Menikmati Hubungan Seni & Ekologi dalam Pameran Ireland's Eye
01 April 2024 |
13:45 WIB
Dewasa ini krisis ekologi menjadi salah satu masalah penting yang terjadi di Bumi. Kebakaran hutan, gunung es di kutub utara yang meleleh, hingga bencana lingkungan telah menjadi tantangan global yang harus segera diselesaikan umat manusia.
Seni rupa, yang berfungsi merekam situasi zaman menjadi salah satu media untuk mengabarkan situasi tersebut. Terutama, dalam mengungkai apa yang terjadi di tengah realitas hidup manusia lewat berbagai karya yang ditampilkan seniman untuk diapresiasi publik.
Baca juga: Cek Profil 5 Seniman Irlandia yang Gelar Pameran Ireland's Eye di WTC Jakarta
Hal inilah sekiranya yang menjadi benang merah dalam pameran Ireland's Eye, di lobi World Trade Center 2 Jakarta. Ekshibisi yang dihelat Kedutaan Besar Irlandia di Indonesia dan ISA Art Gallery ini dapat dinikmati publik sampai 12 April 2024.
Sama seperti tahun sebelumnya, Ireland's Eye masih mengeksplorasi hubungan seni dengan alam. Namun, yang cukup menonjol dalam pameran terbaru ini adalah hubungan yang mendalam antara praktik yang digagas oleh para seniman dalam menyoal kelindan isu ekologi.
Total, terdapat lima perupa yang turut meramaikan pameran tersebut. Mereka adalah seniman Patryk Gizicki, Katerina Gribkoff, Ethan McGarry, Asha Murray, dan Jan O'Connell yang mengeksplorasi berbagai ragam media, khususnya dalam memaknai isu terkait lingkungan.
Misalnya, terefleksi dalam karya Katerina Gribkoff berjudul Paper Quilt with Plant Inks (paper, natural ink, thread, 156x260 cm, 2024). Membuat kolase dari kumpulan kertas yang diberi pewarna alami, Gribkoff seolah membuat lukisan abstrak yang terdiri dari beragam palet dalam arsitektur modern.
Uniknya, dalam mewarnai kertas-kertas berbentuk persegi panjang itu, sang seniman menggunakan berbagai macam tanaman yang tumbuh di kebunnya untuk membuat tinta pewarna dan pigmen. Bahkan pada proyek terbarunya, dia juga mengeksplorasi tinta dari tanaman-tanaman lokal di Indonesia.
"Kolase ini memang dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai proses pembuatan tinta dari tumbuhan. Seperti kunyit, telang, kayu secang, manggis, kayu putih, dan sebagainya," katanya.
Isu tema yang sama juga terejawantah dalam karya fotografi dari Jan O'Connell, berjudul Pillars of Survival (photograph on smooth cotton rag, 150x150 cm, 2023). Lewat karya tersebut Jan menampilkan foto bebatuan karang yang dipotret apa adanya, yang justru memberi nuansa estetika unik.
Tak hanya itu, hadirnya karang yang menjulang seolah merepresentasikan bagaimana kekuatan alam mampu memberikan visual yang autentik. Batu-batuan tersebut bak mewakili kelompok marjinal, yang keberadaannya, baik disengaja maupun tidak telah dipisahkan dari norma-norma arus utama yang ada di masyarakat.
"Bebatuan itu juga merepresentasikan pilar keberlangsungan hidup saya, lambang ketahanan, dan penjaga keberanian yang dibangun di pantai untuk mengingatkan kita akan jalan baru [dari masa depan seni]," katanya.
Isu mengenai kritik dan refleksi seni terhadap semangat zaman juga diusung para perupa lewat karya-karya dalam memaknai perspektif lain dari realitas. Salah satunya lewat karya video art dari Ethan McGarry berjudul In Between, We Navigate (variable dimension, 2023).
Karya ini merupakan potongan video 3D tersirat yang membandingkan perbedaan antara gambaran harapan dan aspirasi dengan realita yang dilebih-lebihkan. Tampak citra dari video hitam putih itu menempatkan degradasi dari bentuk tanaman, hingga sosok manusia yang dipenuhi jamur.
Visual tersebut terproyeksi dalam layar yang berbeda, sehingga publik harus mencurahkan fokus perhatian di antara dua layar. Tampilan fluktuasi dalam kedua layar video art itu pun memberikan sikap emosional bagi publik dari bentuk adaptasi dan pengulangan yang mereka lihat.
Lain lagi dengan Asha Murray lewat karya Because You’re Worth It (tufted wool 106x204 cm, 2024). Sang seniman mencoba bereksperimen dengan kaca dan karpet yang diberi teks-teks dari arsip-asip pribadinya. Seperti gerutuan, emosi yang ingin diutarakan, hingga berbagai objek yang mungkin masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Tema-tema personal dari sang seniman juga banyak ditonjolkan dalam karya bernuansa ngepop ini. Kendati begitu isu mengenai feminisme, konstruksi sosial dan kesehatan perempuan juga banyak terjalin dalam karyanya, di mana masyarakat seolah tidak berdaya melawan arus waktu.
Asisten Project Manager ISA Art Gallery, Ningtyas Benita mengatakan, kelima seniman tersebut memang mengeksplorasi isu-isu seperti perubahan iklim dan globalisasi dalam pameran ini. Tak hanya itu, mereka juga meneroka soal ketimpangan sosial, hingga perihal perubahan teknologi yang dilihat dari perspektif Irlandia, sebuah negara pulau yang diapit oleh benua Eropa dan Amerika.
"Irlandia saat ini tengah menghadapi pergeseran generasi yang pesat. Tak hanya itu, para seniman muda juga sedang merestrukturisasi tradisi budaya dan ekspresi khas pulau itu ke dalam bentuk-bentuk yang baru," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Seni rupa, yang berfungsi merekam situasi zaman menjadi salah satu media untuk mengabarkan situasi tersebut. Terutama, dalam mengungkai apa yang terjadi di tengah realitas hidup manusia lewat berbagai karya yang ditampilkan seniman untuk diapresiasi publik.
Baca juga: Cek Profil 5 Seniman Irlandia yang Gelar Pameran Ireland's Eye di WTC Jakarta
Hal inilah sekiranya yang menjadi benang merah dalam pameran Ireland's Eye, di lobi World Trade Center 2 Jakarta. Ekshibisi yang dihelat Kedutaan Besar Irlandia di Indonesia dan ISA Art Gallery ini dapat dinikmati publik sampai 12 April 2024.
Sama seperti tahun sebelumnya, Ireland's Eye masih mengeksplorasi hubungan seni dengan alam. Namun, yang cukup menonjol dalam pameran terbaru ini adalah hubungan yang mendalam antara praktik yang digagas oleh para seniman dalam menyoal kelindan isu ekologi.
Total, terdapat lima perupa yang turut meramaikan pameran tersebut. Mereka adalah seniman Patryk Gizicki, Katerina Gribkoff, Ethan McGarry, Asha Murray, dan Jan O'Connell yang mengeksplorasi berbagai ragam media, khususnya dalam memaknai isu terkait lingkungan.
Karya Katerina Gribkoff berjudul Paper Quilt with Plant Inks. (Sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Uniknya, dalam mewarnai kertas-kertas berbentuk persegi panjang itu, sang seniman menggunakan berbagai macam tanaman yang tumbuh di kebunnya untuk membuat tinta pewarna dan pigmen. Bahkan pada proyek terbarunya, dia juga mengeksplorasi tinta dari tanaman-tanaman lokal di Indonesia.
"Kolase ini memang dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai proses pembuatan tinta dari tumbuhan. Seperti kunyit, telang, kayu secang, manggis, kayu putih, dan sebagainya," katanya.
Isu tema yang sama juga terejawantah dalam karya fotografi dari Jan O'Connell, berjudul Pillars of Survival (photograph on smooth cotton rag, 150x150 cm, 2023). Lewat karya tersebut Jan menampilkan foto bebatuan karang yang dipotret apa adanya, yang justru memberi nuansa estetika unik.
Karya Jan O'Connell, berjudul Pillars of Survival (photograph on smooth cotton rag, 150x150 cm, 2023). (Sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
"Bebatuan itu juga merepresentasikan pilar keberlangsungan hidup saya, lambang ketahanan, dan penjaga keberanian yang dibangun di pantai untuk mengingatkan kita akan jalan baru [dari masa depan seni]," katanya.
Perspektif Baru
Isu mengenai kritik dan refleksi seni terhadap semangat zaman juga diusung para perupa lewat karya-karya dalam memaknai perspektif lain dari realitas. Salah satunya lewat karya video art dari Ethan McGarry berjudul In Between, We Navigate (variable dimension, 2023).Karya ini merupakan potongan video 3D tersirat yang membandingkan perbedaan antara gambaran harapan dan aspirasi dengan realita yang dilebih-lebihkan. Tampak citra dari video hitam putih itu menempatkan degradasi dari bentuk tanaman, hingga sosok manusia yang dipenuhi jamur.
Visual tersebut terproyeksi dalam layar yang berbeda, sehingga publik harus mencurahkan fokus perhatian di antara dua layar. Tampilan fluktuasi dalam kedua layar video art itu pun memberikan sikap emosional bagi publik dari bentuk adaptasi dan pengulangan yang mereka lihat.
Lain lagi dengan Asha Murray lewat karya Because You’re Worth It (tufted wool 106x204 cm, 2024). Sang seniman mencoba bereksperimen dengan kaca dan karpet yang diberi teks-teks dari arsip-asip pribadinya. Seperti gerutuan, emosi yang ingin diutarakan, hingga berbagai objek yang mungkin masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Tema-tema personal dari sang seniman juga banyak ditonjolkan dalam karya bernuansa ngepop ini. Kendati begitu isu mengenai feminisme, konstruksi sosial dan kesehatan perempuan juga banyak terjalin dalam karyanya, di mana masyarakat seolah tidak berdaya melawan arus waktu.
Asisten Project Manager ISA Art Gallery, Ningtyas Benita mengatakan, kelima seniman tersebut memang mengeksplorasi isu-isu seperti perubahan iklim dan globalisasi dalam pameran ini. Tak hanya itu, mereka juga meneroka soal ketimpangan sosial, hingga perihal perubahan teknologi yang dilihat dari perspektif Irlandia, sebuah negara pulau yang diapit oleh benua Eropa dan Amerika.
"Irlandia saat ini tengah menghadapi pergeseran generasi yang pesat. Tak hanya itu, para seniman muda juga sedang merestrukturisasi tradisi budaya dan ekspresi khas pulau itu ke dalam bentuk-bentuk yang baru," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.