Perlindungan Ibu Menyusui di Indonesia Masih Dihadapkan Banyak Tantangan
16 May 2025 |
09:26 WIB
Meski disebut sebagai makanan terbaik bagi bayi, pemberian ASI eksklusif masih menghadapi tantangan besar di Indonesia. Berbagai regulasi dan upaya terus berjalan, tapi angka pemberian ASI eksklusif masih menunjukkan tren penurunan yang memprihatinkan.
Data Kementerian Kesehatan RI mencatat penurunan angka pemberian ASI eksklusif dari 64,5 persen pada 2018 menjadi 52,5 persen pada 2021. Survei Kesehatan Indonesia (SKI 2023) juga menunjukkan angka nasional untuk ASI eksklusif pada bayi usia 0–5 bulan berkisar sebesar 68,6 persen, jauh dari target nasional sebesar 80 persen.
Laporan WHO (2023) mencatat hanya 48,6 persen di Indonesia yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kelahiran pada 2021. Angka ini turun dari 58,2 persen pada 2018. Penurunan ini berisiko besar terhadap kesehatan bayi, mengingat ASI pertama sangat penting untuk kekebalan tubuh dan kelangsungan hidup bayi.
Baca juga: Moms, Ini Pentingnya Memberi Bayi ASI Eksklusif Pada 6 Bulan Pertama
Co-Founder Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto menyoroti bahwa setidaknya dalam 2 dekade terakhir, perjalanan kebijakan pemberian makanan bayi dan anak di Indonesia memang sudah menunjukkan kemajuan. Akan tetapi, itu saja belum cukup. akar dari persoalan ini.
“Kita masih menghadapi banyak tantangan. Kita harus memperkuat kebijakan yang mendukung pemberian ASI eksklusif,” tegasnya.
Dalam garis realisasinya, selama 18 tahun terakhir, Indonesia telah mengambil langkah maju dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan termasuk Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang memperketat pemasaran produk pengganti ASI.
Terbaru, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) menegaskan hak ibu menyusui. Ini juga termasuk pengakuan atas pendonor ASI dan kewajiban ruang laktasi di tempat kerja.
“Produsen susu formula makin eksploitatif mempengaruhi ibu, para nakes, dan masyarakat luas melalui berbagai cara,” katanya.
Irma menjelaskan, produsen banyak yang culas menggunakan berbagai cara, seperti memanfaatkan influencer, momfluencers, dan bekerja sama dengan asosiasi tenaga kesehatan untuk membangun citra positif produk susu formula.
Sekretaris Jenderal AIMI Pusat Lianita Prawindarti pun menyampaikan kekhawatiran tentang tren pemasaran susu formula yang dinilainya memang makin agresif.
“Perkembangan tren promosi susu formula yang tidak etis semakin mengganggu usaha kami dalam mempromosikan pemberian ASI,” katanya.
Untuk itu, AIMI, lanjutnya, berkomitmen untuk terus mendukung ibu menyusui dengan memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah. Mereka juga memberi 4 rekomendasi utama dalam upaya meningkatkan perlindungan ibu menyusui di Indonesia.
Pertama, penguatan pengawasan di tempat kerja dan fasilitas umum. Meski UU KIA telah mengatur cuti melahirkan 6 bulan, kebijakan ini masih terbatas pada ibu atau bayi dengan kondisi khusus. Minimnya cuti ayah juga dinilai menghambat dukungan optimal dari keluarga.
Kedua, penyediaan fasilitas menyusui yang memadai. AIMI melihat fasilitas menyusui di tempat umum dan tempat kerja masih minim, sehingga pemerintah perlu mendorong penyediaannya demi kenyamanan ibu menyusui.
Ketiga, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan. Organisasi menilai kualitas edukasi dan dukungan laktasi sangat bergantung pada kompetensi tenaga kesehatan, sehingga peningkatan kapasitas mereka adalah langkah penting.
Keempat, kampanye yang lebih luas dan terstruktur dalam upaya mengedukasi publik secara masif dan berkelanjutan. Ini juga termasuk pemberitahuan soal pelanggaran terhadap kode pemasaran produk pengganti ASI.
Baca juga: Simak Ragam Manfaat ASI Eksklusif Bagi Bayi Lahir Caesar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Data Kementerian Kesehatan RI mencatat penurunan angka pemberian ASI eksklusif dari 64,5 persen pada 2018 menjadi 52,5 persen pada 2021. Survei Kesehatan Indonesia (SKI 2023) juga menunjukkan angka nasional untuk ASI eksklusif pada bayi usia 0–5 bulan berkisar sebesar 68,6 persen, jauh dari target nasional sebesar 80 persen.
Laporan WHO (2023) mencatat hanya 48,6 persen di Indonesia yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kelahiran pada 2021. Angka ini turun dari 58,2 persen pada 2018. Penurunan ini berisiko besar terhadap kesehatan bayi, mengingat ASI pertama sangat penting untuk kekebalan tubuh dan kelangsungan hidup bayi.
Baca juga: Moms, Ini Pentingnya Memberi Bayi ASI Eksklusif Pada 6 Bulan Pertama
Co-Founder Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto menyoroti bahwa setidaknya dalam 2 dekade terakhir, perjalanan kebijakan pemberian makanan bayi dan anak di Indonesia memang sudah menunjukkan kemajuan. Akan tetapi, itu saja belum cukup. akar dari persoalan ini.
“Kita masih menghadapi banyak tantangan. Kita harus memperkuat kebijakan yang mendukung pemberian ASI eksklusif,” tegasnya.
Dalam garis realisasinya, selama 18 tahun terakhir, Indonesia telah mengambil langkah maju dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan termasuk Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang memperketat pemasaran produk pengganti ASI.
Terbaru, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) menegaskan hak ibu menyusui. Ini juga termasuk pengakuan atas pendonor ASI dan kewajiban ruang laktasi di tempat kerja.
Pengaruh Promosi Susu Formula
Sayangnya, praktik di lapangan belum mencerminkan banyak harapan dari berbagai kebijakan yang sudah dibuat. Founder pelanggarankode.org Irma Hidayana mengungkapkan bahwa pelanggaran terhadap kode etik pemasaran susu formula menjadi salah satu hambatan besar sulitnya praktik pemberian ASI.“Produsen susu formula makin eksploitatif mempengaruhi ibu, para nakes, dan masyarakat luas melalui berbagai cara,” katanya.
Irma menjelaskan, produsen banyak yang culas menggunakan berbagai cara, seperti memanfaatkan influencer, momfluencers, dan bekerja sama dengan asosiasi tenaga kesehatan untuk membangun citra positif produk susu formula.
Sekretaris Jenderal AIMI Pusat Lianita Prawindarti pun menyampaikan kekhawatiran tentang tren pemasaran susu formula yang dinilainya memang makin agresif.
“Perkembangan tren promosi susu formula yang tidak etis semakin mengganggu usaha kami dalam mempromosikan pemberian ASI,” katanya.
Untuk itu, AIMI, lanjutnya, berkomitmen untuk terus mendukung ibu menyusui dengan memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah. Mereka juga memberi 4 rekomendasi utama dalam upaya meningkatkan perlindungan ibu menyusui di Indonesia.
Pertama, penguatan pengawasan di tempat kerja dan fasilitas umum. Meski UU KIA telah mengatur cuti melahirkan 6 bulan, kebijakan ini masih terbatas pada ibu atau bayi dengan kondisi khusus. Minimnya cuti ayah juga dinilai menghambat dukungan optimal dari keluarga.
Kedua, penyediaan fasilitas menyusui yang memadai. AIMI melihat fasilitas menyusui di tempat umum dan tempat kerja masih minim, sehingga pemerintah perlu mendorong penyediaannya demi kenyamanan ibu menyusui.
Ketiga, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan. Organisasi menilai kualitas edukasi dan dukungan laktasi sangat bergantung pada kompetensi tenaga kesehatan, sehingga peningkatan kapasitas mereka adalah langkah penting.
Keempat, kampanye yang lebih luas dan terstruktur dalam upaya mengedukasi publik secara masif dan berkelanjutan. Ini juga termasuk pemberitahuan soal pelanggaran terhadap kode pemasaran produk pengganti ASI.
Baca juga: Simak Ragam Manfaat ASI Eksklusif Bagi Bayi Lahir Caesar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.