Hati-Hati, Ada Bahaya Mengintai di Balik Susu Formula untuk Bayi
01 June 2021 |
11:14 WIB
Banyak orang tua yang terbiasa memberikan susu pertumbuhan, termasuk susu kemasan bagi anak-anaknya. Sekilas memang tampak menyehatkan untuk tumbuh kembang anak. Namun, tahukah Genhype, bahwa ternyata ada bahaya tersembunyi yang kurang disadari dan mengintai di balik makanan olahan termasuk susu formula untuk bayi.
Makanan dan susu olahan atau ultraproses, sereal, serta susu pertumbuhan untuk anak dan bayi itu ketika diproduksi di pabrik, proses pengolahannya dilakukan dengan cara karbonasi, pemadatan, pengocokan, penambahan rasa, pengurangan pembentukan busa, dan lain sebagainya.
"Umumnya ada 5 atau lebih kandungan dalam makanan ultraproses yang terkadang ada zat tambahan yang tidak pernah kita gunakan di dapur rumah tangga,” ujar Nia Umar, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.
Zat tambahan tersebut juga bisa berupa pewarna, penstabil warna, pengental, dan pemanis non-gula yang sering kali berupa bahan-bahan aditif yang membuat produk mudah diterima dengan rasa yang kuat.
Menurutnya, susu pertumbuhan, susu formula, atau susu bubuk memiliki banyak risiko. Secara jangka pendek bisa membuat anak diare, infeksi telinga, susah buang air besar, konstipasi, dan lain sebagainya.
“Susu kemasan ini juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif ketika anak telah dewasa,” tuturnya.
Hal ini terjadi karena di dalam satu kotak susu tersebut terdapat berbagai kandungan, termasuk kandungan gula yang sangat tinggi.
Berdasarkan data dari Helen Keller Internasional, ditemukan bahwa hampir semua susu pertumbuhan mengandung gula atau pemanis dengan persentase hampir mencapai 80 persen.
“Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan klaim dari perusahaan yang memproduksi susu pertumbuhan bahwa produk yang dijual memiliki kandungan zat dan gizi serta manfaat kesehatan. Sebab ternyata 70 persen susu pertumbuhan mengandung kadar gula yang sangat tinggi,” ujar Dian Nurcahyati Program Manager Helen Keller Indonesia.
Sebetulnya, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), susu formula pertumbuhan sebetulnya tidak diperlukan ketika anak sudah selesai mendapatkan air susu ibu (ASI). Selain itu, susu pertumbuhan tersebut juga dinilai tidak sesuai untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi dan anak.
Pemberian makanan sehat jauh lebih sehat dan efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi pada anak. Pada balita, fokus ditekankan pada pemenuhan ketercukupan Omega 3, zat besi, vitamin D, dan Yodium yang dapat dipenuhi dari berbagai variasi bahan makanan sumber protein hewani seperti daging dan ikan.
Editor: Roni Yunianto
Makanan dan susu olahan atau ultraproses, sereal, serta susu pertumbuhan untuk anak dan bayi itu ketika diproduksi di pabrik, proses pengolahannya dilakukan dengan cara karbonasi, pemadatan, pengocokan, penambahan rasa, pengurangan pembentukan busa, dan lain sebagainya.
"Umumnya ada 5 atau lebih kandungan dalam makanan ultraproses yang terkadang ada zat tambahan yang tidak pernah kita gunakan di dapur rumah tangga,” ujar Nia Umar, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.
Zat tambahan tersebut juga bisa berupa pewarna, penstabil warna, pengental, dan pemanis non-gula yang sering kali berupa bahan-bahan aditif yang membuat produk mudah diterima dengan rasa yang kuat.
Menurutnya, susu pertumbuhan, susu formula, atau susu bubuk memiliki banyak risiko. Secara jangka pendek bisa membuat anak diare, infeksi telinga, susah buang air besar, konstipasi, dan lain sebagainya.
“Susu kemasan ini juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif ketika anak telah dewasa,” tuturnya.
Hal ini terjadi karena di dalam satu kotak susu tersebut terdapat berbagai kandungan, termasuk kandungan gula yang sangat tinggi.
Berdasarkan data dari Helen Keller Internasional, ditemukan bahwa hampir semua susu pertumbuhan mengandung gula atau pemanis dengan persentase hampir mencapai 80 persen.
“Kondisi ini jelas tidak sesuai dengan klaim dari perusahaan yang memproduksi susu pertumbuhan bahwa produk yang dijual memiliki kandungan zat dan gizi serta manfaat kesehatan. Sebab ternyata 70 persen susu pertumbuhan mengandung kadar gula yang sangat tinggi,” ujar Dian Nurcahyati Program Manager Helen Keller Indonesia.
Sebetulnya, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), susu formula pertumbuhan sebetulnya tidak diperlukan ketika anak sudah selesai mendapatkan air susu ibu (ASI). Selain itu, susu pertumbuhan tersebut juga dinilai tidak sesuai untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi dan anak.
Pemberian makanan sehat jauh lebih sehat dan efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi pada anak. Pada balita, fokus ditekankan pada pemenuhan ketercukupan Omega 3, zat besi, vitamin D, dan Yodium yang dapat dipenuhi dari berbagai variasi bahan makanan sumber protein hewani seperti daging dan ikan.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.