Menyelami Dunia Para Penulis
20 May 2022 |
10:00 WIB
Fiksi dan realita kehidupan
Penulis buku fiksi Asmayani Kusrini mengatakan berbeda dengan buku non-fiksi, buku-buku fiksi merupakan imaji cerita dari si penulis. Kendati begitu, ada banyak cerita fiksi yang merupakan penerjemahan sebuah ide atau isu yang eksis di dunia nyata.
Menurutnya, fiksi banyak menjadi jembatan untuk para penulis dan pembaca membahas isu-isu sensitif dalam kehidupan masyarakat, yang seringkali sulit dibicarakan dalam konteks riil sehingga diperlukan contoh dalam bentuk penceritaan, yang juga lebih mudah dipahami.
Baca juga: 7 Buku Inspiratif untuk Momen Hari Perempuan Internasional
Novel Siri (2021) yang ditulis Rini misalnya, mengangkat tema besar harga diri suku atau etnis Bugis dengan dibumbui banyak isu yang cukup sensitif seperti pembahasan mengenai poligami hingga isu konflik yang terjadi di Papua.
Begitu juga dengan buku lainnya Misi (2021) yang banyak membahas isu mengenai perempuan dan adat yang cukup kental dari wilayah Toraja. “Kalau sebagai jurnalis, artikel yang ditulis itu terbatas baik di koran, majalah, atau bahkan blog. Sementara ada hal subtil yang orang harus pahami juga. Jadi sepertinya fiksi adalah satu-satunya jalan untuk menjelaskan hal yang tidak tertampung itu,” katanya.
Kendati merupakan cerita buatan atau fiksi, Rini menyatakan bahwa dia melakukan riset yang cukup mendalam untuk memahami konteks dan latar belakang dunia yang ditulisnya. Termasuk dari berbagai literatur dalam dan luar negeri.
Bagaimanapun, cerita fiksi khususnya yang mengambil sebuah tempat atau wilayah nyata tidak bisa lepas dari kondisi riilnya, baik sejarah maupun situasi sosial budayanya. Untuk itu, riset menjadi bahan penting guna menguatkan tulisan dan memperkaya wawasan penulis.
Tip menulis lain yang benar-benar diterapkannya adalah terus menulis semua ide dan gagasan yang ada di kepala, tanpa memikirkan konsekuensi berikutnya. Dalam konteks tulisan-tulisannya adalah kontroversi isu yang diangkat.
Menurutnya, cara ini akan menghasilkan tulisan yang jelas tentang posisi penulis terhadap sebuah isu. Baru setelah rampung, bisa dimintakan pendapat dari orang lain yang mengerti tentang isu yang dibahas.
“Nanti di penerbit juga akan dilakukan screening, ada bagian yang dipotong, diedit. Itu [hasil akhirnya] sudah melalui berbagai tahapan pengecekan. Jadi awalnya semua dituangkan, meski setelahnya diperhalus. Bukan berniat menghilangkan kontroversi juga, tapi aku sebagai penulis pengen punya ide yang jelas,” katanya.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.