasional, Jakarta, pada Oktober 2016, menjadi penanda bahwa kiprah seniman Otto Djaya begitu berpengaruh bagi sejarah seni rupa Indonesia. Lewat karya-karyanya, dia mengkritik persoalan sosial dengan cara jenaka. 

Kejenakaan muncul dari cara Otto menyisipkan tokoh-tokoh Punakawan seperti Petruk dan Gareng ke dalam lukisan-lukisannya. Kedua tokoh pewayangan itu selama ini dikenal sebagai penebar humor untuk mencairkan suasana. Lewat kedua tokoh itu Otto menyelipkan simbol dan nasihat yang mudah dinikmati dan jauh dari memerahkan telinga. 
 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Lukisan berjudul Perang Terhadap Korupsi (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Coba simak lukisan berjudul Perang Terhadap Korupsi (cat minyak pada kanvas, 90x140 cm, 1999). Karya Otto ini menggambarkan ratusan massa demonstran tengah mengejar para tikus berdasi yang berlari menjinjing koper berisi uang. Di tengah kerumunan massa terlihat sosok petruk yang turut mengejar tikustikus berdasi. 

Dari sini terlihat bagaimana Otto menyikapi realitas sosial saat reformasi tengah digaungkan. Sebelum lukisan ini, Otto pun telah membuat lukisan serupa yang berjudul Memberantas Para Koruptor (akrilik pada kanvas, 84x142 cm, 1993). 

Figur-figur pada lukisan masih sama, bedanya tak terlihat sosok punakawan. Meskipun demikian, dari karya tersebut terlihat jelas bahwa isu perlawanan terhadap korupsi sudah menggema pada masa Orde Baru masih berkuasa. Tema ini masih tetap relevan hingga saat ini, ketika banyak elit politik tersandung permasalahan korupsi. 

“Petruk itu potret sosok Otto Djaya sendiri. Sementara itu, Gareng adalah kakaknya [Agus Widjaya],” ujar kurator pameran Rizki A. Zaelani .

Menurutnya, tema-tema pewayangan pada karya-karya Otto merupakan bentuk pencarian identitas sang seniman. 

Selepas pendudukan Jepang, seniman-seniman di Indonesia termasuk Otto umumnya tertarik mengangkat identitas-identitas ketimuran pada karya-karyanya. “Memang tak sedikit seniman Indonesia yang mengangkat tema pewayangan, tetapi Otto menampilkannya secara khas seakan-akan kita hidup di bentangan kisah pewayangan,” tuturnya. 

Mengangkat cerita kehidupan seharihari, lukisan-lukisan karya Otto begitu dekat dengan kita. Otto melukiskan fenomena sosial kemasyarakatan yang terjadi pada saat itu. Misalnya, pada lukisan Paranormal (akrilik pada kanvas, 90x140 cm, 1994), secara gamblang mengungkapkan praktik perdukunan yang masih kental di tengah-tengah masyarakat. Kali ini Petruk berperan sebagai dukun pada lukisan tersebut, sedang Gareng menjadi asistennya. 
 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Lukisan Paranormal (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Hal-hal berbau klenik seperti ini tentu sudah bagian dari kepercayaan masyarakat Indonesia. Di era digital sekarang pun masih ada orang yang mempercayai hal-hal takhayul. Buktinya hingga kini masih ada segelintir masyarakat yang terjebak pada tipu muslihat penggandaan uang.

 Di lukisan lainnya, Di Tempat Hiburan (akrilik pada kanvas, 89x137 cm, 1998), terlihat sosok Petruk tengah mengenalkan tiga perempuan kepada dua orang pria. Melalui karyanya ini Otto mencoba menyoroti praktik prostitusi. Praktik ini tentu sudah menjadi rahasia umum, keberadaanya terus menuai pro dan kontra. 
 

Lukisan Di Tempat Hiburan (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Lukisan Di Tempat Hiburan (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Sempat dilegalkan di Ibu kota, kemudian digusur karena dianggap meresahkan tetapi tetap berjalan meski secara sembunyi-sembunyi. Petruk dan Gareng seakan menjadi aktor utama dalam karya-karya Otto.

Beragam tokoh diperankan kedua Punakawan itu, salah satunya menjadi pahlawan. Hal itu terlihat pada lukisan Petruk, Gareng Banjir (akrilik pada kanvas, 88x142 cm, 1999).  Lukisan ini menggambarkan Petruk sedang membopong seorang wanita, sementara Gareng menggendong seorang ibu dan anak di tengah-tengah situasi banjir. Tetapi lukisan ini cukup menggelitik karena Petruk menyelamatkan wanita cantik, sedangkan Gareng bersusah payah menggendong ibu dan anak.

Selain para Punakawan, Otto juga gemar menggambar figur wanita. Entah itu sebagai bidadari atau wanita biasa. Seperti yang terlihat pada karya Mandi di Danau (akrilik pada kanvas, 89x141 cm, 1993). Lukisan tersebut menggambarkan lima empat wanita sedang mandi di danau, satu wanita lainnya hanya duduk di tepi danau. Di balik pohon, tampak Petruk dan Gareng tengah mengintip wanitawanita tersebut.  “Wanita-wanita ini bisa diartikan sebagai harapan atau nasib yang baik,” kata kurator Rizki.

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Semasa hidupnya, Otto pernah menjadi pejuang kemerdekaan. Karenanya dia pun tak lupa dengan kenangan-kenangan tersebut. Otto melukiskan kembali pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam karya-karyanya seperti yang tampak pada lukisan, Pidato Presiden Soekarno (cat minyak pada kanvas, 100 x 160 cm, 1961).  Lukisan memperlihatkan orasi Bung Karno di hadapan kerumunan massa. “Otto berusaha merekonstruksi ingataningatannya tersebut,” ujar Rizki. 
 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)
 

Sosok Humoris

Figur-figur Punakawan rupanya tak lepas dari sifat Otto yang humoris. Asoka Djaya, anak ketiga Otto mengakui ayahnya itu memiliki sifat humoris tetapi lebih pendiam ketimbang kakaknya, Agus Djaya. “Pak Otto [Djaya] lebih pendiam. Beliau melukis saja tidak begiktu aktif berorganisasi. Berbeda dengan kakaknya [Agus Djaya] yang aktif berorganisasi,” tuturnya. 

Inge-Marie Holst dalam bukunya, Dunia Sang Otto Djaya, 1916-2002, menyebutkan kemunculan Otto sebagai pelukis terjadi di akhir 1930-an di bawah bimbingan sang kakak, Agus Djaya. Otto dan Agus, keduanya pernah pergi belajar dan bekerja sebagai seniman di negeri Belanda pada 1947-1950.

Beberapa kali mereka berkesempatan untuk menggelar pameran di Eropa. Di awal 1938, Agus Djaya dan S. Sudjojono secara resmi mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) untuk menandai perkembangan gaya artistik khas Indonesia.

Otto yang kala itu berusia 22 tahun tidak langsung bergabung ke Persagi kemungkinan karena jiwanya yang independen, dan memilih melukis dengan gayanya sendiri. Pada pameran ini sebagian besar karya yang dipamerkan berasal dari tahun 90-an. Asoka mengatakan pihak keluarga masih menyimpan karya-karya Otto yang dibuat pada tahun pada periode 1960 hingga 1970-an.

Inge Marie-Holst mengatakan Otto Djaya begitu menonjol dibanding rekan sesama seniman. Dalam berkarya Otto tidak mengikuti arus tren seni rupa, tetapi tumbuh dengan gayanya tersendiri. “Dia [Otto Djaya] sangat analitis terhadap kemanusiaan, termasuk dirinya sendiri. Selain itu dia mampu menyintesis keindahan alam, mitos, cerita rakyat, dan sindiran."

SEBELUMNYA

Agar Ideal, Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Pulau Komodo Dibatasi

BERIKUTNYA

6 Film & Serial Terbaik Park Bo-gum, Drama Keluarga hingga Romantis Komedi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: