A Fold in Time: Pameran yang Mengajak Memikirkan Ulang Tradisi & Wisata
04 June 2025 |
20:56 WIB
Sebuah lukisan perempuan dalam pose melengkung seperti kayang menyita perhatian di dinding ISA Art Gallery, Jakarta. Mengenakan busana adat Bali, dia tampak tengah menari dalam kondisi trance—sebuah gambaran magis dari ritual tradisional yang sarat makna spiritual.
Di bawah figur utama, lanskap persawahan terpampang dalam nuansa lengang. Seorang petani membajak sawah bersama dua ekor kerbau, di bawah langit senja yang temaram. Imaji itu seperti menjadi puisi visual tentang hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasatmata.
Baca juga: Menelusuri Dunia Mistis & Imajinatif dalam Pameran Subliminal Maya, di Ruci Art Space
Lukisan tersebut berjudul Sang Hyang Dedari, karya seniman Bali, Luh’ De Gita. Diciptakan pada 2025, karya ini tidak hanya memvisualisasikan ritual tolak bala yang dilakukan masyarakat Bali sebelum musim panen padi, namun juga mengandung kritik tajam terhadap wajah industri pariwisata.
“Sang Hyang Dedari adalah refleksi dari bagaimana kesenian dan budaya Bali terus-menerus dikomodifikasi sebagai eksotisme untuk konsumsi wisatawan,” ujar Luh’ De Gita. Namun, seniman tradisional yang menjadi tulang punggung justru hidup dalam kondisi yang timpang. “Banyak dari mereka menerima upah jauh di bawah standar hidup yang layak," imbuhnya.
Lukisan ini menjadi salah satu karya unggulan dalam pameran A Fold in Time, yang berlangsung di ISA Art Gallery pada 15 April hingga 20 Juni 2025. Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antara tiga galeri seni lintas negara: MONO8 (Manila), ISA Art Gallery (Jakarta), dan Richard Koh Fine Art (Singapura/Bangkok).
Selain Luh’ De Gita, pameran ini juga menampilkan karya dari 11 seniman perempuan lainnya, yakni Aimi Kaiya, Eunice Sanchez, Goldie Poblador, Ines Katamso, Issay Rodriguez, Jill Paz, Kelli Maeshiro, Liu Hsin-Ying, Rose Cameron, Sinta Tantra, dan Wah Nu.
Kurator James Luigi Tana menyebut tajuk A Fold in Time dipilih sebagai upaya menyatukan perupa lintas disiplin dari Asia Tenggara, dalam satu ruang dan momen yang memungkinkan berbagai waktu, pengalaman, serta konteks sosial bertemu melalui karya seni.
“Pameran ini menjadi titik temu penting dalam lanskap seni kontemporer Asia Tenggara—di mana para seniman beroperasi dalam kerangka yang menyoroti irisan antara waktu, sejarah, dan ekspresi personal,” ujarnya.
Baca juga: 5 Pameran Seni Juni 2025 di Jakarta yang Sayang untuk Dilewatkan
Selain isu tentang tradisi dan kolonialisme, ada banyak tema yang diungkai para perupa dalam memaknai tajuk yang disodorkan kurator. Kendati begitu, tema pelestarian tradisi dan budaya, sepertinya menjadi motif sentral yang dieksplorasi para seniman dalam praktik mereka.
Salah satunya hadir dalam pendekatan Jill Paz, perupa asal Filipina lewat karya berjudul Grove with Guardian (laser-carved cardboard, 107 x 66 cm, 2024). Menggunakan kardus sebagai material utama, sang seniman menggambar rimbunan pohon dengan teknik laser.
Uniknya, selain memanfaatkan fotografi dan lukisan, saat diamati dalam jarak dekat gambar-gambarnya tampak berpiksel dalam ukuran-ukuran kecil. Kendati begitu, saat diamati dari jarak jauh, pengunjung baru dapat melihat secara keseluruhan objek yang ingin dibagikan pada publik.
"Praktik artistik Jil Paz memang dipengaruhi oleh hubungannya dengan tanah airnya sebagai Balikbayan, atau 'orang yang kembali ke rumah' dalam bahasa Tagalog. Sebab, dia sempat belajar seni ke Amerika," kata James Luigi.
Lain lagi karya Ines Katamso, bertajuk Terraphytic Narrative 4 (soil on handwoven cotton, 125 cm x 155 cm, 2025). Perupa asal Prancis yang kini mukim di Bali, itu mencoba menggabungkan ilmu paleontologi dengan kisah-kisah mitologi kuno, salah satunya lewat gambar fosil Antaboga.
Antaboga merupakan ular purba dari mitologi Jawa dan Bali yang terkait dengan bumi dan dunia bawah. Dalam tradisi di Nusantara, naga Antaboga merupakan simbol keseimbangan dan kekuatan siklus alam, yang kemudian dielaborasi menjadi tema-tema utama sang pelukis.
Memanfaatkan bahan-bahan alami seperti tanah dan limbah manusia, Ines seperti sedang mengkritisi dualitas interaksi manusia dengan lingkungan. Lain dari itu, sang seniman juga mencari titik temu antara sains dan mitologi sebagai dua hal yang tidak bertolak belakang, tapi berhubungan.
"Mitos-mitos ini juga berfungsi sebagai alat untuk memahami hal yang tidak diketahui, sama seperti sains saat ini yang tidak selalu benar secara mutlak," katanya dikutip dari deskripsi karya.
Baca juga: Guntur Soekarno Gelar Pameran Spesial Sambut Bulan Bung Karno di Galnas
Eksplorasi medium dengan pendekatan berbeda juga hadir dalam patung kaca Goldie Poblador dan konstruksi media campuran Sinta Tantra. Goldie, lewat karya video berdurasi 2 menit, bertajuk The Rise of Medusa (performances, 2025) mencoba mengeksplorasi mitos-mitos di Filipina.
Sementara itu, Sinta Tantra memboyong dua karya bertajuk Burning with a Bright, Fierce Flame, dan Let us always have great dreams, yang terinspirasi dari Surat-Surat Kartini. Dalam dua karyanya tersebut, sang seniman menggambar dua bentuk bunga yang kuncup, yang menunggu tumbuh.
"Bergerak melintasi wilayah, pameran ini jua berusaha menyatukan seniman-seniman yang berasal dari praktik artistik yang beragam untuk berdialog satu sama lain," jelas James Luigi.
Di bawah figur utama, lanskap persawahan terpampang dalam nuansa lengang. Seorang petani membajak sawah bersama dua ekor kerbau, di bawah langit senja yang temaram. Imaji itu seperti menjadi puisi visual tentang hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasatmata.
Baca juga: Menelusuri Dunia Mistis & Imajinatif dalam Pameran Subliminal Maya, di Ruci Art Space
Lukisan tersebut berjudul Sang Hyang Dedari, karya seniman Bali, Luh’ De Gita. Diciptakan pada 2025, karya ini tidak hanya memvisualisasikan ritual tolak bala yang dilakukan masyarakat Bali sebelum musim panen padi, namun juga mengandung kritik tajam terhadap wajah industri pariwisata.
“Sang Hyang Dedari adalah refleksi dari bagaimana kesenian dan budaya Bali terus-menerus dikomodifikasi sebagai eksotisme untuk konsumsi wisatawan,” ujar Luh’ De Gita. Namun, seniman tradisional yang menjadi tulang punggung justru hidup dalam kondisi yang timpang. “Banyak dari mereka menerima upah jauh di bawah standar hidup yang layak," imbuhnya.
Lukisan ini menjadi salah satu karya unggulan dalam pameran A Fold in Time, yang berlangsung di ISA Art Gallery pada 15 April hingga 20 Juni 2025. Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antara tiga galeri seni lintas negara: MONO8 (Manila), ISA Art Gallery (Jakarta), dan Richard Koh Fine Art (Singapura/Bangkok).
Selain Luh’ De Gita, pameran ini juga menampilkan karya dari 11 seniman perempuan lainnya, yakni Aimi Kaiya, Eunice Sanchez, Goldie Poblador, Ines Katamso, Issay Rodriguez, Jill Paz, Kelli Maeshiro, Liu Hsin-Ying, Rose Cameron, Sinta Tantra, dan Wah Nu.
Kurator James Luigi Tana menyebut tajuk A Fold in Time dipilih sebagai upaya menyatukan perupa lintas disiplin dari Asia Tenggara, dalam satu ruang dan momen yang memungkinkan berbagai waktu, pengalaman, serta konteks sosial bertemu melalui karya seni.
“Pameran ini menjadi titik temu penting dalam lanskap seni kontemporer Asia Tenggara—di mana para seniman beroperasi dalam kerangka yang menyoroti irisan antara waktu, sejarah, dan ekspresi personal,” ujarnya.
Baca juga: 5 Pameran Seni Juni 2025 di Jakarta yang Sayang untuk Dilewatkan
Ragam Tema dan Kreasi
Selain isu tentang tradisi dan kolonialisme, ada banyak tema yang diungkai para perupa dalam memaknai tajuk yang disodorkan kurator. Kendati begitu, tema pelestarian tradisi dan budaya, sepertinya menjadi motif sentral yang dieksplorasi para seniman dalam praktik mereka.Salah satunya hadir dalam pendekatan Jill Paz, perupa asal Filipina lewat karya berjudul Grove with Guardian (laser-carved cardboard, 107 x 66 cm, 2024). Menggunakan kardus sebagai material utama, sang seniman menggambar rimbunan pohon dengan teknik laser.
Uniknya, selain memanfaatkan fotografi dan lukisan, saat diamati dalam jarak dekat gambar-gambarnya tampak berpiksel dalam ukuran-ukuran kecil. Kendati begitu, saat diamati dari jarak jauh, pengunjung baru dapat melihat secara keseluruhan objek yang ingin dibagikan pada publik.
"Praktik artistik Jil Paz memang dipengaruhi oleh hubungannya dengan tanah airnya sebagai Balikbayan, atau 'orang yang kembali ke rumah' dalam bahasa Tagalog. Sebab, dia sempat belajar seni ke Amerika," kata James Luigi.
Lukisan bertajuk Terraphytic Narrative 4 karya Ines Katamso, dalam pameran A Fold in Time, di ISA Art Gallery (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Lain lagi karya Ines Katamso, bertajuk Terraphytic Narrative 4 (soil on handwoven cotton, 125 cm x 155 cm, 2025). Perupa asal Prancis yang kini mukim di Bali, itu mencoba menggabungkan ilmu paleontologi dengan kisah-kisah mitologi kuno, salah satunya lewat gambar fosil Antaboga.
Antaboga merupakan ular purba dari mitologi Jawa dan Bali yang terkait dengan bumi dan dunia bawah. Dalam tradisi di Nusantara, naga Antaboga merupakan simbol keseimbangan dan kekuatan siklus alam, yang kemudian dielaborasi menjadi tema-tema utama sang pelukis.
Memanfaatkan bahan-bahan alami seperti tanah dan limbah manusia, Ines seperti sedang mengkritisi dualitas interaksi manusia dengan lingkungan. Lain dari itu, sang seniman juga mencari titik temu antara sains dan mitologi sebagai dua hal yang tidak bertolak belakang, tapi berhubungan.
"Mitos-mitos ini juga berfungsi sebagai alat untuk memahami hal yang tidak diketahui, sama seperti sains saat ini yang tidak selalu benar secara mutlak," katanya dikutip dari deskripsi karya.
Baca juga: Guntur Soekarno Gelar Pameran Spesial Sambut Bulan Bung Karno di Galnas
Eksplorasi medium dengan pendekatan berbeda juga hadir dalam patung kaca Goldie Poblador dan konstruksi media campuran Sinta Tantra. Goldie, lewat karya video berdurasi 2 menit, bertajuk The Rise of Medusa (performances, 2025) mencoba mengeksplorasi mitos-mitos di Filipina.
Sementara itu, Sinta Tantra memboyong dua karya bertajuk Burning with a Bright, Fierce Flame, dan Let us always have great dreams, yang terinspirasi dari Surat-Surat Kartini. Dalam dua karyanya tersebut, sang seniman menggambar dua bentuk bunga yang kuncup, yang menunggu tumbuh.
"Bergerak melintasi wilayah, pameran ini jua berusaha menyatukan seniman-seniman yang berasal dari praktik artistik yang beragam untuk berdialog satu sama lain," jelas James Luigi.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.