Hypeprofil Aktivis Wenny Aurelia: Menciptakan Ruang Aman Bagi Pejuang Endometriosis
22 April 2025 |
06:00 WIB
Peringatan Hari Kartini setiap 21 April bukan hanya tentang mengenang perjuangan emansipasi, tetapi juga menjadi momentum penting untuk lebih peduli terhadap isu-isu kesehatan perempuan. Di tengah peran mereka sebagai ibu, profesional karier, maupun pemimpin organisasi, para perempuan sering kali mengesampingkan kesehatan dirinya sendiri.
Berbagai masalah kesehatan yang melingkupi perempuan seperti kanker serviks, kanker payudara, gangguan hormonal, sampai gangguan reproduksi yang berkaitan dengan menstruasi dan kehamilan masih menjadi ancaman serius bagi perempuan. Sayangnya, banyak dari isu ini tidak terdeteksi sejak dini karena kurangnya kesadaran atau akses informasi.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Nadia Aisza, Sosok 'Kartini' Penjaga Kedaulatan Negeri
Raden Ajeng (RA) Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Penyebab kematiannya diduga karena komplikasi kehamilan preeklamsia. Sangat disayangkan kondisi tersebut seringkali tidak terdeteksi atau diabaikan, baik oleh tenaga medis maupun oleh ibu hamil sendiri, karena gejalanya yang tampak umum.
Masalah kesehatan reproduksi pada wanita sering kali dianggap sebagai hal "normal" atau "biasa," padahal bisa menjadi indikasi kondisi medis serius yang memerlukan perhatian. Berpulangnya Kartini menjadi simbol dari tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam hal akses terhadap perawatan kesehatan yang tepat dan kesadaran akan kondisi medis yang serius.
Karenya, semangat Kartini seharusnya bisa mendorong perempuan masa kini untuk lebih berani dan aktif menjaga kesehatannya dengan rutin melakukan pemeriksaan, mengedukasi diri, dan saling memberikan dukung untuk sesama.
Wenny Aurelia melanjutkan perjuangan Kartini dengan mendirikan Komunitas Endometriosis Indonesia sebagai ruang aman untuk para perempuan yang berjuang melawan penyakit tersebut.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), endometriosis memengaruhi sekitar 10–15 persen. wanita usia reproduktif, atau sekitar 190 juta wanita di seluruh dunia. Ini merupakan kondisi medis di mana jaringan yang mirip dengan lapisan dalam rahim (endometrium) tumbuh di luar rahim, seperti di ovarium, tuba falopi, atau organ lain di panggul.
Jaringan ini tetap mengikuti siklus menstruasi, namun karena berada di luar rahim, darah menstruasi tidak dapat keluar dari tubuh, menyebabkan peradangan, nyeri, dan pembentukan jaringan parut. Gejala umumnya meliputi nyeri haid hebat, nyeri saat berhubungan seksual, dan kesulitan untuk hamil.
Endometriosis dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita, termasuk aspek fisik, emosional, dan sosial. Nyeri kronis dan masalah kesuburan dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan. Oleh karena itu, dukungan psikologis dan sosial sangat penting bagi penderita endometriosis.
Komunitas Endometriosis Indonesia didirikan pada 2015 oleh Wenny Aurelia, sebagai pejuang endometriosis. Kala itu dia merasa takut dan sendirian dalam perjuangannya melawan penyakit yang pada masanya masih sangat jarang dibicarakan, bahkan dianggap tabu.
“Saya sedang berjuang dengan kondisi endometriosis saya, dan saya merasa tidak punya teman untuk berbicara tentang kondisi ini, apalagi zaman dulu akses informasi masih sangat terbatas,” ujar Wenny.
Dalam pencariannya, Wenny berdiskusi dengan dokter lulusan Jerman yang menanganinya. Dokter tersebut bercerita bahwa di Jerman sudah ada komunitas endometriosis yang sangat kuat dan solid. Sementara di Indonesia, komunitas semacam itu belum ada.
Dokternya menyarankan agar Wenny berbicara dengan sesama pejuang demi menjaga kesehatan mentalnya. Namun karena belum ada wadah semacam itu, dia akhirnya mengambil inisiatif. Pada 2015, dengan memulai Komunitas Endometriosis Indonesia dalam bentuk grup Facebook yang awalnya hanya dibagikan ke teman-teman dekat. Ternyata responsnya luar biasa. Setiap hari, makin banyak perempuan yang ingin bergabung. Hingga kini, grup tersebut telah beranggotakan lebih dari 7.000 orang.
Melihat makin kompleksnya kondisi endometriosis yang dihadapi para anggota, pada 2020 Wenny memutuskan untuk membuka komunitas ini lebih luas. Tak lagi hanya berbagi di forum kecil, Komunitas Endometriosis Indonesia kini mengundang banyak pakar medis untuk bergabung sebagai anggota.
"Karena setiap orang punya kondisi endometriosis yang beda baik dari segi gejala dan penanganannya, akan lebih bagus jika ada dokter atau pakar medis lainnya yang bisa memberikan penjelasan lengkap, jadi di komunitas ini selain saling mendukung juga bisa berbagi edukasi," katanya.
Adapun Wenny sendiri mulai merasakan gejala endometriosis sejak usia sangat muda, sekitar 1995. Saat pertama kali menstruasi, dia mengalami nyeri haid hebat namun saat menceritakan kepada keluarganya, dia hanya diberi tahu bahwa itu hal yang normal.
"Akhirnya saya menganggap itu biasa saja, seiring waktu nyerinya makin intens sampai setiap hari terasa, tapi karena saya pikir itu normal, jadi tidak pernah ambil tindakan," ujarnya.
Berangkat dari pengalaman pribadi itulah, Wenny merasa penting untuk mengedukasi perempuan lain agar tidak mengalami keterlambatan diagnosis seperti dirinya. Sebab, endometriosis tidak hanya mempengaruhi kenyamanan hidup, tapi juga bisa berdampak serius pada kesuburan.
Kini, setelah hampir satu dekade berkecimpung dalam komunitas ini, dia melihat adanya peningkatan pemahaman dari kalangan pemerintah dan tenaga medis terhadap penyakit ini. Namun di sisi lain, masih banyak masyarakat awam yang belum mengenal endometriosis dengan baik. Menurutnya, perjuangan untuk meningkatkan kesadaran masih jauh dari selesai.
“Endometriosis adalah penyakit jangka panjang, bukan yang bisa ditangani sekali lalu selesai. Karena itu, penting bagi para pejuang untuk tidak merasa sendiri,” kata Wenny.
Dia memaparkan, komunitas ini adalah tempat aman dan nyaman untuk saling berbagi tanpa merasa dihakimi. Karena walau kondisi fisik dan treatment tiap orang berbeda, perasaan yang dirasakan sering kali sama, misalnya kerap merasa terisolasi dan bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi pada diri sendiri.
Bagi Wenny, komunitas ini bukan sekadar tempat bercerita. Ini adalah wadah untuk saling menguatkan. Perlu sekali untuk tetap 'waras' di tengah perjuangan yang kompleks dan panjang. Menurutnya, berjuang sendirian tanpa tempat berbagi hanya akan membuat proses penyembuhan semakin berat.
Baca juga: Hypeprofil Penulis Skenario Lele Laila: Mengetengahkan Narasi Perempuan di Perfilman Indonesia
Wenny pun masih terus berjuang dengan endometriosis sampai hari ini. Awalnya, dia sempat merasa telah menjadi penyintas setelah berhasil hamil setelah 11 tahun berjuang. Selama tiga tahun menyusui anaknya untuk menjaga kadar hormon prolaktin tetap tinggi, dan selama itu juga gejala endometriosis mulai tidak terasa sehingga dia berpikir telah sembuh total.
"Sayangnya di tahun keempat pasca melahirkan, gejalanya mulai terasa lagi, tapi bedanya sekarang saya sudah lebih teredukasi dan siap menghadapi dengan strategi yang tepat, bukan lagi dengan ketakutan seperti dulu," tuturnya.
Bertepatan dengan momen Hari Kartini, Wenny menitipkan pesan penting kepada seluruh perempuan Indonesia, “Jangan abaikan nyeri haid. Bila ada yang tidak normal dengan sistem reproduksi, segera cari tahu, edukasi diri, dan temukan pengobatan terbaik. Yang paling penting, jangan diam saja dan do nothing,” katanya.
Menjadi perempuan kuat tidak berarti mengabaikan diri sendiri. Justru dengan menjaga kesehatan fisik dan mental, perempuan dapat terus melanjutkan perjuangan Kartini dalam bentuk yang relevan dengan zaman sekarang yakni menjadi pribadi yang tangguh, sehat, dan berdaya.
Berbagai masalah kesehatan yang melingkupi perempuan seperti kanker serviks, kanker payudara, gangguan hormonal, sampai gangguan reproduksi yang berkaitan dengan menstruasi dan kehamilan masih menjadi ancaman serius bagi perempuan. Sayangnya, banyak dari isu ini tidak terdeteksi sejak dini karena kurangnya kesadaran atau akses informasi.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Nadia Aisza, Sosok 'Kartini' Penjaga Kedaulatan Negeri
Raden Ajeng (RA) Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Penyebab kematiannya diduga karena komplikasi kehamilan preeklamsia. Sangat disayangkan kondisi tersebut seringkali tidak terdeteksi atau diabaikan, baik oleh tenaga medis maupun oleh ibu hamil sendiri, karena gejalanya yang tampak umum.
Masalah kesehatan reproduksi pada wanita sering kali dianggap sebagai hal "normal" atau "biasa," padahal bisa menjadi indikasi kondisi medis serius yang memerlukan perhatian. Berpulangnya Kartini menjadi simbol dari tantangan yang masih dihadapi perempuan dalam hal akses terhadap perawatan kesehatan yang tepat dan kesadaran akan kondisi medis yang serius.
Karenya, semangat Kartini seharusnya bisa mendorong perempuan masa kini untuk lebih berani dan aktif menjaga kesehatannya dengan rutin melakukan pemeriksaan, mengedukasi diri, dan saling memberikan dukung untuk sesama.
Wenny Aurelia melanjutkan perjuangan Kartini dengan mendirikan Komunitas Endometriosis Indonesia sebagai ruang aman untuk para perempuan yang berjuang melawan penyakit tersebut.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), endometriosis memengaruhi sekitar 10–15 persen. wanita usia reproduktif, atau sekitar 190 juta wanita di seluruh dunia. Ini merupakan kondisi medis di mana jaringan yang mirip dengan lapisan dalam rahim (endometrium) tumbuh di luar rahim, seperti di ovarium, tuba falopi, atau organ lain di panggul.
Jaringan ini tetap mengikuti siklus menstruasi, namun karena berada di luar rahim, darah menstruasi tidak dapat keluar dari tubuh, menyebabkan peradangan, nyeri, dan pembentukan jaringan parut. Gejala umumnya meliputi nyeri haid hebat, nyeri saat berhubungan seksual, dan kesulitan untuk hamil.
Endometriosis dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita, termasuk aspek fisik, emosional, dan sosial. Nyeri kronis dan masalah kesuburan dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan. Oleh karena itu, dukungan psikologis dan sosial sangat penting bagi penderita endometriosis.
Komunitas Endometriosis Indonesia didirikan pada 2015 oleh Wenny Aurelia, sebagai pejuang endometriosis. Kala itu dia merasa takut dan sendirian dalam perjuangannya melawan penyakit yang pada masanya masih sangat jarang dibicarakan, bahkan dianggap tabu.
“Saya sedang berjuang dengan kondisi endometriosis saya, dan saya merasa tidak punya teman untuk berbicara tentang kondisi ini, apalagi zaman dulu akses informasi masih sangat terbatas,” ujar Wenny.
Dalam pencariannya, Wenny berdiskusi dengan dokter lulusan Jerman yang menanganinya. Dokter tersebut bercerita bahwa di Jerman sudah ada komunitas endometriosis yang sangat kuat dan solid. Sementara di Indonesia, komunitas semacam itu belum ada.
Dokternya menyarankan agar Wenny berbicara dengan sesama pejuang demi menjaga kesehatan mentalnya. Namun karena belum ada wadah semacam itu, dia akhirnya mengambil inisiatif. Pada 2015, dengan memulai Komunitas Endometriosis Indonesia dalam bentuk grup Facebook yang awalnya hanya dibagikan ke teman-teman dekat. Ternyata responsnya luar biasa. Setiap hari, makin banyak perempuan yang ingin bergabung. Hingga kini, grup tersebut telah beranggotakan lebih dari 7.000 orang.
Melihat makin kompleksnya kondisi endometriosis yang dihadapi para anggota, pada 2020 Wenny memutuskan untuk membuka komunitas ini lebih luas. Tak lagi hanya berbagi di forum kecil, Komunitas Endometriosis Indonesia kini mengundang banyak pakar medis untuk bergabung sebagai anggota.
"Karena setiap orang punya kondisi endometriosis yang beda baik dari segi gejala dan penanganannya, akan lebih bagus jika ada dokter atau pakar medis lainnya yang bisa memberikan penjelasan lengkap, jadi di komunitas ini selain saling mendukung juga bisa berbagi edukasi," katanya.
Adapun Wenny sendiri mulai merasakan gejala endometriosis sejak usia sangat muda, sekitar 1995. Saat pertama kali menstruasi, dia mengalami nyeri haid hebat namun saat menceritakan kepada keluarganya, dia hanya diberi tahu bahwa itu hal yang normal.
"Akhirnya saya menganggap itu biasa saja, seiring waktu nyerinya makin intens sampai setiap hari terasa, tapi karena saya pikir itu normal, jadi tidak pernah ambil tindakan," ujarnya.
Berangkat dari pengalaman pribadi itulah, Wenny merasa penting untuk mengedukasi perempuan lain agar tidak mengalami keterlambatan diagnosis seperti dirinya. Sebab, endometriosis tidak hanya mempengaruhi kenyamanan hidup, tapi juga bisa berdampak serius pada kesuburan.
Kini, setelah hampir satu dekade berkecimpung dalam komunitas ini, dia melihat adanya peningkatan pemahaman dari kalangan pemerintah dan tenaga medis terhadap penyakit ini. Namun di sisi lain, masih banyak masyarakat awam yang belum mengenal endometriosis dengan baik. Menurutnya, perjuangan untuk meningkatkan kesadaran masih jauh dari selesai.
“Endometriosis adalah penyakit jangka panjang, bukan yang bisa ditangani sekali lalu selesai. Karena itu, penting bagi para pejuang untuk tidak merasa sendiri,” kata Wenny.
Dia memaparkan, komunitas ini adalah tempat aman dan nyaman untuk saling berbagi tanpa merasa dihakimi. Karena walau kondisi fisik dan treatment tiap orang berbeda, perasaan yang dirasakan sering kali sama, misalnya kerap merasa terisolasi dan bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi pada diri sendiri.
Baca juga: Hypeprofil Penulis Skenario Lele Laila: Mengetengahkan Narasi Perempuan di Perfilman Indonesia
"Sayangnya di tahun keempat pasca melahirkan, gejalanya mulai terasa lagi, tapi bedanya sekarang saya sudah lebih teredukasi dan siap menghadapi dengan strategi yang tepat, bukan lagi dengan ketakutan seperti dulu," tuturnya.
Bertepatan dengan momen Hari Kartini, Wenny menitipkan pesan penting kepada seluruh perempuan Indonesia, “Jangan abaikan nyeri haid. Bila ada yang tidak normal dengan sistem reproduksi, segera cari tahu, edukasi diri, dan temukan pengobatan terbaik. Yang paling penting, jangan diam saja dan do nothing,” katanya.
Menjadi perempuan kuat tidak berarti mengabaikan diri sendiri. Justru dengan menjaga kesehatan fisik dan mental, perempuan dapat terus melanjutkan perjuangan Kartini dalam bentuk yang relevan dengan zaman sekarang yakni menjadi pribadi yang tangguh, sehat, dan berdaya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.