Mengungkai Isu Lingkungan & Konsumerisme di Pameran Biophilia Shattering Illusion
15 March 2024 |
19:18 WIB
Sebuah kolase wajah yang dibuat dari mainan anak-anak pada dekade 1990-an itu dipacak dengan nuansa lucu. Saat dilihat secara dekat, kita seolah hanya melihat susunan benda-benda keseharian. Namun, dalam jarak tertentu akan memberi visual raut wajah robot yang sedang tersenyum.
Saat beralih ke karya di sebelahnya, kita juga akan dibuat terkesima dengan bentuk robot utuh yang berdiri di depan meja makan. Masih menggunakan mainan bekas, sang robot tampak sedang mengudap makanan di atas piring plastik dengan beragam menu yang juga terbuat dari pernak-pernik mainan plastik berbagai warna.
Baca juga: Karya-karya yang Mencuri Perhatian di Jakarta Mural Art Festival 2024
Kedua karya berjudul SELFIE (2017) dan Neda Nualira (2023) dari Attina Nuraini & Evan Driyananda itu merupakan salah satu karya yang dipacak di pameran Biophilia Shattering Illusion. Dihelat di ISA Art Gallery, Jakarta, pameran group exhibition ini menghadirkan puluhan karya seni dari 13 perupa nasional dan internasional hingga 13 April 2024.
Diambil dari kajian ilmu biologi, biofilia merupakan afinitas atau keterikatan bawaan manusia terhadap dunia alam dan makhluk hidup. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Edward O. Wilson pada 1984. Sumber biofilia meliputi cinta terhadap alam, kehidupan, lingkungan alami, dan semua bentuk kehidupan di bumi.
Frasa biofilia inilah yang menjadi pengikat dari semua karya yang dihadirkan oleh masing-masing seniman. Sebab, secara umum mereka mencoba mendekatkan praktik kesenian yang digeluti dengan menumbuhkan hubungan simbiosis antara ekspresi artistik dan pengelolaan lingkungan yang kini menjadi isu krusial di muka Bumi.
Misalnya lewat tangan seniman Franziska Fennert yang membuat karya berjudul Radiating Hope, Radiating Residue II, dan Radiating Transformation (acrylic color, plastic residue bricke, carved, karst stone, 80x60x60 cm, 2024). Ini adalah seri karya yang dibuat dari kumpulan di TPA Piyungan, di Yogyakarta.
Ya, semua karya yang sepintas mirip meja persembahan dan yang memiliki telinga itu dihasilkan dari pengolahan limbah kantong plastik. Tak hanya itu, sang seniman juga menggunakan sedotan, kemasan makanan ringan, dan kemasan sekali pakai yang dipadatkan dan jadi bentuk baru yang diukir dengan estetika yang mumpuni.
Bahkan, Fennert juga mengubah gas berbahaya yang dihasilkan dalam proses peleburan plastik menjadi bahan bakar. Bahan bakar tersebut kemudian digunakan oleh mesin untuk memanaskan dan melelehkan plastik. Artinya, prinsip ekonomi sirkular dari produk sampingan limbah juga diubah kembali menjadi komoditas pada akhir siklus produksi.
Selain dua perupa di muka, pameran ini juga diikuti Ari Bayuaji, Arahmaiani, Arin Dwihartanto, Elisa Gjertson, Eun Vivian Lee, Franziska Fennert, Hedwige Jacobs, Ines Katamso, Mulyana, Nor Tijan Firdaus, dan Wishulada Panthanuvong. Hampir sebagian besar seniman juga menggunakan pola-pola pengkaryaan yang mengedepankan media hingga praktik seni yang selaras dengan alam.
Isu lingkungan tak bisa dilepaskan dari isu hedonisme dan konsumerisme. Sebab, kedua gaya hidup itu turut mendorong peningkatan pada sektor produksi. Kemudahan mengelola alam karena dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam yang kian rapuh.
Pola kritik tersebut juga turut disinggung oleh beberapa seniman lewat karya-karya mereka yang dihadirkan dalam pameran ini. Salah satunya lewat karya berjudul Food Monster (yarn, dacron, plastic net, 30 cm, 2022) buah tangan perupa Mulyana. Ini adalah 20 seri rajutan karya seniman yang berbasis di Yogyakarta itu.
Secara umum, Food Monster menampilkan berbagai bentuk makanan yang mengimba berbagai bentuk kepala monster yang dihadirkan di atas piring. Uniknya, pemilihan material yang dilakukan Mulyana seolah menjadi secercah harapan di tengah lautan konsumerisme dan sampah yang saat ini sudah menjadi masalah klasik di berbagai penjuru Bumi.
"Kita tidak bisa membicarakan produk sampingan sampah tanpa membicarakan sumber masalahnya, yakni konsumsi berlebihan,"kata Mulyana dalam catatan karyanya.
Isu mengenai budaya hedon juga dieksplorasi seniman asal Malaysia, Nor Tijan Firdaus. Yaitu dengan memanfaatkan kembali limbah elektronik, serta merangkai narasi budaya pop dan kepedulian terhadap lingkungan dalam karya berjudul Caution I, II, dan V (e-waste on panel wood board, 60x35 cm, 2022).
Lewat ketiga karya tersebut, sang seniman mengambil inspirasi dari ikon-ikon populer Asia, dan dengan terampil menyusun hubungan antara referensi budaya serta pengaruhnya terhadap masyarakat. Tak hanya itu, sang seniman juga mengeksplorasi bagaimana konsumerisme merasuki berbagai aspek budaya kontemporer.
Misalnya, lewat simbol budaya plastik atau konsumerisme budaya K-Pop yang direpresentasikan dengan cukup persuasif oleh Nor Tijan. Yaitu dengan bentuk gelas kopi, es cekek, minuman boba, hingga budaya konsumerisme yang mengiringi demam hallyu di berbagai belahan Bumi.
Kurator pameran Biophilia Shattering Illusion, Miranti Semir mengatakan, dihelatnya pameran inu memang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional pada tanggal 21 Februari lalu. Ihwal pameran ini juga tidak hanya bertujuan untuk menantang kesadaran lingkungan tetapi juga merayakan hubungan mendalam kita dengan alam.
"Menampilkan beragam seniman, pameran ini memang bertujuan untuk menyatukan mereka dalam satu misi yang sama, yakni melestarikan planet kita melalui upaya yang imajinatif dan kreatif. Khususnya lewat karya seni," katanya.
Baca juga: Upaya Indonesia Heritage Agency Melakukan Reimajinasi & Transformasi Cagar Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Saat beralih ke karya di sebelahnya, kita juga akan dibuat terkesima dengan bentuk robot utuh yang berdiri di depan meja makan. Masih menggunakan mainan bekas, sang robot tampak sedang mengudap makanan di atas piring plastik dengan beragam menu yang juga terbuat dari pernak-pernik mainan plastik berbagai warna.
Baca juga: Karya-karya yang Mencuri Perhatian di Jakarta Mural Art Festival 2024
Kedua karya berjudul SELFIE (2017) dan Neda Nualira (2023) dari Attina Nuraini & Evan Driyananda itu merupakan salah satu karya yang dipacak di pameran Biophilia Shattering Illusion. Dihelat di ISA Art Gallery, Jakarta, pameran group exhibition ini menghadirkan puluhan karya seni dari 13 perupa nasional dan internasional hingga 13 April 2024.
Diambil dari kajian ilmu biologi, biofilia merupakan afinitas atau keterikatan bawaan manusia terhadap dunia alam dan makhluk hidup. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Edward O. Wilson pada 1984. Sumber biofilia meliputi cinta terhadap alam, kehidupan, lingkungan alami, dan semua bentuk kehidupan di bumi.
Frasa biofilia inilah yang menjadi pengikat dari semua karya yang dihadirkan oleh masing-masing seniman. Sebab, secara umum mereka mencoba mendekatkan praktik kesenian yang digeluti dengan menumbuhkan hubungan simbiosis antara ekspresi artistik dan pengelolaan lingkungan yang kini menjadi isu krusial di muka Bumi.
Misalnya lewat tangan seniman Franziska Fennert yang membuat karya berjudul Radiating Hope, Radiating Residue II, dan Radiating Transformation (acrylic color, plastic residue bricke, carved, karst stone, 80x60x60 cm, 2024). Ini adalah seri karya yang dibuat dari kumpulan di TPA Piyungan, di Yogyakarta.
Karya Franziska Fennert berjudul Radiating Hope, Radiating Residue II, dan Radiating Transformation (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
Ya, semua karya yang sepintas mirip meja persembahan dan yang memiliki telinga itu dihasilkan dari pengolahan limbah kantong plastik. Tak hanya itu, sang seniman juga menggunakan sedotan, kemasan makanan ringan, dan kemasan sekali pakai yang dipadatkan dan jadi bentuk baru yang diukir dengan estetika yang mumpuni.
Bahkan, Fennert juga mengubah gas berbahaya yang dihasilkan dalam proses peleburan plastik menjadi bahan bakar. Bahan bakar tersebut kemudian digunakan oleh mesin untuk memanaskan dan melelehkan plastik. Artinya, prinsip ekonomi sirkular dari produk sampingan limbah juga diubah kembali menjadi komoditas pada akhir siklus produksi.
Selain dua perupa di muka, pameran ini juga diikuti Ari Bayuaji, Arahmaiani, Arin Dwihartanto, Elisa Gjertson, Eun Vivian Lee, Franziska Fennert, Hedwige Jacobs, Ines Katamso, Mulyana, Nor Tijan Firdaus, dan Wishulada Panthanuvong. Hampir sebagian besar seniman juga menggunakan pola-pola pengkaryaan yang mengedepankan media hingga praktik seni yang selaras dengan alam.
Kritik Hedonisme
Isu lingkungan tak bisa dilepaskan dari isu hedonisme dan konsumerisme. Sebab, kedua gaya hidup itu turut mendorong peningkatan pada sektor produksi. Kemudahan mengelola alam karena dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam yang kian rapuh.Pola kritik tersebut juga turut disinggung oleh beberapa seniman lewat karya-karya mereka yang dihadirkan dalam pameran ini. Salah satunya lewat karya berjudul Food Monster (yarn, dacron, plastic net, 30 cm, 2022) buah tangan perupa Mulyana. Ini adalah 20 seri rajutan karya seniman yang berbasis di Yogyakarta itu.
Secara umum, Food Monster menampilkan berbagai bentuk makanan yang mengimba berbagai bentuk kepala monster yang dihadirkan di atas piring. Uniknya, pemilihan material yang dilakukan Mulyana seolah menjadi secercah harapan di tengah lautan konsumerisme dan sampah yang saat ini sudah menjadi masalah klasik di berbagai penjuru Bumi.
"Kita tidak bisa membicarakan produk sampingan sampah tanpa membicarakan sumber masalahnya, yakni konsumsi berlebihan,"kata Mulyana dalam catatan karyanya.
Karya Mang Moel berjudul Food Monster (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
Lewat ketiga karya tersebut, sang seniman mengambil inspirasi dari ikon-ikon populer Asia, dan dengan terampil menyusun hubungan antara referensi budaya serta pengaruhnya terhadap masyarakat. Tak hanya itu, sang seniman juga mengeksplorasi bagaimana konsumerisme merasuki berbagai aspek budaya kontemporer.
Misalnya, lewat simbol budaya plastik atau konsumerisme budaya K-Pop yang direpresentasikan dengan cukup persuasif oleh Nor Tijan. Yaitu dengan bentuk gelas kopi, es cekek, minuman boba, hingga budaya konsumerisme yang mengiringi demam hallyu di berbagai belahan Bumi.
Kurator pameran Biophilia Shattering Illusion, Miranti Semir mengatakan, dihelatnya pameran inu memang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional pada tanggal 21 Februari lalu. Ihwal pameran ini juga tidak hanya bertujuan untuk menantang kesadaran lingkungan tetapi juga merayakan hubungan mendalam kita dengan alam.
"Menampilkan beragam seniman, pameran ini memang bertujuan untuk menyatukan mereka dalam satu misi yang sama, yakni melestarikan planet kita melalui upaya yang imajinatif dan kreatif. Khususnya lewat karya seni," katanya.
Baca juga: Upaya Indonesia Heritage Agency Melakukan Reimajinasi & Transformasi Cagar Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.