Ketidakpatuhan Pengobatan Jadi Tantangan Penanganan Bipolar & Skizofrenia
01 June 2025 |
12:46 WIB
Gangguan kejiwaan seperti gangguan bipolar dan skizofrenia masih menjadi isu kesehatan mental yang kompleks. Di luar banyak kasus yang tidak terdiagnosa, tantangan utama juga rupanya terletak pada pasien yang sudah terdiagnosa. Masalahnya berakar pada ketidakpatuhan terhadap pengobatan jangka panjang.
Jadi, meskipun diagnosis sering kali sudah ditegakkan dan pemahaman pasien terhadap penyakitnya telah terbentuk, kepatuhan terhadap terapi yang berkesinambungan masih menjadi kendala yang signifikan.
Sebagaimana diketahui, gangguan bipolar ditandai oleh fluktuasi ekstrem suasana perasaan, energi, dan tingkat aktivitas yang dapat berganti antara episode mania atau hipomania dan depresi. Kondisi ini mempengaruhi fungsi individu dalam kehidupan sehari-hari juga berdampak pada pekerjaan dan relasi sosial.
Di sisi lain, Skizofrenia yang biasanya mulai muncul di akhir masa remaja hingga awal usia 30-an memunculkan gejala seperti halusinasi, delusi, dan perubahan perilaku yang turut mengganggu fungsi sosial serta kemampuan bekerja.
Baca juga: Bukan Hanya Dewasa, Anak & Remaja Makin Berisiko Bipolar dan Skizofrenia
Menurut Psikiater FKUI-RSCM Khamelia Malik, gangguan-gangguan tersebut secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya. “Pasien dewasa dengan gangguan bipolar maupun skizofrenia tetap dapat hidup produktif dan memiliki kualitas hidup yang baik, asalkan menjalani pengobatan dengan konsisten,” katanya.
Namun, di Indonesia, ketidakpatuhan terhadap pengobatan masih sering dijumpai. Bahkan, Khamelia menyebut, ini menjadi salah satu masalah terbesar dalam bidang kejiwaan dan penyakit kronis lainnya. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa ketidakpatuhan ini menjadi faktor utama yang memperburuk perjalanan penyakit.
“Pada gangguan bipolar, ketidakpatuhan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi, peningkatan rawat inap, dan risiko bunuh diri yang lebih besar. Untuk skizofrenia, ketidakpatuhan tidak hanya memperburuk gejala psikotik tetapi juga meningkatkan risiko menyakiti diri sendiri dan orang lain,” ujar Khamelia.
Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya tingkat kepatuhan. Di antaranya adalah tilikan yang buruk terhadap kondisi kesehatan mental, munculnya efek samping obat seperti kantuk berat, kenaikan berat badan, serta gangguan gerakan. Efek samping tersebut kerap kali membuat pasien enggan melanjutkan terapi.
Selain itu, stigma sosial yang masih kuat juga turut menjadi hambatan, di mana pasien merasa malu atau enggan untuk terbuka mengenai kondisinya.
Tak hanya aspek medis yang penting, keberhasilan pengelolaan gangguan bipolar dan skizofrenia juga memerlukan pendekatan psikososial yang berkelanjutan. Khamelia menyarankan agar pasien dilibatkan dalam strategi coping yang adaptif seperti mencari dukungan sosial, mempelajari teknik pemecahan masalah, hingga mengikuti pelatihan manajemen stres.
Selain itu, pemanfaatan teknologi juga dinilai bisa berperan penting dalam mendukung pengobatan. Beberapa aplikasi digital saat ini telah dikembangkan untuk memantau mood, kualitas tidur, mengingatkan jadwal minum obat, hingga menyediakan akses ke sesi psikoterapi online. Pendekatan ini dinilai dapat membantu pasien menjaga stabilitas emosi dan memperkuat proses penyembuhan mereka.
Peran keluarga dan lingkungan sekitar juga tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu, psikoedukasi kepada keluarga dan komunitas sekitar dianggap sebagai bagian penting dalam strategi pengelolaan pasien.
“Psikoedukasi dapat membantu keluarga memahami dan mendukung orang yang mereka cintai dengan lebih baik. Dukungan ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sekaligus mendorong inklusi sosial dan pemberdayaan pribadi,” jelas Khamelia.
Baca juga: Ilmuwan Temukan Cara untuk Deteksi Dini Gejala Skizofrenia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Jadi, meskipun diagnosis sering kali sudah ditegakkan dan pemahaman pasien terhadap penyakitnya telah terbentuk, kepatuhan terhadap terapi yang berkesinambungan masih menjadi kendala yang signifikan.
Sebagaimana diketahui, gangguan bipolar ditandai oleh fluktuasi ekstrem suasana perasaan, energi, dan tingkat aktivitas yang dapat berganti antara episode mania atau hipomania dan depresi. Kondisi ini mempengaruhi fungsi individu dalam kehidupan sehari-hari juga berdampak pada pekerjaan dan relasi sosial.
Di sisi lain, Skizofrenia yang biasanya mulai muncul di akhir masa remaja hingga awal usia 30-an memunculkan gejala seperti halusinasi, delusi, dan perubahan perilaku yang turut mengganggu fungsi sosial serta kemampuan bekerja.
Baca juga: Bukan Hanya Dewasa, Anak & Remaja Makin Berisiko Bipolar dan Skizofrenia
Menurut Psikiater FKUI-RSCM Khamelia Malik, gangguan-gangguan tersebut secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya. “Pasien dewasa dengan gangguan bipolar maupun skizofrenia tetap dapat hidup produktif dan memiliki kualitas hidup yang baik, asalkan menjalani pengobatan dengan konsisten,” katanya.
Namun, di Indonesia, ketidakpatuhan terhadap pengobatan masih sering dijumpai. Bahkan, Khamelia menyebut, ini menjadi salah satu masalah terbesar dalam bidang kejiwaan dan penyakit kronis lainnya. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa ketidakpatuhan ini menjadi faktor utama yang memperburuk perjalanan penyakit.
“Pada gangguan bipolar, ketidakpatuhan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi, peningkatan rawat inap, dan risiko bunuh diri yang lebih besar. Untuk skizofrenia, ketidakpatuhan tidak hanya memperburuk gejala psikotik tetapi juga meningkatkan risiko menyakiti diri sendiri dan orang lain,” ujar Khamelia.
Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya tingkat kepatuhan. Di antaranya adalah tilikan yang buruk terhadap kondisi kesehatan mental, munculnya efek samping obat seperti kantuk berat, kenaikan berat badan, serta gangguan gerakan. Efek samping tersebut kerap kali membuat pasien enggan melanjutkan terapi.
Selain itu, stigma sosial yang masih kuat juga turut menjadi hambatan, di mana pasien merasa malu atau enggan untuk terbuka mengenai kondisinya.
Tak hanya aspek medis yang penting, keberhasilan pengelolaan gangguan bipolar dan skizofrenia juga memerlukan pendekatan psikososial yang berkelanjutan. Khamelia menyarankan agar pasien dilibatkan dalam strategi coping yang adaptif seperti mencari dukungan sosial, mempelajari teknik pemecahan masalah, hingga mengikuti pelatihan manajemen stres.
Selain itu, pemanfaatan teknologi juga dinilai bisa berperan penting dalam mendukung pengobatan. Beberapa aplikasi digital saat ini telah dikembangkan untuk memantau mood, kualitas tidur, mengingatkan jadwal minum obat, hingga menyediakan akses ke sesi psikoterapi online. Pendekatan ini dinilai dapat membantu pasien menjaga stabilitas emosi dan memperkuat proses penyembuhan mereka.
Peran keluarga dan lingkungan sekitar juga tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu, psikoedukasi kepada keluarga dan komunitas sekitar dianggap sebagai bagian penting dalam strategi pengelolaan pasien.
“Psikoedukasi dapat membantu keluarga memahami dan mendukung orang yang mereka cintai dengan lebih baik. Dukungan ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sekaligus mendorong inklusi sosial dan pemberdayaan pribadi,” jelas Khamelia.
Baca juga: Ilmuwan Temukan Cara untuk Deteksi Dini Gejala Skizofrenia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.