Ilustrasi Fast Fashion (Sumber Foto: Freepik)

Fenomena Fast Fashion dan Upaya Merajut Industri Mode Berkelanjutan

31 May 2025   |   08:00 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Fenomena fast fashion di Indonesia berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan daya beli masyarakat yang didukung kemudahan akses melalui platform e-commerce dan media sosial membuat tren mode terbaru dapat dijangkau dengan cepat.

Namun, di baliknya ada sisi gelap yang mengancam. Sebuah studi dari YouGov mengungkapkan bahwa sebanyak 66 persen orang dewasa di Indonesia membuang minimal satu pakaian dalam setahun. Lebih mencengangkan lagi, tiga dari sepuluh orang cenderung membuang pakaian setelah dipakai sekali. 

Baca juga: Koleksi Desainer Armenia dan Malaysia di Indonesia Fashion Week 2025

Di Indonesia sendiri, dampak limbah tekstil sangat terasa. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023 mencatat bahwa sampah tekstil menyumbang sekitar 2,87 persen dari total sampah nasional. Dengan total timbulan sampah nasional rata-rata 70 juta ton per tahun, sampah tekstil diperkirakan mencapai 1,75 juta ton. 

Selain limbah, konsumsi air oleh industri tekstil juga menjadi masalah serius. Industri ini dikenal sebagai salah satu sektor paling boros dalam penggunaan air, dengan kebutuhan mencapai 93 miliar meter kubik setiap tahunnya. Angka ini setara dengan 31 kali kapasitas Waduk Jatiluhur yang mampu menampung sekitar 3 miliar meter kubik air. 

Dampak pencemaran akibat limbah tekstil juga nyata terlihat di sejumlah kawasan industri seperti Cikarang dan Karawang. Limbah pewarnaan tekstil yang sering dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan memadai merusak ekosistem air dan mencemari sumber air bersih. Limbah cair ini mengandung bahan berbahaya seperti logam berat, fenol, dan senyawa organik yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup lain.

Pengelolaan limbah tekstil di Indonesia menghadapi tantangan besar. Sekitar 60 persen pakaian yang diproduksi oleh industri tekstil di Indonesia menggunakan bahan sintetis, sehingga memperumit proses daur ulang. Bahan sintetis seperti polyester memerlukan waktu sangat lama untuk terurai di alam, menyebabkan pencemaran tanah dan udara.

Ketua Umum Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) sekaligus Presiden Indonesia Fashion Week, Poppy Dharsono, menyuarakan keprihatinannya terhadap dominasi produk fast fashion di pasar Indonesia. Menurutnya, serbuan produk murah dan massal dari luar negeri telah menggerus ruang bagi produk lokal, bahkan membuat pelaku industri mode dalam negeri mulai kehilangan arah.

“Fast fashion hari ini dibanjiri oleh barang-barang impor karena mereka murah, bagus, dan ada di mana-mana, baik yang legal maupun tidak legal jadi kita sulit bersaing,” ujarnya.

Poppy menilai, industri mode Indonesia tak bisa bertarung di medan yang sama dengan produk fast fashion yang mengandalkan produksi besar-besaran dan teknologi canggih. Sebagai gantinya, dia mendorong para desainer lokal untuk naik kelas dengan menjadikan warisan budaya sebagai kekuatan utama. 

“Ini saatnya menjadikan heritage kita sebagai niche product, kita main di level berbeda dengan menyasar pasar menengah ke atas dan membawa identitas kuat dari wastra Indonesia,” tegasnya.

Menurut Poppy, warisan tekstil seperti batik, tenun, dan ulos, bukan hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga sejarah dan filosofi yang tak bisa ditiru oleh produk massal. Namun, dia mengakui bahwa tantangan tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Kualitas teknik menjahit, potong pola, hingga pemilihan bahan perlu terus ditingkatkan agar produk berbasis budaya mampu bersaing secara global.

Di sisi lain, Poppy juga menekankan pentingnya komitmen terhadap sustainability dalam industri fashion. Melalui karya busana terbarunya yang ditampilkan di IFW 2025, dia menggunakan material berbasis biji kapas yang tidak mengandung unsur hewani maupun bahan kimia berlebih sehingga lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip halal fesyen. 

“Sustainable fabrics itu bukan hanya soal tren, tapi soal tanggung jawab. Kita harus bisa membuat fesyen yang tetap indah tanpa merusak lingkungan,” jelasnya.

Namun, dia tak menutup mata bahwa praktik di lapangan belum semuanya sesuai dengan prinsip keberlanjutan. Untuk itu, APPMI telah mempersiapkan standar dan pelatihan untuk para desainer, khususnya dari daerah agar dapat mengikuti perkembangan industri yang semakin menuntut kualitas dan kesadaran lingkungan.

“Kalau kita tidak bisa bersaing di sisi kuantitas, maka kita harus unggul di kualitas, nilai budaya, dan tanggung jawab lingkungan. Itu satu-satunya jalan agar fesyen Indonesia tetap punya tempat, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional,” tutup Poppy.
 

Upaya Membangun Industri Mode yang Ramah Lingkungan

Dalam upaya membangun industri mode yang lebih beretika dan berkelanjutan, Head of Pendopo, Putu Laura, menekankan pentingnya prinsip keberlanjutan dalam setiap proses produksi fesyen lokal. Dia mengungkapkan pandangannya tentang pentingnya menggunakan pewarna alami, menerapkan prinsip zero waste, serta menanggapi industri fast fashion yang dinilai tidak ramah lingkungan.

“Proses produksi yang kami jalankan di Pendopo selalu mempertimbangkan keberlanjutan. Kami tidak hanya fokus pada hasil akhirnya, tetapi juga menghargai proses dan orang-orang di baliknya mulai dari penenun, pembatik, hingga penjahit,” ujar Putu Laura.

Salah satu bentuk komitmen merek fesyen lokal tersebut terhadap sustainability adalah penggunaan zat pewarna alami (ZPA) dalam pengerjaan kain tenun. Putu menyebutkan bahwa bahan pewarna alami seperti daun mengkudu, daun ceri, dan jambu luwuk banyak digunakan oleh para perajin. 

“Kita memang berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan pewarna alami. Karena itu, tenun-tenun kami biasanya tidak punya warna yang terlalu terang. Kalau warnanya terang menyala, itu hampir pasti sudah menggunakan pewarna sintetis,” jelas Putu Laura.

Lebih lanjut, Pendopo juga menerapkan prinsip zero waste dengan memanfaatkan setiap sisa potongan kain menjadi aksesori seperti tali sepatu atau ikat kepala. Baginya, setiap helai kain yang ditenun dengan tangan memiliki nilai dan tidak bisa dibuang begitu saja.

“Kami berusaha agar tidak ada kain yang sia-sia. Semuanya punya potensi untuk digunakan kembali,” jelasnya.

Menanggapi fenomena fast fashion, Putu Laura mengakui bahwa tidak mudah bagi pelaku bisnis fesyen untuk tetap konsisten dengan menerapkan proses produksi yang sustainable.

“Kami memilih jalan sustainability dan itu tidak mudah. Proses pewarnaan alami saja bisa memakan waktu hingga dua bulan. Belum lagi pengiriman ke toko-toko. Semua itu butuh biaya, dan itulah kenapa tenun alami harganya mahal,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia juga menyampaikan kekhawatiran terhadap tenun printing dan efeknya bagi perajin daerah. Dia menyoroti oknum yang hanya meniru motif tenun lalu mencetaknya di kain sintetis sebagai bentuk eksploitasi budaya.

“Menenun itu butuh waktu, tenaga, dan kesabaran. Sayangnya, banyak yang hanya mengambil tampilannya saja tanpa menghargai proses panjang di baliknya,” ujarnya.

Baca juga: Fashion Show Mantra di IFW 2025, Eksplorasi Tenun Tolaki dan Batik Wakaroros

Menurutnya, para penenun tidak hanya duduk membuat kain tenun sepanjang hari. Banyak dari mereka pagi sampai sore bertani untuk menanam bahan pewarna alami, lalu malamnya baru menenun. Ini proses yang tak mudah, karenanya hasil karya mereka layak dihargai dengan pantas.

Pendopo sendiri berkomitmen untuk terus mendukung perajin lokal di berbagai daerah Indonesia. Selain tenun Baduy yang saat ini ditampilkan di gelaran Indonesia Fashion Week 2025, mereka juga tengah membina komunitas penenun di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

SEBELUMNYA

Ketidakpatuhan Pengobatan Jadi Tantangan Penanganan Bipolar & Skizofrenia

BERIKUTNYA

Indonesia–Prancis Kukuhkan Kemitraan Budaya Strategis di Borobudur

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: