Kenali Gejala & Penanganan Tepat Endometriosis, Terjadi Pada 10% Perempuan Usia Produktif
26 March 2024 |
06:00 WIB
Gangguan terkait sistem reproduksi masih menjadi momok bagi banyak perempuan dan laki-laki di dunia. Khususnya pada perempuan, gangguan terkait sistem reproduksi bisa meliputi bermacam kelainan mulai dari ovarium, rahim, saluran tuba, hingga sistem endokrin.
Endometriosis merupakan salah satu jenis penyakit yang terbilang diam-diam mematikan dan menyerang area rahim. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), endometriosis digolongkan sebagai penyakit kronis yang memakan angka hidup cukup panjang bagi penderitanya.
Baca juga: Ganggu Kesuburan Wanita, Ini 5 Fakta Endometriosis
Endometriosis disebut sebagai penyakit jangka panjang dengan tingkat kekambuhan tinggi sebesar 67%. Kondisi ini menimbulkan gejala nyeri hebat karena adanya jaringan yang mirip lapisan dalam rahim tumbuh di tempat yang bukan semestinya. Adapun, jaringan endometriosis ini bisa menebal, rusak, dan berdarah tiap kali wanita berada pada siklus menstruasi.
Masalahnya, penundaan diagnosa endometriosis diperkirakan memakan waktu mencapai 6-8 tahun. Sementara endometrioss masuk dalam jenis penyakit denan kekambuhan tinggi yang segera memerlukan terapi jangka panjang untuk menanganinya. Pasien memerlukan diagnosis dini agar penyembuhannya berjalan lebih cepat dan lancar.
Pada 2021, WHO menyebut endometriosis telah menyerang 10% perempuan usia produktif di seluruh dunia. Prevalensi kasus serius terus menanjak baik secara global dan regional. Diperlukan solusi konkret untuk menuntaskan penyakit yang menyerang sistem reproduksi ini.
Dokter Spesialis Kebidanan & Kandungan RSCM Kanadi Sumapraja mengatakan, saat ini endometriosis menjadi salah satu masalah kesehatan yang cukup besar bagi perempuan. Penyebab utama dari masalah ini adalah keterlambatan diagnosa.
“Padahal, setidaknya 5 dari 100 perempuan usia produktif di Indonesia, serta 1 dari 10 perempuan di Asia, mengalami endometriosis. Namun, banyak dari mereka yang baru mengetahui dirinya mengidap endometriosis sehingga datang saat kondisi sudah lumayan parah,” kata Kanadi.
Endometriosis mencipatakan efek domino bagi kehidupan pasien mulai dari tingginya angka morbiditas, biaya sosial ekonomi, hingga masalah kesuburan pada perempuan. Efek ini juga mempengaruhi kualitas hidup, pendidikan, dan tingkat kepercayaan diri pada perempuan. Menurut Kanadi, endometriosis juga bisa menimbulkan beban serius bagi kesehatan fisik dan mental perempuan yang membuat hambatan serius dalam produktivitas dan keharmonisan keluarga.
Kanadi menyebut, penting bagi perempuan untuk mengenali tanda dan gejala endometriosis sejak dini agar tak mengalami keterlambatan diagnosa. Gejala utama dari endometriosis adalah nyeri panggul yang dikaitkan dengan periode menstruasi. Rasa nyerinya pun meningkat seiring dengan berjalannya waktu apabila tidak mendapat pengobatan yang tepat.
“Selain itu, tanda dan gejala yang juga perlu diperhatikan seperti nyeri pelvik kronik, dispareunia dalam, keluhan intestinal siklik, dan kurang subur. Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat terjadinya endometriosis,” jelasnya.
Perlu diketahui, rasa nyeri yang timbul tak hanya terkait saat haid, tetap juga nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia), nyeri saat berkemih (disuria), nyeri saat buang air besar (diskezia), nyeri perut bagian bawah, serta nyeri panggul. Biasanya, pasien endometriosis sering mengeluhkan nyeri yang terasa mendenyut dan menjalar hingga ke tungkai, serta nyeri pada rektum dan sensasi perut seperti ditarik ke bawah.
Gejala ini perlu menjadi perhatian utamanya bagi orang-orang yang memiliki faktor risiko yaitu orang yang belum pernah melahirkan, mengalami menstruasi usia dini, menopause di usia lanjut, serta siklus menstruasi yang pendek maksimal 27 hari. Perempuan dengan kelainan saluran produksi dan tingkat estrogen tinggi juga disarankan mengenali gejala dan melakukan pemeriksaan rutin terkait endometriosis.
“Karena jika tidak diobati dengan tepat, perempuan akan berisiko mengalami komplikasi seperti infertilitas dan kanker ovarium,” jelas Kanadi.
Kanadi menjelaskan, kunci dari penyembuhan endometriosis terletak pada kepatuhan. Kepatuhan yang dimaksud adalah perilaku pasien yang konsisten dalam mematuhi instruksi dalam menyelesaikan pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga medis. Menurutnya, kepatuhan masih menjadi tantangan utama bagi pasien endometriosis sebab penangannya memang memakan waktu yang lama.
“Sering ditemukan pasien yang berhenti di tengah jalan karena menganggap tidak ada perubahan pada dirinya. Hal ini yang kemudian membuat pengobatan tidak efektif dan tidak berhasil,” katanya.
Pengobatan yang tidak patuh, menurut kanadi, akan menyebabkan kekambuhan dan rasa nyeri yang kembali datang. Oleh karena itu, kesembuhan pasien akan bergantung pada komitmen dan keteraturan pasien sendiri dalam menjalani pengobatan jangka panjang.
Lantas, bagaimana penanganan endometriosis yang tepat? Endometriosis merupakan penyakit yang bergantung pada estrogen sehingga pengobatan yang diberikan salah satu pilihannya adalah menggunakan obat yang menekan hormon.
Saat ini, terapi progestin seperti terapi hormonal dienogest dinyatakan sebagai terapi lini pertama untuk endometriosis. Terapi ini diketahui mampu mengurangi nyeri pelvis dan nyeri haid dengan dosis harian 2 mg yang dianggap memiliki profil keamanan dan efektivitas yang baik untuk pengobatan lini pertama.
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia (HIFERI) 2023, terapi hormonal dienogest jangka panjang direkomendasikan untuk menangani endometriosis secara efektif. Penelitian menunjukkan terapi dienogest bisa mengurangi lesi dan nyeri yang berkaitan dengan endometriosis serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi ini disebutkan bisa menjaga cadangan ovarium secara efektif.
Head of Medical Dept. Pharmaceuticals Bayar Indonesia Dewi Muliatin Santoso mengatakan, terapi hormonal dienogest sangat efektif dalam mengelola gejala endometriosis, mencegah progresivitas penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup.
“Data menunjukkan adanya pengurangan nyeri sebesar 40 persen dalam 4 minggu pemakaian dienogest, serta menunjukkan peningkatan nyata dalam ukuran kualitas hidup spesifik setelah 24 minggu pengobatan,” kata Dewi.
Dewi mengatakan, efektivitas terapi ini sudah pernah dibuktikan melalui penelitian terhadap 29 pasien yang menjalani terapi dienogest. Hasilnya, lebih dari 80% pasien dinyatakan hilang sel endometriosisnya pada minimal minggu ke-24 pengobatan.
“Studi ENVISIOeN juga membuktikan bahwa pola pendarahan yang dialami pasien berkurang seiring berjalannya waktu. Ini yang membuat kami berupaya menyebarkan edukasi terkait kepatuhan berobat, karena hasilnya akan berdampak positif jika pengobatan dilakukan dengan benar,” jelas Dewi.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Endometriosis merupakan salah satu jenis penyakit yang terbilang diam-diam mematikan dan menyerang area rahim. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), endometriosis digolongkan sebagai penyakit kronis yang memakan angka hidup cukup panjang bagi penderitanya.
Baca juga: Ganggu Kesuburan Wanita, Ini 5 Fakta Endometriosis
Endometriosis disebut sebagai penyakit jangka panjang dengan tingkat kekambuhan tinggi sebesar 67%. Kondisi ini menimbulkan gejala nyeri hebat karena adanya jaringan yang mirip lapisan dalam rahim tumbuh di tempat yang bukan semestinya. Adapun, jaringan endometriosis ini bisa menebal, rusak, dan berdarah tiap kali wanita berada pada siklus menstruasi.
Masalahnya, penundaan diagnosa endometriosis diperkirakan memakan waktu mencapai 6-8 tahun. Sementara endometrioss masuk dalam jenis penyakit denan kekambuhan tinggi yang segera memerlukan terapi jangka panjang untuk menanganinya. Pasien memerlukan diagnosis dini agar penyembuhannya berjalan lebih cepat dan lancar.
Pada 2021, WHO menyebut endometriosis telah menyerang 10% perempuan usia produktif di seluruh dunia. Prevalensi kasus serius terus menanjak baik secara global dan regional. Diperlukan solusi konkret untuk menuntaskan penyakit yang menyerang sistem reproduksi ini.
Dokter Spesialis Kebidanan & Kandungan RSCM Kanadi Sumapraja mengatakan, saat ini endometriosis menjadi salah satu masalah kesehatan yang cukup besar bagi perempuan. Penyebab utama dari masalah ini adalah keterlambatan diagnosa.
“Padahal, setidaknya 5 dari 100 perempuan usia produktif di Indonesia, serta 1 dari 10 perempuan di Asia, mengalami endometriosis. Namun, banyak dari mereka yang baru mengetahui dirinya mengidap endometriosis sehingga datang saat kondisi sudah lumayan parah,” kata Kanadi.
Endometriosis mencipatakan efek domino bagi kehidupan pasien mulai dari tingginya angka morbiditas, biaya sosial ekonomi, hingga masalah kesuburan pada perempuan. Efek ini juga mempengaruhi kualitas hidup, pendidikan, dan tingkat kepercayaan diri pada perempuan. Menurut Kanadi, endometriosis juga bisa menimbulkan beban serius bagi kesehatan fisik dan mental perempuan yang membuat hambatan serius dalam produktivitas dan keharmonisan keluarga.
Kanadi menyebut, penting bagi perempuan untuk mengenali tanda dan gejala endometriosis sejak dini agar tak mengalami keterlambatan diagnosa. Gejala utama dari endometriosis adalah nyeri panggul yang dikaitkan dengan periode menstruasi. Rasa nyerinya pun meningkat seiring dengan berjalannya waktu apabila tidak mendapat pengobatan yang tepat.
“Selain itu, tanda dan gejala yang juga perlu diperhatikan seperti nyeri pelvik kronik, dispareunia dalam, keluhan intestinal siklik, dan kurang subur. Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat terjadinya endometriosis,” jelasnya.
Perlu diketahui, rasa nyeri yang timbul tak hanya terkait saat haid, tetap juga nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia), nyeri saat berkemih (disuria), nyeri saat buang air besar (diskezia), nyeri perut bagian bawah, serta nyeri panggul. Biasanya, pasien endometriosis sering mengeluhkan nyeri yang terasa mendenyut dan menjalar hingga ke tungkai, serta nyeri pada rektum dan sensasi perut seperti ditarik ke bawah.
Gejala ini perlu menjadi perhatian utamanya bagi orang-orang yang memiliki faktor risiko yaitu orang yang belum pernah melahirkan, mengalami menstruasi usia dini, menopause di usia lanjut, serta siklus menstruasi yang pendek maksimal 27 hari. Perempuan dengan kelainan saluran produksi dan tingkat estrogen tinggi juga disarankan mengenali gejala dan melakukan pemeriksaan rutin terkait endometriosis.
“Karena jika tidak diobati dengan tepat, perempuan akan berisiko mengalami komplikasi seperti infertilitas dan kanker ovarium,” jelas Kanadi.
Penanganan Endometriosis
Ilustrasi rahim (Sumber gambar: cottonbro studio/Pexels)
Kanadi menjelaskan, kunci dari penyembuhan endometriosis terletak pada kepatuhan. Kepatuhan yang dimaksud adalah perilaku pasien yang konsisten dalam mematuhi instruksi dalam menyelesaikan pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga medis. Menurutnya, kepatuhan masih menjadi tantangan utama bagi pasien endometriosis sebab penangannya memang memakan waktu yang lama.
“Sering ditemukan pasien yang berhenti di tengah jalan karena menganggap tidak ada perubahan pada dirinya. Hal ini yang kemudian membuat pengobatan tidak efektif dan tidak berhasil,” katanya.
Pengobatan yang tidak patuh, menurut kanadi, akan menyebabkan kekambuhan dan rasa nyeri yang kembali datang. Oleh karena itu, kesembuhan pasien akan bergantung pada komitmen dan keteraturan pasien sendiri dalam menjalani pengobatan jangka panjang.
Lantas, bagaimana penanganan endometriosis yang tepat? Endometriosis merupakan penyakit yang bergantung pada estrogen sehingga pengobatan yang diberikan salah satu pilihannya adalah menggunakan obat yang menekan hormon.
Saat ini, terapi progestin seperti terapi hormonal dienogest dinyatakan sebagai terapi lini pertama untuk endometriosis. Terapi ini diketahui mampu mengurangi nyeri pelvis dan nyeri haid dengan dosis harian 2 mg yang dianggap memiliki profil keamanan dan efektivitas yang baik untuk pengobatan lini pertama.
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia (HIFERI) 2023, terapi hormonal dienogest jangka panjang direkomendasikan untuk menangani endometriosis secara efektif. Penelitian menunjukkan terapi dienogest bisa mengurangi lesi dan nyeri yang berkaitan dengan endometriosis serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi ini disebutkan bisa menjaga cadangan ovarium secara efektif.
Head of Medical Dept. Pharmaceuticals Bayar Indonesia Dewi Muliatin Santoso mengatakan, terapi hormonal dienogest sangat efektif dalam mengelola gejala endometriosis, mencegah progresivitas penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup.
“Data menunjukkan adanya pengurangan nyeri sebesar 40 persen dalam 4 minggu pemakaian dienogest, serta menunjukkan peningkatan nyata dalam ukuran kualitas hidup spesifik setelah 24 minggu pengobatan,” kata Dewi.
Dewi mengatakan, efektivitas terapi ini sudah pernah dibuktikan melalui penelitian terhadap 29 pasien yang menjalani terapi dienogest. Hasilnya, lebih dari 80% pasien dinyatakan hilang sel endometriosisnya pada minimal minggu ke-24 pengobatan.
“Studi ENVISIOeN juga membuktikan bahwa pola pendarahan yang dialami pasien berkurang seiring berjalannya waktu. Ini yang membuat kami berupaya menyebarkan edukasi terkait kepatuhan berobat, karena hasilnya akan berdampak positif jika pengobatan dilakukan dengan benar,” jelas Dewi.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.